28. Perjalanan Ramadhan

1 0 0
                                    

Selamat membaca

"Wen, kamu ... mau ndak buka bersama di rumah aku?" Tifanny bertanya. Awal-awal ia agak ragu, takut Wening ada urusan lain di rumahnya juga takut mengganggu waktunya. Namun, siapa sangka kalau respon Wening ternyata sangat antusias.

"Mau banget! Sebenarnya dari tadi aku mau bilang gitu, mau numpang buka puasa. Sekaligus, mau ... cicip kue kamu. Hehe," balas Wening sambil menyengir.

"Syukurlah kalau kamu mau. Boleh dong, nanti kita siapkan, ya." Tifanny bergerak ke arah kiri, meletakkan peralatan masak yang kotor di tempat cucian. Sembari itu, Wening berinisiatif untuk membersihkan noda-noda yang berserakan di lantai juga di meja. Mereka membantu satu sama lain.

"Eh, Fan, Kak Tio tadi ke mana, ya?" Tiba-tiba Wening bertanya.

"Ke masjid, katanya ada urusan bentar," jawab Tifanny sambil mencuci piring.

"Oh gitu. Eh, aku bantu bersihin ini, ya?"

"Boleh. Makasih, ya."

•••

Pukul 17.55

Waktu berbuka tinggal menghitung menit, tetapi sang kakak juga belum kelihatan. Tifanny cukup risau, pasalnya saat gadis itu mencoba menghubungi lewat ponsel, Tio tidak membawanya. Lelaki itu juga tidak memberikan penjelasan lebih jelas, apa yang ia urus di sana.

"Fan, Kak Tio nggak apa-apa, yakin deh. Mungkin sebentar lagi dateng, kali aja dia sambil beli takjil buat kamu," ujar Wening berusaha menenangkan sahabatnya.

"Tapi, ndak pernah sampai sesore ini, Wen. Paling lambat Kak Tio itu pulang jam setengah enam, ini udah lebih. Gimana kalau Kak Tio kenapa-kenapa? Duh, aku jadi cemas. Kenapa juga Kak Tio ndak bawa ponselnya! Astagfurullahaladzim!" Tifanny menggerutu sambil beristighfar berulang kali. Tak henti-hentinya ia merapalkan doa dengan harap Tio pulang dengan keadaan yang baik-baik saja.

Sampai beberapa detik kemudian, ketukan pintu mengalihkan pikirannya. Satu yang ia sebut, Kak Tio. Bergegas Tifanny mendorong kursi rodanya untuk membuka pintu, tanpa peduli bahwa Wening ada di sana.

"Kak Tio! Kak Tio ke mana aja? Kenapa ponselnya ndak dibawa? Tifanny khawatir tahu! Mana ndak bilang-bilang ada urusan apa!" Sampainya membuka pintu, Tifanny memboyong banyak pertanyaan. Membuat Tio meringis seketika.

"Maaf, Fan, Kakak kira urusan di masjid tadi sebentar, ternyata lama. Tadi ada rapat irmas sama panitia masjid mengenai zakat. Maaf, ya?" Tio berusaha menjelaskan.

Tifanny mengambil napas panjang. Syukurlah jika Tio tidak kenapa-kenapa. Namun, seketika ia tersadar. Tio pulang tidak sendiri, sepertinya ia membawa orang lain ke rumah ini. Tifanny meneleng, menengok siapa sosok yang berdiri di belakang Tio.

"Fa-fadil?" Tifanny agak terkejut.

Lelaki itu tersenyum manis. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Tifanny. Apa kabar?"

"Wa-waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Fadil. Alhamdulillah aku baik. Kamu sendiri ... bagaimana?"

"Alhamdulillah. Kalau kamu baik, aku juga baik," jawab Fadil ramah.

Mendengar nama Fadil, tiba-tiba saja Wening ke luar dari persembunyiannya. Tifanny cukup terkejut. "Assalamualaikum, Fadil! Wah, kamu ada di sini? Mau buka puasa di rumah Tifanny, ya?" tanya Wening langsung kepada intinya.

Fadil menyengir kecil. "Iya, tadi Kak Tio yang minta aku buat buka puasa sama kalian. Kebetulan jadwal aku lagi kosong, jadi ya udah aku ikut gabung sama kalian. Nggak apa, kan, Fan?"

