4. Tarawih

5 2 0
                                    

Selamat membaca!

"Sudah, ndak usah menangis. Lagipula aku sudah ndak apa-apa. Semuanya sudah takdir, kita ndak bisa menolak, kan?" Tifanny melepaskan pelukan, menampilkan senyuman, seolah mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja.

Wening menghela napas gusar. "Kalau begitu, ayo aku antar kamu pulang. Bukankah kamu bilang Kak Tio akan pulang menjelang isya?" ajak gadis itu, tetapi diurungkan oleh Tifanny.

"Ndak usah antar ke rumah, tapi antar aku ke masjid saja. Nanti aku akan bertemu Kak Tio di sana."

"Ke masjid? Kamu ... mau salat isya di sana?" tanya Wening. Tampaknya gadis itu kebingungan akan keputusan yang Tifanny buat.

"Wening, Wening. Bukan cuma salat isya saja, tetapi salat tarawih dan witir juga. Kamu ndak lupa itu, kan? Jadi, nanti kamu sekalian ikut salat di sana."

"Sa-salat tarawih, ya? Aduh. Sepertinya ... aku nggak bisa ikut, Fan." Gadis itu sedikit meringis saat temannya itu mengajak salat di masjid.

"Ndak bisa kenapa emangnya?" tanya Tifanny penuh penasaran. Agaknya Tifanny tak mengetahui apa yang menjadi permasalahan Wening.

"Ini ... em, a-aku ... lupa bacaan niat tarawih dan jumlah rakaatnya. Hehe." Wening menyengir. Rasanya malu untuk mengungkapkan ini, tetapi apa boleh buat? Kenyataannya memang begitu.

"Ah, kukira apa. Kalau kamu lupa, aku bisa bantu ingatkan, kok. Untuk jumlah rakaatnya itu ada yang 8 rakaat dan ada juga yang 20 rakaat. Terus, akan ditutup dengan salat witir 3 rakaat. Nah, kalau di masjid kita ini, biasanya salat tarawih nya yang 20 rakaat, tambah witir jadi semuanya 23 rakaat," jelas Tifanny dengan semangat.

Wening membulatkan matanya. 23 rakaat? Ah, tidak! Wening tidak sanggup, terlalu lama. Apalagi di dalam masjid itu ramai orang, pasti suasananya akan panas. Belum lagi, ada suara berisik dari anak-anak kecil. Wening tidak suka itu!

"Fan, sepertinya aku akan mengantarkan kamu saja, tidak ikut salat," putus Wening.

"Alasannya kenapa lagi?" Tifanny menodong pertanyaan.

"Huh. Itu pasti akan lama. Aku nggak suka lama-lama!" Pernyataan yang baru saja diutarakan, ternyata mendapat sengatan dari temannya.

Tak.

Dengan sengaja Tifanny menyentil tangan Wening. "Fan, sakit atuh!"

"Biarkan saja! Lagipula kenapa juga kamu harus bilang kek tadi? Aku kasih tahu, ya, harusnya kita tuh bersyukur bisa ketemu lagi di bulan Ramadhan. Bisa merasakan nikmatnya puasa, salat tarawih berjamaah di masjid, dan juga peristiwa lainnya. Orang di luar sana banyak menantikan bulan ini, tetapi umurnya udah ndak sampai. Dan kamu seenaknya bilang gitu!" ujar Tifanny menatap Wening dengan sebal.

"Emang, kalau aku salat tarawih aku bakal dapat apa selain capek?"

"Banyak!"

"Kalau banyak, ayo sebutkan! Aku ingin tahu."

"Tapi kamu harus janji, setelah aku sebutkan kamu harus ikut salat tarawih di masjid." Tifanny mengajukan penawaran.

"Tergantung bagaimana kamu menyampaikannya."

