16. Berbagi

1 0 0
                                    

"Enggak main, Dek?"

Tifanny, yang sedang menata pakaian yang baru disetrikanya, menghentikan pergerakan sejenak. Kepalanya menoleh pada sang kakak. "Main ke mana?" katanya malah balik bertanya.

"Ya ... ke mana aja. Belakangan ini 'kan biasanya kamu main sama temanmu itu," sahut Tio yang sedang duduk santai, berselonjor di depan karpet yang menghadap televisi.

Tifanny mengulum senyum geli. "Wening?" tanyanya dengan netra mengerling.

Tio berdeham. "Emang ada temanmu yang lain yang sesering dia ke sini?" tanggapnya sok cool.

Tifanny meneruskan pekerjaannya dengan menahan kekehan. Lucu sekali melihat kakaknya yang salah tingkah karena membahas si gadis barbar yang sudah hampir enam belas hari ini kembali membersamai hari-hari Tifanny.

"Belum ada rencana mau main, sih. Tadi habis subuhan kami sama-sama harus beberes rumah. Jadi, nggak sempat bahas." Tifanny meregangkan badannya yang cukup pegal setelah membereskan bergunung pakaian yang dia tangguhkan selama tiga hari. "Tapi kayaknya aku mau ke rumahnya aja, deh. Khawatir jenuh juga kalau dia yang nyamperin terus ke sini. Boleh 'kan, Kak?" Mata gadis itu berkedip-kedip lucu.

Tio terkekeh. "Boleh. Kakak antar, ya?"

"Engh ...." Tifanny menggigit bibir.

"Mumpung Kakak lagi dapat libur kerja." Tio mengubah posisi badannya, melipat kaki untuk duduk bersila dengan punggung tegap. "Enggak apa Kakak antar aja. Lagian bosen juga ternyata diam seharian di rumah."

Tifanny mengembuskan napas lemah dengan bahu melemas. "Ya udah ..., boleh."

"Sip!" Tio menunjukan jempol sembari bangkit dan beranjak mendekati Tifanny.

"Bentar, Kak! Kaus kaki aku." Tifanny mencegah Tio yang sudah hampir mendorongnya melewati bingkai pintu utama.

"Oh, bentar." Tio menjauhkan tangannya dari pegangan kursi. Dengan cekatan dia memutar balik tubuh, menuju rak sepatu dan mengambil kaus kaki yang biasa Tifanny simpan di sana.

Tifanny memang sudah istiqamah mengenakan kaus kaki. Mengingat itu juga merupakan aurat. Jadi, mau itu jauh ataupun dekat, dia tetap harus menggunakannya.

Setelah membantu Tifanny menggunakannya, Tio kembali mendorongnya.

Sembari menikmati perjalanan di siang hari yang tidak terlalu terik, Tifanny kembali membuka obrolan. "Nanti Kakak bakal mampir masuk ke rumah Wening?"

Tio menggeleng. "Kakak hanya akan mengantar kamu sampai depan."

"Habis itu Kakak akan langsung pulang?"

Tio tersenyum, lagi-lagi kepalanya bergerak pelan ke kanan dan kiri. "Setelah diingat-ingat, Kakak bisa ikut pemuda yang lain beres-beres masjid."

"Wah, buat besok, ya?"

Tio hanya membalas dengan anggukan karena kini mereka telah tiba di halaman rumah Wening. Seperti yang tadi dibilangnya, Tio segera pergi, membiarkan Tifanny bergerak sendiri menuju pintu.

Tifanny mengetuk pintu tiga kali diiringi ucapan salam. Suaranya pelan. Karena dia yakin Wening pasti akan mendengarnya. Setelah hari-hari pembiasaan yang mereka lewati, kini Wening sudah mengubah kebiasaannya. Gadis itu tidak lagi banyak tidur.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Benar saja, tak cukup semenit, Wening sudah menarik gagang pintu dan menyambut tamunya. "Tifanny?"

Tifanny memamerkan senyum. "Mau main?"

