18. Menghadapi Bullying

2 0 0
                                    

"Nyari apa lagi?" Wening bertanya sembari melihat Tifanny yang sedang mengecek kertas catatan kecil di tangannya.

"Uhm ...." Tifanny masih memindai, mencorat-coret bagian yang sudah tak diperlukan. Beberapa sekon kemudian dia mendongak sembari melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke saku gamis. "Tinggal nyari makanan ringan, sih. Tapi nanti aja di luaran, nyari di jajaran toko yang ada di pinggiran parkiran. Kamu nggak ada yang mau dibeli?"

Wening terdiam sejenak. Kepalanya berputar. Pandangannya mengedar pada sekeliling mereka yang dipenuhi penjual dan pembeli yang sedang melakukan transaksi. Ya, kini mereka sedang berada di pasar.

Pagi tadi, setelah melakukan sedekah subuh, Tifanny mengajak Wening untuk menemaninya berbelanja kebutuhan dapur bulanan juga persiapan lebaran. Wening yang kebetulan sedang malas di rumah, karena berseteru dengan Ragil gara-gara sahur tadi saling mengganggu, segera saja menyetujui ajakan itu.

Jadilah kini mereka mengelilingi tempat penuh barang dan orang itu. Dengan setia Wening menemani Tifanny dengan berjalan di belakangnya. Tifanny memang menolak didorong karena katanya ingin serba bisa sendiri. Wening yang sedang tak ingin mendebat, akhirnya memilih membiarkan saja, walaupun tetap matanya tajam mengawasi. Khawatir Tifanny kehilangan keseimbangan atau menemukan jalanan yang tak datar.

Beres mengamati, Wening mengedikkan bahu. Tidak ada yang menarik minatnya di bagian dalam pasar seperti ini. Dia tidak merasa perlu berbelanja keperluan dapur atau persiapan lebaran karena hal itu akan dihandel sang bunda. Jadi, daripada salah beli, dia memilih tak ikut campur, biarkan bunda berkuasa di istananya.

"Yakin?" Tifanny menggeser kursi rodanya agak ke pinggir karena takut menghalangi pejalan lain.

Wening hampir mengangguk, tetapi kemudian menggeleng-geleng. "Eh, mau, deh. Ada yang mau aku beli."

"Apa?" Tifanny penasaran.

"Keripik." Wening menyengir. Ya, dia perlu membelakakan makanan favoritnya itu.

Tifanny membulatkan mulut. "Itu adanya di tukang makanan ringan. Jadi, yuk ke luar dulu!"

Wening mengangkat kedua jempol tangannya. "Sip!"

Tiba di jejeran toko luar, Tifanny menahan Wening untuk tak langsung memasukinya. Terlebih dulu mereka harus memindai tanpa kentara. Memilih yang kiranya paling lengkap dengan harganya relatif terjangkau.

Wening menurut saja, walau akhirnya hanya diam. Dia tidak memiliki preferensi tentang belanja. Meskipun hobi memasak, tetapi dia tidak pernah tahu menahu bagaimana cara mendapatkan bahannya di luaran. Yang dia tahu itu pasti sudah ada di dalam kulkas dan lemari. Waktu di tempat rantau pun dia hanya tahu masak, bundanya yang rajin berkunjung selalu mengurus persediaan bahannya.

"Orang kagak punya duit lagi pada ngiler jajanan, nih."

Wening dan Tifanny berpandangan. Itu bukan suara salah satu dari mereka.

"Kasihan," sambung suara yang lagi-lagi tidak Wening dan Tifanny kenali.

Saat menoleh ke kiri, Wening dan Tifanny mendapati dua gadis berdiri menghadap mereka dengan tangan yang kompak terlipat di dada. Pakaiannya modis, bawahan celana jeans ketat berhiaskan banyak robekan, dipadu atasan crop top yang memamerkan perut dan pundak mereka.

Tifanny lantas beristighfar. Sementara Wening berdecih. Hari ini mereka memang hanya mengenakan gamis simpel, tanpa aksesoris mewah apa-apa. Namun, bukan berarti mereka sama sekali tidak punya. Meski tidak kaya, tetapi keduanya sama-sama cukup, untuk hidup sederhana.

"Mana yang satunya cacat lagi, pasti kesusahan banget." Gadis berbaju ungu kembali berkata. Tangannya yang memegang tote bag tak berlogo bergerak-gerak, seolah ingin diperhatikan. Jelas, ingin pamer bahwa dia mampu.

"Apa kita kasih sumbangan, ya?" timpal gadis berbaju merah menyala sembari mengibaskan rambutnya yang dicat senada dengan bajunya

"Maaf, ya, kami nggak nyari sumbangan!" seru Wening tak tahan dengan suara mereka yang membuat telinganya terasa pengang.

"Oh, bisa ngomong ternyata. Aku kira kalian bisu." Gadis berbaju ungu maju, mendekat dengan mata yang menatap penuh ejekan.

"Tolong dijaga, ya, mulutnya! Jangan sembarangan mengatai orang tak dikenal!" Tangan Wening terkepal untuk meredam emosi.

"Ow!" Si baju merah menutup mulut, sok terkejut. "Kami kenal kalian, lho. Masa kalian udah lupain kami?!"

"Si—"

"Halo, Rara, Nia!" Tifanny memotong perkataan Wening. Tangannya meraih tangan Wening untuk menenangkan.

"Masih ingat ternyata," tanggap Rara, si baju ungu.

Tifanny mempertahankan senyum. "Iya, kita 'kan teman semasa sekolah. Mana mungkin saling melupakan."

"Sorry, ya, kita ini bukan teman!" Si Noa. "Kita rival. Musuh. Saingan. Gara-gara kalian berdua, posisi kami sebagai bintang kelas tergeser. Gara-gara kalian sok caper, kita jadi nggak dapat perhatian guru."

Wening tertegun. Oh, sekarang dia ingat. Dua gadis itu adalah temannya semasa SD dulu. Mereka awalnya berbeda kelas, tetapi di kelas enam kelas mereka disatukan, dan mereka yang semula menjadi paling tinggi nilainya menjadi tergeser ke posisi lebih bawah gara-gara Wening dan Tifanny.

Namun, itu bukan karena Wening dan Tifanny cari perhatian atau apa. Itu semua murni hasil dari belajar mereka yang sungguh-sungguh. Entahlah kenapa bisa dua gadis itu malah menyimpan dendam atas hal yang tidak direncanakan begitu.

"Ah, tapi untunglah, sekarang terbukti kita bintangnya! Kalian nggak jadi apa-apa, nggak punya banyak followers, nggak terkenal, dan malah jadi orang cacat!" Tatapan merendahkan Rara tertuju pada Tifanny.

Amarah menguasai Wening. Dia hampir maju dan berteriak, tetapi lagi-lagi Tifanny menahannya, dengan gerakan bibir tanpa suara, yang menyatakan kalimat, "Kita pergi!"

Kepala Tifanny meneleng. Berharap Wening menurutinya untuk segera beranjak. "Kami permisi, ya," katanya masih tetap sopan pada Rara dan Nia.

Akhirnya, tanpa menunggu balasan, Wening mendorong cukup cepat Tifanny ke salah satu toko berlabel terkenal.

Tifanny memelotot. "Ini mahal, Wen!" jeritnya tertahan.

Namun, Wening memilih abai. "Sesekali kita perlu membuktikan diri."

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now