"Oke! Akan aku jelaskan. Jadi, salat tarawih itu hukumnya sunnah—"

"Nah, apalagi sunnah! Berarti nggak apa kalau  ditinggalkan—"

"Tapi sangat dianjurkan untuk dikerjakan, karena salat itu amat istimewa," potong Tifanny cepat. "Dibilang istimewa itu karena salat tersebut hanya dikerjakan di bulan ramadhan. Keutamaannya ada banyak. Salah satunya adalah diampuni dosa-dosa terdahulu. Kamu ndak mau dosa-dosa kamu sebelumnya diampuni sama Allah? Lumayan loh, Wen, yang tadinya satu kilo, jadi tinggal setengah."

Pertanyaan Tifanny berhasil membuat Wening berpikir sejenak. Bisa dibilang, ia sedikit tertampar. Apalagi jika mengingat dosa-dosanya terdahulu, pasti sudah menggunung.

"Ndak hanya itu saja. Keutamaan lainnya adalah kita dapat menyemarakkan Ramadhan, itu sudah kujelaskan tadi bahwa salat tarawih itu sangat istimewa. Nah, selain itu, kita juga dapat meningkatkan silaturahmi. Siapa tahu, saat kita salat di masjid nanti, kita bisa bertemu dengan teman sekolah kita dulu. Rata-rata mereka sama seperti kamu, pergi merantau melanjutkan pendidikan dan mungkin sekarang dia juga pulang ke desa untuk bertemu keluarga."

Setelah mendengar keutamaan yang sudah dijelaskan oleh sahabatnya tadi, sepertinya hati Wening tergerak untuk ikut. Apa yang diucapkan Tifanny ada benarnya. Wening juga sudah lama tidak bertemu dengan teman-temannya. Bagaimana kabar mereka, ia pun tidak tahu.

"Baiklah. Kalau begitu aku akan ikut," putus Wening.

"Alhamdulillah. Baiklah, kalau begitu ayo kita siap-siap!" ajak Tifanny dengan semangat. Gadis itu tak sama sekali melunturkan senyumannya.

"Mukena kamu bagaimana? Mau pinjam punyaku?" tawar Wening.

Tifanny menggeleng pelan. "Ndak usah, Wening. Nanti Kak Tio membawakan mukena untukku."

"Ah, baiklah jika begitu. Kakakmu itu memang sungguh perhatian. Aku jadi ingin mendaftar sebagai calon kakak iparmu," goda Wening yang langsung dibalas dengan tatapan tajam.

"Heh. Enak saja! Aku ndak sudi kalau kamu jadi kakak iparku!" balas Tifanny dengan raut wajahnya yang cemberut.

"Eh, kenapa? Aku 'kan ... cantik!"

"Kamu itu cocoknya sama Fadil, teman sebangku kamu dulu. Masih ingat? Dia sudah pulang, lho, dari Kalimantan. Kamu ndak mau tengok dia?" Tifanny balik menggoda.

"Tifanny! Jangan coba-coba ingatkan aku dengan dia!"

"Jangan teriak, nanti diomelin sama bunda, lho. Sudah sana, kamu siap-siap. Aku tunggu di luar."

Akhirnya Wening mengikuti ucapan sahabatnya itu. Ia bergegas pergi ke kamar untuk bersiap. Setelah selesai, barulah keduanya pamit dan segera pergi ke masjid sebelum waktu isya tiba.

"Wen," panggil Tifanny saat mereka hendak pergi.

"Kamu masih ingat jalannya, kan?"

"Heh. Kamu meremehkanku? Aku asli orang sini, nggak mungkin aku lupa!"

"Ya ... kalau saja kamu lupa. Kamu 'kan dah jadi anak ratauan," canda Tifanny.

"Walau jadi anak rantau, aku nggak bakal lupa, kok. Apalagi sama kakak-kakak ganteng di sini."

"Heh. Kebiasaan!"

~~~

Meski lagi sering hujan, tapi semoga kita bisa tetap melaksanakan tarawih, ya.🤲

Salam hangat dari aku dan Kak toetikhdhyh_ 🤗

Mengejar LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang