12. Salam

5 0 0
                                    

"Kami pamit, ya," ucap Tifanny pada pemuda jangkung berambut ikal yang berdiri beberapa meter di depannya.

"Langsung pulang?" tanya pemuda itu.

Dia adalah Fadil, teman sekelasnya, yang pernah diisukan dekat dengan Wening. Padahal tidak benar. Wening sama sekali tidak menaruh perasaan romantis pada pemuda berkulit sawo matang itu. Wening hanya kebetulan senang mengajaknya ngobrol karena pengetahuan pemuda itu sangat luas.

Kini mereka bertemu seusai kajian. Tadi, saat Wening akan terburu-buru mendorong Tifanny, Fadil bersama adik perempuannya, datang menyapa. Memang yang mengikuti kajian tidak hanya perempuan, laki-laki juga banyak. Akan tetapi, penempatannya sangat dijaga. Terpisah dengan batas-batas tertentu. Semua baru bisa saling melihat bebas saat di halaman.

Wening menyikut pinggang Tifanny. Wajahnya condong ke dekat telinga Tifanny, berbisik, "Kok pulang, sih? Ngobrol dulu, 'lah! Kapan lagi kamu bisa dekat dia."

Ya, sebenarnya justru Tifanny 'lah yang menaruh hati pada Fadil. Namun, karena pembawaan Tifanny yang pemalu, membuatnya memilih menyembunyikan perasaan. Namun, Tifanny terlalu pandai menutupinya sampai orang lain tak menyadarinya. Hanya Wening yang tahu, itu pun karena saat SMA dulu pernah tak sengaja mengintip coretan di belakang buku Tifanny.

"Pulang! Sekarang!" geram Tifanny tertahan. Matanya melotot. Meskipun menyimpan rasa, tetapi Tifanny juga tidak mau terlalu banyak melakukan interaksi di luar urgensi. Dia tidak mau menambah dosa karena berbaur dengan yang bukan mahram.

Wening berdecak. Kalau sudah mengeluarkan ekspresi seperti itu, berarti keputusan Tiganny sudah final. Maka, mau tidak mau Wening menegakkan tubuhnya. Memasang senyum terpaksa pada Fadil.

"Iya, kami langsung pulang. Aku akan mengantar Tifanny dulu."

Tifanny mencubit lengan Wening. Kesal. Kenapa juga Wening menambahkan keterangan itu.

Namun, Wening tak mengacuhkan. Dia melanjutkan pamitannya, "Permisi, ya."

Fadil menarik kedua sudut bibirnya, menampilkan lesung pipi. "Iya, silakan. Hati-hati di jalan, Wening ..., Tifanny."

"Makasih," kecap Wening dan Tifanny berbarengan tanpa aba-aba.

Setelahnya Wening bersiap di belakang Tifanny untuk mendorongnya. "Daaah!" serunya sembari melambaikan tangan.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!" ujar Tifanny agak keras, agar tetap bisa terdengar, walau posisinya sudah bergerak menjauhi pemuda itu.

Setelahnya Tifanny menoleh pada Wening. "Pamit itu ngucap salam. Bukannya dadah dadah."

Wening mengedikkan bahu. "Si Fadil itu sepantaran kita, ngapain formal-formal amat. Ngakrab gaul aja," balasnya ringan.

Tifanny menggeleng kaku. "Ini bukan cuman perkara formal atau ndak. Tapi lebih ke kesopanan dan keberkahan. Meskipun sama sebayaan, kita juga harus tetap sopan. Lagipula dengan mengucap salam, artinya sama dengan kita mendoakannya."

Alis Wening bertaut. "Mendoakan?"

Tifanny mengangguk. "Dalam kalimat salam, asssalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, itu terdapat doa kebaikan untuk mereka yang disalami."

"Tapi emang harus selengkap itu?" Wening menggaruk kepala pinggirnya. "Maksudku harus selalu, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh? Nggak boleh, assalamu'alaikum, aja? Biar lebih simpel."

Tifanny berdeham. "Tadi sudah kubilang, salam itu doa, semakin pendek kita mengucapkannya maka pendek juga doanya, semakin lengkap kita mengucapkannya maka lengkap pula doanya. Salam yang lengkap, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, itu artinya 'semoga keselamatan dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya terlimpah untukmu atau semoga Allah melimpahkan keselamatan, rahmat, dan keberkahan untukmu'. Emang kamu nggak mau mendoakan dan didoakan balik seperti itu?"

Kening Wening masih berkerut. "Didoakan balik?"

"Heem." Kepala Tifanny bergerak-gerak ke bawah. "Saat diberikan salam, maka kita wajib menjawabnya, dan harus lebih lengkap dari yang kita terima. Kalau yang nyalamin cuman sebatas kata pertamanya, assalamu'alaikum, kita harus lebih dari itu. Bisa sampai warahmatullahi, bahkan ditambah juga wabarakatuh. Jadi, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, artinya 'Dan semoga keselamatan dan rahmat Allah serta keberkahannya terlimpah juga kepada kalian'."

Tifanny mengambil jeda sejenak, lalu menambahkan, "Begitu lebih berkah."

"Wah, bisa dapat pahala berarti?" Mata Wening tiba-tiba berbinar.

Tifanny menganggapi kalem. "InsyaAllah."

Wening menghentikan pergerakan kakinya, bertepuk tangan sekali. "Okey, kita coba. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Tifanny Anggraeni."

Tifanny tersenyum geli. Absurd sekali temannya itu. Namun, dia tak urung segera menanggapi. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Wening Ekanindya."

Mengejar LenteraOnde as histórias ganham vida. Descobre agora