27. Mempersiapkan Kepergian

2 0 0
                                    

"Kembali."

Tifanny yang baru selesai menuangkan kue dari loyang ke piring datar berwarna putih, menoleh pada Wening dengan alis terangkat sebelah. "Apanya yang kembali?" tanyanya bingung.

Wening berdeham. "Itu, bisa kita kembali ke bahasan tadi?"

"Oh ...." Tifanny membulatkan mulut lantas mengangguk. "Boleh," balasnya dengan tangan yang melepas sarung tangan khusus yang tadi dia gunakan untuk mengangkat loyang panas.

Karena Wening tak kunjung kembali mengeluarkan suara, sambil mendudukkan diri di seberang gadis itu, Tifanny menodong. "Mau bahas apa lagi tentang orang tua?"

"Kamu okay bahas ini?" Wening menggigit bibir. Dia meragu, sedikit khawatir membuat Tifanny sedih, tetapi juga dia sangat penasaran.

Tifanny menyandarkan punggung ke sandaran. "Kalau dulu, saat baru banget peristiwa naas itu terjadi, jelas aku ndak baik-baik aja. Bagaimanapun, yang namanya kehilangan itu nggak mudah. Apalagi kehilangan orang tua. Rasanya ... menyakitkan."

Jeda beberapa detik, Tifanny menghela napas panjang. "Menghadapi perpisahan karena kematian orang yang disayangi itu ndak mudah buatku, dan mungkin untuk orang lain yang sama-sama pernah merasakannya. Yang menjadi pemisah bukan lagi jarak dan waktu, tapi alam. Aku masih di alam dunia yang fana ini, sementara ayah dan ibuku sudah Allah jemput ke alam barzah."

Wening berpindah ke kursi yang ada di sisi Tifanny, kemudian meraih tangannya sembari menggumamkan maaf berkali-kali.

Namun, Tifanny malah mendongak, meniupkan udara ke sekitar wajah bahagia atasnya, kemudian tersenyum. "Sekarang aku udah baik. Aku ndak berlarut-larut meratapi kepergian mereka, karena sebelum pergi mereka senantiasa mengingatkan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati, maka harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya."

Wening agak mengerutkan dahi. Ekspresinya berubah bingung. "Mempersiapkan kematian?"

"Heem." Tifanny mengubah posisi tangannya, kini telapak tangannyalah yang ada di atas punggung tangan Wening. Masih dengan pipi yang menaik karena senyumnya, Tifanny memaparkan, "Selama kita masih hidup, kita memiliki kesempatan untuk mempersiapkan kematian, yaitu mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Adapun cara mengumpulkan bekal itu beragam. Bisa dengan senantiasa melaksanakan segala perintah Allah SWT, dan menjauhi larangannya; semangat memaksimalkan ibadah; dermawan dan suka bersedekah; selalu menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan; dan melakukan atau membuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Intinya harus beramal saleh dan meninggalkan kesyirikan."

Wening tertegun. Matanya menatap penuh takjub. Mulutnya agak terbuka sedikit. Bengong.

"Hey!" Tifanny bertepuk tangan sekali, tepat di dekat wajah Wening.

Wening terkesiap. Lantas menarik tangannya untuk menggaruk tengkuk. "Hanya kagum menyadari peluang mempersiapkan kepergian," kecapnya polos.

Tifanny menggeleng pelan, tersenyum geli. "Jangan cuman dikagumi, tapi coba dilakoni."

Wening menyengir. "Temani, ya?!"

"Yok!" Tifanny mengambil penutup untuk diletakkan di atas kue yang sudah mendingin. "Saling mengingatkan saja."

"Eh," seru Wening lagi setelah hampir hening. Gadis itu mencondongkan tubuhnya kepada Tifanny, teramat dekat.

Tifanny sampai risi dan agak sedikit menahan bahu Wening. "Apa lagi?"

Wening tersenyum sok misterius. "Kalau nggak salah ingat, salah satu yang masih mengalir dan membantu kita di alam kubur itu doa anak yang saleh, ya?"

Terlebih dahulu Tifanny menggeser kursi rodanya ke belakang untuk memberi ruang antaranya dengan Wening yang masih menatapnya intens. "Iya, ada tiga hal yang bisa menjadi amal jariyah atau amal yang terus mengalir meskipun kita sudah meninggal, yaitu sedekah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh. InsyaAllah."

"Nah!" Giliran Wening yang bertepuk tangan sekali. "Buat sedekah 'kan kamu udah rajin tuh yang tiap subuh itu. Terus ilmu yang bermanfaat, insyaAllah juga udah, terbukti dengan penyampaian yang kamu lakukan ke aku. Sisa doa dari anak yang saleh, gimana nih persiapannya?"

"Heh!" Tifanny memelotot.

Sebelum sang sahabat meneruskan intrupsinya, Wening malah terus nyerocos, "Kayaknya kamu harus mulai mempertimbangkan kalau-kalau nanti Syawal Fadil melamar. Pokoknya langsung terima biar bisa gaspol ngadonan ponakan yang saleh!"

Mata Tifanny kian ingin melompat dari tempatnya. Apa kata Wening? Ngadonan? Dikira mau bikin kue apa?

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now