21. Takjil

2 0 0
                                    

"Ramai banget, ya," seru Wening dengan mata berbinar tatkala mengedarkan pandangan pada puluhan pedagang yang menghiasi pinggiran jembatan di atas jalan tol. Tangannya yang berada di pundak Tifanny bertepuk-tepuk. Takjub.

"Pas awal lebih rame."

Bukannya Tifanny yang menganggapi, malah suara rendah seorang lelaki yang sedari tadi berjalan di belakang kedua gadis itu.

Wening menoleh. Melihat Tio sedang menyugar rambut mulletnya. Tampak sangat cool dan manis. Ah, Wening jadi ingat menjerit-jerit. Akan tetapi, karena teringat dengan kejadian sebelumnya, dia memilih mengalihkan pandangan.

Tadi pagi, Wening mengira salam yang menyambangi rumah Tifanny berasal dari Fadil, tetapi ternyata salah. Yang kembali akan memasuki rumah itu adalah Tio, yang harus mengambil ponselnya yang ketinggalan. Tio yang memiliki kemampuan meniru suara orang lain, sengaja meniruka suara Fadil untuk mencandai Wening dan Tifanny.

"Bener!" sorak Tifanny. Akhirnya dia memilih membuka suara untuk mengusir kecanggungan yang tercipta antara kakak dan sahabatnya.

Wening berdeham. Memindahkan tangannya dari pundak Tifanny ke alat pendorong kursi roda. "Apaan yang bener?" tanyanya bingung sembari mulai melangkahkan kaki--jenjangnya yang terbalut rok payung--untuk melihat-lihat dagangan para pedagang di Pasar Bedug itu.

"Ini." Tifannya menggerakkan tangan untuk menunjuk sopan pemandangan di sekitar mereka. Di area yang tidak terlalu lebar, tetapi cukup memanjang itu, terdapat bermacam jualan makanan. Mulai dari aneka gorengan, kue, kolak, asinan, camilan pedas, sampai berbagai kreasi minuman, ada di sana.

"Waktu hari pertama Ramadhan malah lebih ramai dari ini. Biasa, euforia penyambutan. Kalau sekarang ... udah agak berkurang jumlah pedagangnya. Mungkin udah pada mudik."

Wening membulatkan mulut. Saat yang Tifanny maksud itu adalah hari pertama mereka bertemu di pagi hari, tidak terlalu lama, maka pantas Wening tidak memiliki pengalaman yang sama. Saat hari pertama dulu dia sama sekali tidak ngabuburit untuk berburu takjil, karena keburu buruk suasana hatinya setelah diminta masak makanan aneh oleh Ragil.

"Berhenti, Wening." Tifanny mengintruksi ketika mereka melewati jajaran penjual makanan manis.

Wening mengangkat sebelah alis. "Mau jajan ini?"

Tifanny mengangguk-angguk semangat. Tanpa membuang waktu dia segera menggerakkan kursi rodanya sendiri menuju salah satu stan yang menjajakan kue-kue kering.

Wening yang melihat keantusiasan Tifanny, jadi menggerak-gerakkan kepala, tersenyum geli. Bagaimanakah Tifanny membangun dirinya untuk dewasa bersama segala pola pikirnya, ternyata dia masih tidak bisa menghilangkan kebiasaan lamanya yang begitu menggemari makanan seperti anak kecil. "Dasar maniak manis," keluh Wening.

"Tolong dimaklumi, ya," pinta Tio yang akhirnya sampai ke sisi Wening.

Wening menghela napas sebentar, lantas mengangguk-angguk. Jelas saja dia akan memaklumi Tifanny. Lagi pula itu bukan sesuatu yang besar apalagi berat. Wening lebih sadar diri bahwa dia jauh lebih kekanakan, tetapi Tifanny tak pernah meninggalkannya.

"Kamu ada yang mau dibeli?" Tiffany bertanya, setelah selesai dengan transaksinya. Kini, di bagian pinggir kursinya tersimpan rapi sebuah kresek putih yang membayang isi berwarna coklat.

"Brownies?" tebak Wening.

"Betul." Tifanny bertepuk tangan sekali. "Sekarang kamu mau beli apa?"

Wening mengusap dagu. Sebenarnya dia tergoda dengan keripik-keripik bumbu pikda yang tadi sudah cukup jauh terlewati. Namun, mengingat belum lama ini dia sudah membeli keripik saat di pasar, maka dia memilih urung untuk membelinya di sini, takut kena semprot mama.

"Nah!" Wening menjentikkan jemari, ketika matanya melurus pada penjual gorengan. "Aku mau gehu!" katanya girang lalu menyeberang, meninggalkan Tifanny dan kakaknya.

Wening melihat penuh minat para tangan penjual yang sedang mengemas pesanannya. Dia senang. Akhirnya di paruh ketiga bulan Ramadhan ini, dia akan bisa membalas kesalnya pada Ragil dulu yang tidak mau membagi makanan--hasil paduan tahu Sumedang berisi toge dan cabai yang terbungkus adonan tepung--itu.

"Sudah?" Tifanny menodong saat Wening kembali.

Cengiran Wening terbit. "Sudah. Aku udah puas siapin alat buat goda Ragil."

"Astaghfirullah ...." Tifanny menggeleng. Itu adalah Wening masih kekanakan.

"Kamu mau nambah jajanan lagi?" Wening mengalihkan.

Tifanny mengedikkan bahu. "Ndak. Ini sudah cukup. Menyiapkan takjil itu tidak boleh berlebihan. Khawatir nantinya malah mubazir, atau membuat tarawih terganggu. Jadi, secukupnya saja."

"Sepakat." Tiba-tiba Tio menyahut dengan suara yang--entah kenapa--di telinga Wening begitu menyejukkan indra rungunya.

Membuat Wening kembali memalingkan muka. Dia tuh sedang ingin sok kesal pada Tio. Namun, sepertinya tak akan bisa. Pesona Tio membuatnya mleyot tak berdaya.

Mengejar LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang