6. Sedekah Subuh

4 1 0
                                    

Selamat membaca!

Salat Subuh telah usai untuk ditunaikan, saatnya kembali berlayar ke pulau empuk. Wening meregangkan tubuhnya, kemudian mengambil guling kesayangannya untuk dipeluk. Namun, kegiatannya ini sedikit terganggu karena sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

Drt. Drt. Drt

Gadis itu berusaha abai, tetapi notifikasi itu terus saja berbunyi. Hingga pada akhirnya, secara terpaksa Wening bangkit dari posisi nyamannya, lalu mengambil ponsel.

Terkejut lah ia bahwa yang menelpon itu adalah sahabatnya sendiri—Tifanny. Segera ia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan sahabatnya.

"Halo, Tifanny. Ada apa?" tanya Wening tak sabaran.

"Assalamualaikum, Wening. Aku menelponmu karena hanya ingin mengingatkan janji kita semalam. Apa kamu masih ingat?" balas Tifanny dari seberang sana.

Seketika Wening mengerutkan dahinya. "Janji? Janji apa?"

Terdengar helaan napas di ujung sana. "Kamu tidur, ya? Sudah kuduga, kamu pasti lupa. Apalagi semalam kita sibuk mencari sendalmu yang hilang. Maka dari itu, aku menelponmu untuk mengingatkan, Wen. Semalam, kita berjanji untuk melakukan sedekah subuh setelah salat," jelas Tifanny membuat Wening tersadar.

Gadis itu menepuk dahinya pelan. "Oh, iya! Benar! Kita semalam sudah berjanji akan hal itu. Baiklah, mau ketemuan di mana?"

"Di masjid saja, kita sedekah di sana. Mumpung masih sepi dan ndak ada yang lihat," putus Tifanny yang diiyakan oleh Wening.

"Baiklah. Kamu ... berangkat sendiri?"

"Tidak. Perginya aku diantar oleh Kak Tio, sekalian dia berangkat kerja pagi. Setelahnya, aku akan pulang sendiri."

"Kamu tak perlu pulang sendiri, aku akan mengantarmu," putus Wening segera mengambil alih.

"Baiklah. Sampai bertemu nanti. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

🌸🌸🌸

"Sudah lama menunggu?" Wening tiba-tiba datang dengan tergesa-gesa. Terlihat jelas wajahnya penuh oleh keringat. Sepertinya, gadis itu berlari untuk sampai ke tempat ini.

"Ndak juga. Eh, kamu ... berlari? Sampai keringatan begitu," balas Tifanny sambil menatap sahabatnya dengan heran.

Wening menyengir. "Aku ... takut gelap. Jadi ... aku berlari."

"Sudah pagi begini kamu masih takut, Wen, Wen." Tifanny menggelengkan kepalanya. Sudah tidak heran dengan tingkah yang Wening tunjukkan.

"Hehhe. Ya ... biasalah. Kek kamu nggak tahu aja. Ngomong-ngomong, kita mau sedekahnya di mana?" Wening mengajukan pertanyaan. Sedari tadi kepalanya menoleh kanan dan kiri, mencari keberadaan di mana dirinya dan Tifanny akan bersedekah.

"Di sana, Wen. Di depan sana ada kotak amal, kita bisa masukin uangnya ke sana," jawab Tifanny kemudian menggerakkan kursi rodanya ke arah tujuan.

Wening mengikuti instruksi dari sahabatnya itu. Ia memasuki uang terlebih dahulu, kemudian barulah Tifanny. Namun, gadis itu tampak heran, karena Tifanny memasukkan uang ke dalam kotak amal dengan jumlah yang banyak. Wening sendiri saja, tidak sebanyak itu. Ingin rasanya Wening bertanya, tetapi bibirnya terlalu kelu untuk mengatakan sesuatu.

"Kita pulang, yuk?" ajak Tifanny membuat lamunan sahabatnya buyar.

"Eh, iya. Ayo!"

Wening mengantarkan Tifanny ke rumah. Dengan keadaan seperti ini juga langit yang masih tampak gelap, mana mungkin Wening akan membiarkan Tifanny pulang sendiri. Walaupun ia yakin, bahwa sahabatnya itu imannya sangat tebal. Ia tak akan takut dengan yang namanya hantu. Akan tetapi, tetap saja. Wening tak akan membiarkan Tifanny pulang sendirian.

