10. Menuntut Ilmu

3 1 0
                                    

Selamat membaca

"Kak, Tifanny izin mau ke masjid, ya? Ada kajian di sana." Gadis itu menggerakkan kursi rodanya, menghampiri Tio, lalu menyalaminya.

"Perlu Kakak antar?" tawar Tio.

Tifanny menggeleng pelan. "Ndak usah, Kak, Tifanny nanti mau ke rumah Wening dulu. Sekalian mau ajak dia. Lagipula, Kakak 'kan mau berangkat kerja lagi, takutnya telat."

"Nggak juga, sih, sebenarnya. Masih ada waktu kok, Fan," balas Tio sambil netranya melirik jam dinding di sebelah kanannya. "Sekarang jam 2 siang, Kakak berangkat jam 3, masih banyak waktunya."

"Ndak apa, Kak. Tifanny sendiri aja, sekalian mau latih kursi roda ini. Kalau dimanja terus, nanti tambah kaku. Ndak apa, kan?" Gadis itu sedikit memohon, berharap Tio akan mengizinkannya.

Tio pasrah. "Kalau emang itu keinginan kamu, ya udah, Kakak izinin. Tapi, jalannya pelan-pelan, nggak usah buru-buru. Kalau nggak keberatan, minta tolong Wening jagain kamu." Walau Tio mengizinkan, tetapi rasa khawatirnya jauh lebih besar. Terlebih, kondisi Tifanny yang saat ini cukup memprihatinkan. Namun, gadis itu pernah bilang, bahwa apa pun kondisi tubuhnya itu bukanlah suatu hambatan.

Tifanny tersenyum senang. Sambil mengangkat jari jempolnya ia berkata, "Siap, Kak! Aman! Tifanny bakal pelan-pelan jalannya."

Tio mengangguk lega. Ia percaya pada adiknya itu.

"Tifanny berangkat, ya? Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

•••

Sekitar lima belas menit Tifanny menunggu di halaman teras, tetapi sang penghuni tak kunjung membukakan pintu. Ini sudah kedua kalinya. Tifanny tebak, gadis itu pasti tengah tertidur. Sampai-sampai, panggilan dari luar tak sanggup masuk ke telinganya.

"Coba lagi, deh. Assalamualaikum! Wening! Ada Tifanny di sini, ayo ke luar!" Tifanny berusaha memanggil dengan cukup kuat, tak seperti biasanya. Bukan bermaksud tak sopan, tetapi agar sang penghuni mendengar panggilan darinya.

Hanya menunggu beberapa detik, akhirnya pintu bercat putih itu terbuka. "Tifanny? Hoam. Ada apa ke mari?" tanya Wening tanpa merasa bersalah.

Tifanny menelengkan kepalanya, sambil memperhatikan sahabatnya itu cukup heran. "Wening, kamu ... tidur lagi?" tanyanya.

"Heem. Memangnya kenapa?"

"Kenapa?" Tifanny terkejut. "Astagfirullah, Wening! Kemarin baru loh aku kasih tahu, kamu lupa, ya?"

Dahi Wening berkerut, seolah tengah mengingat sesuatu. "Emang kamu kasih tahu apa?"

Tifanny menghela napas pelan. "Allahuakbar. Kek gini, ya, kalau punya teman bebal." Beberapa kali gadis itu mengusap dada sambil melafalkan istighfar.

Sedangkan Wening, ia acuh. Apa pun yang Tifanny katakan kemarin, sepertinya ia tidak mengingatnya sama sekali. "Kamu ke sini mau ngapain? Kok, rapi banget? Mau pergi, ya?" Tiba-tiba atensinya teralihkan saat melihat penampilan Tifanny.

"Aku mau ajak kamu ke masjid, ikut kajian," jawab Tifanny cepat.

"Kajian? Kajian itu apaan?"

"Kajian itu penyelidikan tentang sesuatu. Nah, kajian yang kumaksud ini, kita tentang menyelidiki atau mempelajari sesuatu, yaitu ilmu agama. Ada narasumbernya, lho. Ustadz Hanan Hattaki!" jelas Tifanny tampak semangat. "Kamu ikut, ya?"

"Nggak."

Semangat Tifanny tiba-tiba luntur tatkala mendengar jawaban Wening. "Kenapa?"

"Nggak asik, nggak keren!"

Sedetik kemudian, Tifanny langsung mencubit lengan sahabatnya itu. "Apa kamu bilang? Ndak asik? Ndak keren? Terus, keren menurut kamu apa?" Gadis itu sedikit meninggikan suaranya. Terlalu gemas mendengar sahutan Wening.

"Aduh, Fan! Sakit tahu!" adu Wening sambil mengusap-usap lengannya.

"Biarin aja!"

"Lagian apa, sih, untungnya aku ikut kek gituan?"

"Pertama, kajian itu 'kan sama saja dengan menuntut ilmu. Nah, menuntut Ilmu Adalah Kewajiban dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; 'menuntut ilmu wajib atas setiap orang Islam'. Karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan wahyu adalah ayat tentang ilmu yakni Iqra (bacalah). Membaca adalah bagian menuntut ilmu (baca, tulis, hafal, faham). Waktu SD diajarkan cara membaca dengan metode CBSA (Cara belajar siswa aktif) salah satunya menggunakan buku 'Belajar Membaca dan Menulis' yang isinya ada kalimat Ini Budi, ini ibu Budi."

Wening mendengar saksama. Untuk keuntungan pertama, sepertinya ia sudah paham sebelumnya.

"Nah, yang kedua, dengan menuntut ilmu kita dapat mengangkat derajat. Janji Allah subhanahu wata'ala bahwa orang-orang yang menuntut ilmu derajatnya akan diangkat oleh Allah subhanahu wata'ala yang artinya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

'Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu 'Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,' lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, 'Berdirilah,' (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.' (QS. Al-Mujadalah: 11)."

Tifanny menarik napas sejenak, menetralkan diri setelah berceloteh cukup panjang. Lalu, beralih ke Wening. "Gimana, kamu paham?"

Wening yang tadinya berdiri, kemudian duduk di hadapan Tifanny. "Aku paham!" ujarnya mantap.

"Kalau begitu kamu bisa ikut aku sekarang!" balas Tifanny dengan semangat. Setidaknya, usaha ia menjelaskan hal ini pada Wening tidak berakhir sia-sia.

"Eh, tapi ... ada satu hal." Wening menyengir, membuat Tifanny menyipit tiba-tiba.

"Apa?"

"Em ... aku ...."

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now