8. Menjaga Lisan

5 2 0
                                    

Tifanny mengangguk, senyumnya merekah. "Di Bulan Ramadhan ini baiknya kita memperbanyak amalan-salah satunya dengan salat sunah."

Wening menelan ludah. "Tapi ... kebanyakan salat juga bikin tenaga terkuras. Nanti capek terus lapar."

Tifanny menggerak-gerakkan telunjuk. "Tidak baik kebanyakan mengeluh. Bisa mengurangi pahala puasa, lho."

Alis Wening bertaut. "Mengurangi pahala?"

Lagi, Tifanny mengangguk. "Ada beberapa kegiatan yang jika dilakukan bukannya mendatangkan pahala, justru malah mengurangi pahala, semacam mendatangkan mudharat. Jadi, sebisa mungkin, kita harus menghindarinya."

Wening menopang dagu. "Apa aja?"

"Yang barusan, mengeluh lapar, itu harus dihilangkan dari kebiasaan. Selama puasa, selain menahan diri dari memasukkan makanan ke mulut, kita juga harus menjaga suara yang keluar dari mulut. Daripada berbicara sesuatu yang tak baik lebih baik diam."

"Bosen kali." Wening memutar bola mata, malas. "Lebih enak ngomongin temen-temen kita. Semalam ada yang ...."

"Astaghfirullah!" Tifanny menyela, mencubit lengan Wening, gregetan. "Ghibah kamu bilang enak? Itu tuh perbuatan tercela, Wening. Persamaannya kayak kamu makan bangkai orang yang kamu bicarakan. Yakin, deh, itu ndak akan enak."

Wening meringis. "Ih, gitu, ya?"

"Iya!" Tifanny menyahut kelewat mantap. "Jadi, hindari."

Helaan napas kembali melewati bibir Wening. "Habis itu? Nggak boleh apa lagi?"

Tifanny mengusap dagu, berpikir sesaat, kemudian teringat kebiasaan sang sahabat ketika kesal. "Jangan mengeluarkan kata-kata kotor, termasuk umpatan."

"Kayak sialan?" tembak Wening terlalu lempeng.

"Nah," Tifanny bertepuk tangan sekali, "iya. Itu nggak boleh diucapkan. Lagian kenapa kamu jadi suka ngucap itu? Perasaan dulu nggak, deh."

Wening menggaruk kepala hingga kerudungnya agak berantakan. "Di kota ... itu jadi makanan aku sehari-hari." Nada suaranya ragu, campuran malu dan tak enak hati.

"Hah?" Mata Tifanny menyipit, menyelidik. "Kok?"

Wening merendahkan bahu. "Di tempat aku merantau, orang-orangnya datang dari latar belakang yang bermacam-macam. Enggak sedikit dari mereka yang bawa budaya ngomong keras bahkan kasar. Terus, tanpa sadar malah mendominasi pergaulan, dan aku salah satu yang kena pengaruhnya."

"Astaghfirullah," lirih Tifanny sampai mengusap wajah, ngeri. Seseram itu pergaulan penuh kebebasan.

Perasaan Wening kian tak keruan. Tiba-tiba terlintas ingatan tentang bagaimana perangainya dulu, saat masih intens bergaul dengan Tifanny. Meski tidak sampai selemah lembut Tifanny, tetapi tutur kata Wening cukup terjaga. Setidaknya, dia tidak berteman dengan umpatan, apalagi nama hewan menggonggong dan sejenisnya.

"Maaf," ucap Wening lemah. "Aku ... mau balik kayak dulu lagi."

Tifanny berdeham. "Gimana?"

"Ya ... berubah, jaga lisan. Aku akan menghilangkan kebiasaan mengumpat."

Netra bening Tifanny berbinar indah. "Alhamdulillah, semoga istiqamah."

"Aamiin. Bantuin, ya."

Kedua jempol Tifanny terangkat tinggi. "Siaap."

"Tapi apa gantinya, ya? Kalau lagi kesel 'kan rasanya nggak afdol kalau nggak berkata-kata." Cengiran Wening eksis.

Tifanny mencibir tanpa suara, tetapi tak urung menjawab, "Istighfar. Ucap 'astaghfirullah'. Bagaimanapun keadaannya, selalu ingat Allah."

Mulut Wening membulat. Tangan kanannya terangkat ke dahi, membentuk sikap hormat. "Oke, laksanakan."

Suasana hati Tifanny membaik, kedua sudut bibirnya kembali tertarik indah. "Bismillah, ya."

"Bismillah," sambut Wening, menunjukkan tekad.

Tifanny memeluk Wening kesenangan, dia berharap Wening akan kembali seperti yang dikenalnya dulu, bahkan harus lebih baik dari itu.

"Sekarang ... udah boleh tidur?" Kembali, Wening masih menyuarakan tentang aksi memejamkan mata. "Kata kamu tadi, tidur dibolehkan buat menghindari ghibah. Jadi, daripada ghibah, aku numpang tidur, ya?"

Tifanny membuang napas kasar. Belum lama terharunya, dia kembali harus menghadapi kebebalan Wening. Sungguh, Wening ujian bagi Tifanny di Bulan Ramadhan ini.

"Boleh?" Mata Wening berkedip-kedip, sok lucu, demi merayu.

Namun, Tifanny tak terpengaruh, lantas kembali menunjukkan layar ponselnya. "Nyobain salat sunah, lah!"

Wening menggigit bibir, menepuk dahi. Dia ... tak bisa kabur.

~~~

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di bab berikutnya.

Salam hangat dari aku dan Kak toetikhdhyh_

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now