"Nggak apa, dong!" Bukannya Tifanny yang menjawab, Wening justru lebih antusias. Membuat gadis itu menoleh ke arah Tio seolah meminta penjelasan.

"Ekhem. Masuk, yuk. Bentar lagi buka puasa," instruksi Tio sambil membawa Tifanny masuk.

Benar saja beberapa detik kemudian, suara azan menggema di rumah itu. Mereka serempak meminum air putih dahulu, kemudian dilanjutkan menunaikan salat magrib berjamaah dengan Tio sebagai imam. Barulah, setelah itu mereka berempat berbuka puasa bersama.

Tio dan Fadil tampak akrab, keduanya tak segan-segan untuk mengambil makanannya masing-masing. Begitu pula dengan Tifanny dan Wening, apa pun yang Tifanny butuhkan, Wening tak berat hati untuk membantu. Keduanya saling mengisi satu sama lain.

Hari raya tinggal menghitung hari, tak terasa ramadhan akan segera usai. Persahabatan yang Tifanny dan Wening rajut, nyatanya membawa mereka ke jalan kebaikan. Wening yang selalu ada di kala Tifanny bersedih, sedangkan Tifanny yang selalu menuntunnya untuk menjadi seorang muslimah yang baik. Mereka berdua sangat bersyukur karena telah dipertemukan, perbedaan yang ada itu tak menjadi penghalang untuk mereka berdua.

"Tifanny, makasih untuk hari ini, ya. Bukan hari ini aja, tapi sebelum dan sesudah hari ini. Aku sangat bersyukur kita bisa menjalin silaturahmi sampai sekarang. Dari kamu, aku banyak belajar. Tentang ikhlas, sabar, tutur kata dan lainnya. Terima kasih banyak, ya. Maaf, jika selama berteman, aku selalu merepotkan dan mungkin sempat membuat dirimu sebal. Tapi, dari lubuk hati yang paling dalam, aku sayang sama kamu, Fan. Aku udah anggap kamu kek saudara aku sendiri. Terima kasih banyak, ya," ujar Wening tulus. Mereka berdua ada di dapur, meletakkan piring-piring kotor ke tempatnya.

Tifanny tersenyum hangat. "Sama-sama, Wening. Aku juga sangat bersyukur sama Allah, karena udah pertemukan aku sama kamu. Dari kamu, aku juga bisa belajar tentang keberanian. Aku salut sama kamu. Makasih juga, ya, kamu masih mau berteman dengan aku walaupun keadaannya ndak sama seperti dulu."

Wening menggeleng pelan. "Kamu menerima aku apa adanya, begitu pun dengan aku, Fan. Apa pun kondisi kamu, aku nggak peduli. Semoga persahabatan kita nggak sampai di dunia aja, ya, tapi sampai akhirat nanti."

"Aamiin Allahumma aamiin." Setelahnya mereka berpelukan singkat. Saling memberikan kehangatan layaknya seorang sahabat.

"Udah siap?" tanya Tio. Sekarang, mereka tengah bersiap-siap untuk pergi salat tarawih berjamaah di masjid. Tio juga sudah mengganti pakaiannya dengan setelah baju kemeja panjang warna hitam yang dipadukan dengan sarung senada.

Begitu pula dengan Fadil, lelaki itu juga sempat mengganti bawahannya menggunakan sarung, dan itu meninggalkan kesan baik di mata Tifanny.

"Masya Allah. Fadil manis banget," gumam Tifanny memuji.

"Apa? Fadil manis?" Dengan kompak Tio dan Wening bersuara. Aksi yang mereka lakukan, spontan membuat Fadil menoleh ke arah Tifanny.

"Ih, Wening sama Kak Tio apa-apaan, sih!" balas Tifanny malu.

"Barusan kamu muji Fadil lho, Fan," goda Wening membuat pipi Tifanny menjadi merah.

Fadil tersenyum manis. "Aku emang manis kok, Fan," ujar Fadil membuat Tifanny tambah malu.

"Tuh, direspon sama yang punya nama," sahut Tio tertawa kecil.

"Kakak!"

"Wah, fiks ini sih, Kak, habis lebaran Fadil bakal lamar Tifanny. Ya nggak, Dil? Atau ... malam takbiran nanti?" Wening terus menggoda.

"Wening, ih! Udah, dong!"

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now