26. Berbakti

1 0 0
                                    

Selamat membaca

Pukul 16.00

Tifanny masih sibuk dengan kegiatannya di dapur. Hari ini ia tengah memasak, lebih tepatnya membuat kue untuk persiapan lebaran. Mengingat, beberapa hari lagi ramadhan telah usai. Jelas, perasaan Tifanny saat ini bercampur aduk. Tahun ini adalah tahun pertama mereka melaksanakan hari raya tanpa orang tua. Rasanya sangat sedih. Apalagi dengan kondisi Tifanny sekarang, jujur itu sungguh membuat Tio terpukul.

Maka dari itu, ia tak bosan untuk menghibur Tifanny dengan cara apa pun yang ia bisa. Seperti sekarang ini, Tio sedang bermanja untuk dibuatkan kue coklat. Kue itu adalah kesukaannya. Tidak harus saat lebaran pun, Tio selalu meminta dibuatkan. Selang beberapa menit setelah Tifanny memasukkan adonan kue ke dalam panggangan, tahu-tahu saja Wening sudah berada di belakangnya sambil mengucapkan salam dengan riang.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Tifanny!" sapa gadis itu kemudian duduk di samping Tifanny.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Wening. Eh, kamu udah masuk aja. Di depan ada Kak Tio, ya?" tanya Tifanny.

Wening mengangguk. "Iya, tadi dia yang nyuruh aku masuk. Katanya kamu lagi bikin kue, benar, ya?"

"Iya. Kue kesukaan Kak Tio," jawab Tifanny seadanya.

"Emang kue kesukaan Kak Tio apa?" tanya Wening antusias.

"Kue coklat."

Wening mengangguk-angguk paham. Namun, sedetik kemudian ia teringat tujuannya kemari adalah untuk bercerita pada Tifanny. "Eh, Fan, aku mau cerita."

"Cerita apa?" tanya Tifanny balik. Ia memposisikan tubuhnya sambil menghadap ke Wening.

"Kemarin aku ketemu sama seorang nenek, dia keserempet, Fan. Kasihan tahu! Terus aku tolongin dan sempet aku tanya mau pergi ke mana, dia bilang mau pergi ke pasar bedug. Nah, terus aku anterin lah si nenek ke sana sambil cerita-cerita tentang anaknya. Dan kamu tahu? Ternyata dari kelima anaknya nggak ada satu pun yang ngurus nenek itu sekarang!" Wening bercerita dengan seru.

"Astaghfirullah. Bener kamu, Wen?" tanya Tifanny memastikan.

Wening mengangguk semangat. "Itu yang buat aku kaget, Fan! Masa iya, usia sudah lanjut seperti itu nggak ada yang urus sih? Kasihan, Fan! Kalau kenapa-kenapa gimana? Nenek itu juga berhak buat dapet kasih sayang dari anak-anaknya, kan?"

"Nauzubillah. Semoga kita bukan orang-orang yang seperti itu, ya, Wen. Itulah kenapa kita sebagai anak itu sangat wajib berbakti kepada orang tua, apalagi jika keduanya masih hidup. Sedari kecil, kita dirawat, disayang sampai dibesarkan seperti ini dalam keadaan apa pun. Seharusnya, saat kita telah dewasa pun bisa melakukan hal serupa walaupun ya ... jelas ndak sebanding dengan apa yang mereka lakukan terhadap kita. Paling ndak, kita tahu berbakti lah," balas Tifanny. Setelah mengatakan itu, ia terdiam sebentar. Peristiwa yang Wening ceritakan barusan, cukup membuatnya tersentuh. Apalagi mengenai orang tua.

"Iya kamu betul, Fan. Kasihan banget neneknya ditinggalin kek gitu, padahal dari kecil mereka dirawat, ya. Tapi, balasannya gitu." Wening tak habis pikir.

Tifanny tersenyum tipis. "Semoga kita bisa belajar dari kejadian seperti itu, ya."

"Tapi, aku mau tanya deh, Fan." Wening berujar.

Tifanny yang sedang mengintip panggangan kue, lantas menoleh. "Iya, mau tanya apa?"

"Kalau orang tua kita masih ada 'kan, kita tahu bagaimana cara berbakti sama mereka, tetapi ... kalau sudah meninggal itu gimana, ya? Maaf, aku bertanya seperti itu," tanya Wening serasa tak enak hati.

"Ndak apa-apa. Aku seneng kok kamu bertanya. Kalau orang tua kita sudah tiada, kita masih bisa berbakti kepada beliau. Diantaranya, mendoakan kebaikan untuk mereka, tetap menjalin silaturahmi dengan kerabat mereka juga melakukan kebaikan untuk beliau. Kita bisa lakukan itu," jelas Tifanny sambil tersenyum.

"Oh gitu, ya? Oke, aku paham! Fan, jujur aku seneng banget sahabatan sama kamu. Dari kamu, banyak pelajaran yang bisa aku ambil. Entah itu dari hal agama atau kehidupan sehari-hari. Makasih banyak, ya! Kamu perempuan tegar yang aku temui setelah bunda. Semoga, kamu bisa mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa nantinya!" Mata Wening berkaca-kaca, hendak menangis. Namun, ia urungkan karena tak mau melihat Tifanny bersedih.

"Aku juga seneng kok temenan sama kamu, makasih juga, ya, Wening," balas Tifanny kemudian memeluk Wening dengan erat.

Sampai beberapa detik kemudian, suara deheman mengalihkan perhatian mereka. "Ekhem! Kira-kira pesenan Kakak tadi gosong nggak, ya?" Tio sedikit menyindir.

"Ndak, Kak Tio. Masih lima menit lagi," balas Tifanny sambil tertawa kecil.

"Selagi Tifanny yang buat aman, Kak. Kak Tio jangan khawatir!" Wening menambahkan.

"Iya, nggak akan. Tapi, kalau kamu yang buat pasti aku khawatir. Khawatir kalau bukan kuenya yang aku suka, tapi yang bikinnya," ujar Tio enteng kemudian pergi meninggalkan kedu gadis itu di dapur.

"Tifanny! Barusan Kak Tio gombal, ya? Plis! Aku mau terbang sekarang boleh nggak sih? Ah Masya Allah!" Wening berteriak tertahan, saking kagetnya seorang Tio untuk pertama kalinya menggombal Wening seperti itu.

Sedangkan Tifanny, ia hanya menggeleng pelan. "Hum. Ada-ada saja mereka berdua ini."

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now