20. Menghadapi Masalah

3 0 0
                                    

Selamat membaca

"Mau main sama Tifanny, ya?" tebak Tio. Lelaki itu baru saja keluar dari rumah, hendak pergi bekerja. Tahu-tahu saja Wening sudah memunculkan wajahnya di depan rumah.

"Hehehe. Iya, Kak. Tifanny ada?"

"Di dalam. Masuk saja."

Setelah mendapat instruksi dari Tio, Wening bergegas masuk. Akan tetapi, belum rampung ia memasuki ambang pintu, Tio berpesan, "Wen, titip Tifanny, ya."

Butuh waktu beberapa detik Wening merespon dan akhirnya mengatakan. "Iya, Kak, tenang aja."

"Terima kasih." Setelah mengucapkan itu, Tip bergegas pergi. Takut terlambat.

Baru juga Wening ingin berteriak, tetapi salam dari Tifanny membuatnya bungkam. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Eh, Tifanny. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!" balas Wening semangat.

"Ayo, masuk ke dalam," ajak Tifanny yang disambut hangat oleh Wening.

Kedua gadis itu segera masuk, kemudian duduk lesehan beralaskan karpet kecil. Wening pun ikut membantu Tifanny turun dari kursi rodanya. Sambil bersandar, Wening mengajukan pertanyaan. "Fan, aku mau tanya, deh."

"Mau tanya apa, Wen?" Tifanny merespon.

Wening mengubah duduknya menjadi sedikit serius, matanya menatap Tifanny dengan geram, juga bibirnya seolah tak sabar ingin mengeluarkan semua isi hati yang terpendam. "Jujur, ya, sebenarnya aku kesel sama kamu kemarin!"

"Kesel? Kesel kenapa? Aku buat salah?" tanya Tifanny dengan polos.

"Kesel karena kamu diem aja waktu dibully sama Rara dan Nia! Malah, aku lihat kamu keknya lagi komat-kamit. Kamu baca mantra, ya? Biar mereka kerasukan atau apa gitu?"

Tak.

"Fan!"

"Kebiasaan kalau ngomong suka ngelantur! Ya kali baca mantra biar kerasukan. Kirain aku ini dukun gitu?" sahut Tifanny juga ikut geram.

"Ya terus ngapain? Kenapa kamu nggak lawan mereka aja? Kamu berhak marah juga 'kan?" Wening tak puas dengan jawaban Tifanny semalam. Rasa-rasanya Tifanny ini terlalu ... ah, sudahlah.

"Kemarin aku doain mereka supaya dapat hidayah. Dijauhkan dari keburukan dan didekatkan oleh kebaikan. Lagian aku sudah jelaskan semalam, bahwa setiap masalah itu ndak harus diselesaikan dengan amarah. Percuma. Itu sama saja dengan setan. Aku capek, Wen, kalau mau kek gitu terus. Malu sama Allah," jawab Tifanny sambil menatap Wening serius.

Seketika Wening berdecak. "Aku tuh heran. Kalau di kota tempat aku rantau, mereka diganggu sedikit aja marahnya luar biasa. a
Apalagi kalau salah satu keluarganya dibully, bisa-bisa sampai ke kantor polisi. Tapi kamu ... nggak gitu."

"Ya ... 'kan setiap orang cara menghadapi masalahnya beda-beda. Ndak bisa kita paksakan untuk selalu sama. Iya, kan?"

Wening duduk mendekat ke arah Tifanny, ia duduk di sisi kanannya. Setengah berbisik ia berkata, "Terus, kalau kamu sendiri sebenarnya kalau lagi menghadapi masalah itu gimana? Kok bisa tenang, sih? Aku pengen tahu! Kadang-kadang aku suka banget emosian, salah satunya ke Ragil!" Matanya tersirat emosi jika menyebut nama Ragil. Wening pusing jika harus beradu mulut pada adiknya itu.

Tifanny menerawang langit-langit rumah, kemudian beralih menatap Wening dan berkata, "Kalau aku sendiri, sebenarnya lebih mendiamkan terlebih dahulu, Wen. Namun, diam bukan berarti tidak melakukan aksi dan pasrah. Diam di sini lebih memperhatikan bahwa masalah yang dihadapi saat ini seperti apa. Apakah penting untuk diladeni atau tidak? Karena ada beberapa masalah yang perlu kita abaikan, contohnya kejadian kemarin. Terus, langkah selanjutnya, mungkin kita pasrahkan sama Allah, kita berdoa semoga masalah yang kita hadapi ini dapat kita lewati. Dan jangan lupa, masalah itu juga akan selesai apabila kita juga berusaha untuk menyelesaikan."

Wening menganggukkan kepalanya paham. "Terus ... emosiku?"

"Perbanyak beribadah dan bertaqwa kepada Allah. Beliau pasti bantu kita, kok. Dengan kita selalu beribadah kepadanya, hati kita pasti akan lebih tenang. Apa pun masalah yang akan datang, InsyaAllah bisa terselesaikan dengan baik-baik," jelas Tifanny sambil tersenyum.

"Berarti aku harus kencengin lagi ibadahnya, ya?" tanya Wening antusias.

"Iya, betul!"

"Okedeh kalau gitu." Wening mengangguk-angguk. Namun, selang beberapa detik ia menjentikkan jarinya dengan kuat. "Oh, ya! Aku baru ingat!"

"Ada apa?" tanya Tifanny bingung.

Wening menoleh ke arah Tifanny. Wajahnya sumringah dan tampak semangat. "Kamu semalam lihat story wa Fadil nggak?"

Tifanny mengingat-ingat. "Story wa? Bukannya semalam dia ndak buat story, ya?"

"Buat, kok!"

"Di aku ndak ada, Wen."

"Nggak mungkin! Kamu nggak kelihatan kali, ya?"

"Ndak! Semalam dia sempat kirim pesan sama aku. Ndak ada bikin story tuh," jawab Tifanny seadanya.

"Kirim pesan?" tanya Wening yang dibalas dengan anggukan. Seketika gadis itu merogoh saku gamisnya, mengambil benda pipi persegi panjang berwarna putih. Lalu, menunjukkan sesuatu pada Tifanny.

"Ini, dia bikin story ini semalam."

Dia tegar, shalihah juga pintar. Aku harap, pemilik semesta ini mengizinkan pemuda biasa ini mendampingi hidupnya sampai akhir. Happy a Nice Dream, T!

Tifanny agak terkejut tatkala membaca story yang Fadil buat. Pasalnya, di ponsel Tifanny tidak ada. Akan tetapi, sampai saat ini story itu masih terlihat jelas di ponsel Wening. Itu artinya ... Fadil mengecualikan Tifanny dalam story-nya? Tapi, untuk apa?

"Sepertinya aku di privasi," ujar Tifanny sepertinya agak sedih. "Mungkin ia tak mau aku tahu kalau dirinya sebenarnya sudah punya pilihan hati. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Sudah kubilang, Fadil hanya kasihan padaku."

"Ah, tidak, tidak! Itu tidak benar, Fan. Ayo, coba kamu pikir baik-baik. Sepertinya ia malu mengungkapkan isi hatinya padamu. Lihat saja story ini, kamu di privasi. Dan lihat juga inisial huruf yang ia ucapkan, huruf T. Tifanny! Itu dirimu, Fan!" Wening menekankan huruf bagian T agar sahabatnya itu sedikit peka dan berpikir.

"Jadi ...?"

"Jadi—"

Tok. Tok. Tok.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Fadil?!"

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now