Selama perjalanan pulang, keduanya tak ada yang saling membuka suara. Hanya ada suara-suara jangkrik yang memenuhi perjalanan mereka. Seketika, Wening teringat pertanyaan yang ia simpan sejak beberapa menit yang lalu. Mungkin, ini bisa jadi topik pembahasannya.

"Fan, aku boleh nanya?" Wening memulai percakapan.

"Boleh, silakan. Mau tanya apa, Wen?"

"Maaf, tadi aku 'kan lihat kamu masukin uang ke kotak amalnya dengan jumlah yang banyak. Memangnya, kamu nggak ngerasa rugi gitu?" tanya Wening penasaran.

Tifanny hanya tersenyum tipis. "Ndak, kok. Aku ndak merasa rugi sama sekali. Justru, dengan sedekah aku ngerasa hidupku ini dicukupkan. Aku juga ndak merasa kekurangan sama sekali."

"Terus, kenapa harus di waktu subuh-subuh kek gini? Kan bisa nanti-nanti. Waktu Zuhur mungkin? Atau magrib?" Wening bertanya lagi.

"Sebenarnya, mau sedekah di waktu apa pun itu ndak masalah. Semuanya terbaik. Akan tetapi, ada sedekah yang waktunya paling terbaik, yaitu sedekah subuh, Wen. Rasullullah SAW pernah bilang bahwa setiap waktu subuh Allah turunkan malaikat, tugasnya mendoakan orang yang bersedekah subuh hari. Makanya, setiap kita bersedekah, kita disarankan untuk mengucapkan hajat kita masing-masing. InsyaAllah, hajat yang kita utarakan bisa terkabul nantinya," jelas Tifanny dengan penuh kelembutan.

"Oh pantes, ya, kamu ngebet banget mau ajak sedekah subuh, ternyata ini manfaatnya?"

Tifanny mengangguk cepat. "Tepat! Lagipula, waktunya juga sepi, kan, jadi ndak banyak orang lihat," balas Tifanny.

Wening mengangguk-angguk paham. Ia baru tahu jika ada sedekah subuh dan manfaatnya seperti itu. Untung saja Tifanny membangunkannya, lumayan doa yang Wening ucapkan tadi bisa tercapai. InsyaAllah.

Wening membelokkan kursi roda itu ke arah kanan. Sekitar sepuluh langkah, mereka telah tiba di kediaman Tifanny.

"Terima kasih, Wening, kamu sudah mengantarkan aku pulang," ujar Tifanny sambil tersenyum manis.

"Iya, sama-sama. Santai saja, Fan. Hitung-hitung jalan-jalan. Heheh," balas Wening kemudian duduk di samping Tifanny.

Gadis itu kembali berpikir. Namun, selang beberapa detik ia membuka suara. "Fan, kamu bilang tadi, hajat yang kita utarakan waktu sedekah tadi akan dicatat malaikat dan akan dikabulkan, ya?"

"InsyaAllah. Memangnya kenapa?" tanya Tifanny tiba-tiba penasaran.

"Itu artinya, doaku nanti kemungkinan akan terkabul!" seru gadis itu dengan mata berbinar.

"Memangnya ... kamu ... doa apa?" Tifanny kembali bertanya. Sepertinya ada yang tidak beres dengan Wening. Terlihat, ekspresi wajahnya menandakan bahwa ia ....

"Aku tadi mengucapkan hajatku, bahwa aku ingin menjadi istri Kak Tio! Itu artinya, doaku tadi akan dicatat malaikat dan akan dikabulkan, bukan?" ungkap Wening berhasil membuat sahabatnya melongo.

"Astagfirullah, Wening! Jangan ngadi-ngadi, deh! Kebiasaan! Ndak pernah mau serius!"

Wening tertawa cukup keras, puas melihat wajah tak setuju yang Tifanny tampakkan. Ia tak peduli jika warga sekitar akan mendengar.

"Senangnya menggodamu seperti itu. Aku yakin, malaikat nanti akan mengajukan doaku pada Sang Pencipta, dan kemudian akan dikabulkan. Wah, sungguh aku tak menyangka jika kita akan menjadi saudara ipar!" Wening terus menggoda Tifanny.

"Wening!"

~~~

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di bab berikutnya.

Salam hangat dari aku dan Kak toetikhdhyh_ 🤗

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now