"Mau!" balas Wening teramat cepat. "Tapi nanti, ya. Habis aku beres di dapur."

Tifanny menaikkan alis. "Kamu sedang apa? Aku ganggu, ya?" ucapnya tak enak.

Wening menggeleng. "Enggak 'lah! Aku senang malah kamu datang. Barusan tuh aku cuman lagi bikin donat aja di dapur."

"Wah, donat?" Netra Tifanny berbinar mendengar makanan kesukaannya disebut.

Wening terkikik. "Iya. Favoritmu. Yuk masuk lah!"

"Ayah sama bunda ke mana?" Tifanny kembali bertanya karena merasa rumah Wening begitu sepi.

"Nganter si Ragil," balas Wening malas. "Bocah itu mah aneh pisan, baru juga pertengahan puasa, udah ngerengek aja minta baju lebaran."

Tifanny tertawa. "Memang bocah."

Wening menarik napas dalam. "Tapi untunglah dia nggak di rumah. Jadi, kesabaran aku nggak diuji."

"Eh, kamu udah puasa lagi?"

Wening cengar-cengir. "Yoi."

"Wah, Wening, ini banyak banget," seru Tifanny begitu mereka tiba di dapur. Decak kagumnya lolos begitu melihat puluhan makanan berbahan terigu dengan bentuk bulat berlubang yang memenuhi meja makan.

"Mau ada acara, kah? Oh!" Tifanny bertepuk tangan sekali. "Jangan-jangan kamu mau dilamar, ya?"

"Sembarangan!" Mata Wening memelotot. "Aku cuman mau dilamar kakakmu. Enggak nerima yang lain!"

Tifanny menyusut sudut matanya yang berair karena terlalu puas tertawa. Setelahnya dia berdeham. "Terus ini buat apa dong?"

Wening mendudukkan diri di kursi meja makan. Tangannya terampil melipat kertas menjadi kotak. "Kamu ingat anak-anak jalanan yang beberapa hari lalu kita lihat?"

Tifanny mengangguk. Matanya masih memerhatikan saksama pergerakan Wening yang mulai memasukkan donat-donat itu ke kotak, lalu menutupnya dengan rapi.

"Aku kepikiran buat berbagi dengan mereka."

"Jadi, ini ...."

Wening mengangguk, beranjak menuju lemari, mengambang sebuah kotak berukuran lebih besar dan menyodorkannya pada Tifanny. "Tadi kebetulan aku lagi pengen bikin donat buat kamu. Nah, pas beres dan lihat masih banyak bahan, aku keinget anak-anak itu yang mungkin bisa aja suka rasa manis. Lagian kamu pernah bilang 'kan kalau kita berbagi kebaikan, kita juga bisa merasakan kebahagiaan."

"MaasyaAllah." Kelopak mata Tifanny kembali berair, tetapi kini alasannya berbeda. Dia terharu dengan sikap Wening yang lebih dewasa. "Makasih."

"Sama-sama. Jangan dulu dimakan, ya. Nunggu buka," candanya dengan mata berkedip-kedip menggoda.

Tifanny tertawa renyah, lalu dagunya mengarah pada kertas-kertas yang masih belum diapa-apakan. "Aku boleh bantu, ya?"

Wening bersorak. "Boleh dong!"

***

"Mereka senang, 'kan?" Wajah Wening yang biasanya memasang ekspresi jutek atau galak, kini tersenyum amat lebar. Tatapannya tertuju pada anak-anak yang baru saja berjalan menjauh darinya usai menerima kotak-kotak donat buatannya.

Sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya. Perasaan tak biasa menyelusup tanpa bisa dicegah. Dia ... benar-benar bahagia. Ternyata sesejuk itu efek setelah melakukan kegiatan berbagi kebaikan. Dia jadi tidak menyesal sama sekali telah mengorbankan energinya di siang sampai sore meski sedang berpuasa.

Tifanny meraih tangan Wening dan mengusapnya lembut. "InsyaAllah, mereka senang, dan Allah pun senang."

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now