13. Pakaian

7 0 0
                                    

"Awsh ...." Rintihan menggusur kesunyian dari kamar bernuansa abu-abu itu. Wening, sang pemilik kamar, meringkuk dengan tangan memegangi perut yang terasa sakit. Seperti melilit, tetapi bukan karena sembelit, melainkan karena kedatangan si tamu tak diundang khusus perempuan.

Beberapa menit lalu, tepat saat azan Zuhur berkumandang, Wening yang memang sedang gabut bersegera menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan mengambil wudhu. Mengingat kajian kemarin yang membahas tujuan hidup adalah untuk mencari keberkahan dari Allah, menumbuhkan perasaan ingin melakukan ibadah tepat waktu di hati kecil Wening.

Sayangnya, keinginan Wening berbentuk halangan kenyataan yang tidak bisa dia hindari. Dia kedatangan si merah, dan itu tidak bisa diganggu gugat. Sampai berakhirlah dia seperti ini. Merintih kesakitan karena kedatangan si merah itu selalu membawa efek kurang menyenangkan, entah itu dari suasana hati yang memburuk, sampai fisik yang terusik.

Setengah jam kemudian, Wening mulai bisa telentang, sakitnya reda. Kini dia memandang langit-langit kamar dengan sebelah tangan mengusap-usap dagu, berpikir. Biasanya rasa sakitnya akan tidak terasa jika dia berkegiatan. Akan tetapi, seperti yang sudah dia bilang pada Wening, sekarang dia sedang jadi pengangguran, jadi bingung harus melakukan apa.

Sekarang di rumahnya juga sedang sepi. Ayah dan ibunya belum lama pergi, karena mengikuti permintaan Ragil untuk mencari perlengkapan tugas. Jadi, tidak ada orang yang bisa dia recoki untuk membantu melupakan sakitnya.

"InsyaAllah. Kita jalani Ramadhan ini bersama, ya. Bareng-bareng mengejar kebaikan."

Sampai ucapan Tifanny terngiang. Segera saja Wening bangkit. Dengan semangat penuh dia menyambar ponsel juga kain segiempat tipis yang kemudian dililitkan asal ke kepala sampai leher, tanpa peniti. Setelahnya dengan riang dia mengayunkan kaki meninggalkan rumah, lalu pergi.

***

Tiba di depan rumah Tifanny, Wening melepas sandal hitam pemberian Tio, lalu mendekati pintu. Saat akan menaikkan tangan untuk mengetuk, ingatan kemarin tentang obrolan pentingnya salam terlintas di pikirannya. Maka, sembari mempertemukan kepalan tangannya dengan benda panjang berbahan kayu itu, Wening berujar, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Terdengar samar-samar sahutan dari dalam.

Wening menebak mungkin Tifanny sedang berada di ruangan yang agak jauh dari pintu utama.

"Astaghfirullah!"

Bukannya sapaan, begitu membuka pintu, bukannya memberikan sapaan, Tifanny malah mengucap istighfar. Jemarinya tanpa aba-aba meraih tangan Wening, kemudian dengan agak kesusahan dia memundurkan kembali kursi rodanya sembari menggusur Wening.

"Eh, ada apa ini?' Wening gelagapan.

Tidak langsung menjawab, Tifanny terlebih dahulu mengunci pintu, lalu berbalik dan menghela napas.

"Fan, ada apa?" Sekali lagi Wening memastikan. "Kenapa pintunya dikunci?"

"Biar nggak ada yang asal masuk," balas Tifanny rendah.

Wening menaikkan sebelah alis. "Kenapa?"

"Apa yang kamu pakai, Wening?!" Bukannya menjawab sesuai pertanyaan, Tifanny malah memindai dengan tangan yang bergerak menunjuk.

Wening mematut diri sendiri. Melihat dengan gerakan slow motion, kain-kain yang melekat di raganya. Ada kaos tipis berwarna hijau stabilo yang membalut tubuh atasnya, dipadu celana jeans ketat yang mengerat di kakinya. "Baju, 'lah," balasnya setelah hening sempat melanda.

"Batita pun tahu itu baju." Tifanny berdecak. "Maksudku kenapa kamu pakai yang seperti itu."

"Di luar panas banget, Fan. Mana aku lagi kedatangan halangan. Jadi, ya, aku pakai outfit gini biar nggak gerah." Wening menggerak-gerakkan sebelah telapak tangan di dekat leher. "Yang penting nggak nunjukin aurat rambut, 'kan?"

Tifanny mengusap wajah, kasar, sembari kembali merapal istighfar. "Aurat perempuan itu bukan cuman rambut, Wening. Melainkan sekujur tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Selain itu, kita sebagai muslimah harus menutupnya dengan pakaian yang sesuai syariat."

Wening agak terusik. "Emang gimana pakaian muslimah yang benar, tuh?"

Tifanny berdeham. "Ada beberapa kriteria, di antaranya; menutup seluruh tubuh, bahannya tebal, tidak membentuk lekuk tubuh, dan warnanya ndak mencolok."

Wening menggaruk kepala. Masih kurang paham. "Gimana?"

Tifanny tersenyum. Waktunya menjelaskan. "Menutup seluruh tubuh tuh artinya kita menjulurkan kain ke seluruh badan sampai nggak ada yang terlihat kecuali tangan dan muka. Nah, bahan yang dipakai menutupnya itu harus tebal, ndak boleh menerawang. Dibuat longgar sehingga menyembunyikan lekuk tubuh kita yang sebenarnya. Dengan warna yang ndak mencolok, yang lembut-lembut atau gelap gitu."

"Jadi, pakaian aku ini salah?"

Tifanny tersenyum. "Pakaian kamu hanya perlu dibenahi. Kain kerudungnya bisa pilih yang lebih tebal, terus dipasang sampai menutup dada, jangan dililit-lilit gitu. Buat bajunya bisa pakai terusan kayak gamis gitu yang longgar tapi nyaman. Paling bawah pakai kaos kaki, karena kaki juga aurat. Terus semua dikombinasikan dengan warna yang ndak sengejreng baju warna hijau itu."

Wening menggigit bibir. "Harus gitu?"

Tifanny mengangguk mantap. "Berhijab sesuai syariat itu kewajiban kita sebagai muslimah. Jadi, yuk coba, ya."

"Kalau gerah?"

Tifanny menunjuk kipas di sudut ruangan. "Ngadem di sana."

Wening mengatupkan bibir. Menimbang. Beberapa sekon kemudian mengembuskan napas panjang. "Oke, aku coba."

"Alhamdulillah," sorak Tifanny bahagia.

"Tapi berarti aku harus pulang dulu?" Kepala Wening meneleng.

Tifanny menggeleng. "Ndak usah, pinjam punyaku saja dulu."

Wening menggigit bibir. "Uhm ... baiklah." Meski masih tak yakin dengan perasaannya nanti, tetapi dia akan mencobanya dulu. Semoga itu bukan menjadi sesuatu yang buruk.

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now