24. Shalawat

1 0 0
                                    

"Sial—"

"Ekhem, Wening ...." Telunjuk tangan kanan Tifanny bergerak-gerak, memberikan instruksi agar Wening tidak melanjutkan perkataannya.

"Astaghfirullah ...." Wening menghela napas. Bahunya melemas. Merah karena marah yang semula menghiasi wajah ovalnya perlahan memudar. "Maaf aku hampir keceplosan. Habisnya lagi sebel banget."

Tifanny memanjangkan tangan untuk mengusap-usap bahu Wening. "Coba cerita pelan-pelan. Ada apa? Kenapa datang-datang ke rumahku malah hampir numpang mengumpat."

Suara lembut Tifanny mengalun penuh tanya, tetapi tak mendesak. Walaupun penasaran membumbung di kepalanya karena belum juga genap masuk sepuluh, Wening sudah mendatangi rumahnya dengan langkah dihentak-hentak.

"Gini ...." Setelah merasa lebih tenang, Wening menggosok bawah hidung, berusaha mengatur emosi. "Sekarang tuh aku lagi sebal banget sama si Ragil. Tingkah dia makin hari malah makin menguji!"

"Waktu pulang dari pasar bedug itu 'kan kamu tuh udah kayak baikan sama Ragil karena kamu inget ngasih dia makan sama gehu. Waktu itu kamu nyerita ke aku penuh semangat banget km hi.

Wening berdecak. "Tapi itu nggak bertahan lama. Besoknya, ah tidak, hari itu juga sebelum tidur dia langsung bikin ulah lagi. Waktu itu aku tolerir karena nggak terlalu besar cekcoknya. Tapi yang barusan ... itu keterlaluan."

Jeda Wening lakukan. Kepala gadis itu menengadah, menatap paparan langit dari sela-sela daun pohon. "Kamu inget 'kan tadi malam kita pulang cukup larut setelah tadarus sambil mengejar malam Lailatul Qadar. Karena itu, waktu tidur juga jadi agak berkurang. Aku pikir setelah sampai kamar bisa langsung rebahan. Akan tetapi, ... nggak bisa!"

Wening mengusap wajah, kasar. "Bocah itu tahu-tahu aja dah ada di ambang pintu balkon. Katanya dia manjat demi nyusup ke kamar aku. Ganggu privasi banget."

Tifanny mengulang senyum tipis. Tangannya masih tak berhenti untuk mengusap demi memberikan kenyamanan. "Nanti coba pelan-pelan dikasih pengertian. Kalau perlu, nanti aku juga ikut bantu jelasin, deh."

Wening mengangguk saja. "Tapi aku masih sebel. Pengen banget rasanya nyerocos biar plong."

Tifanny menggeleng-geleng kepala. "Jangan begitu. Solusi untuk mendapat ketenangan itu bukan dengan membasahi bibir dengan keluhan. Lebih baik basahi bibir dengan shalawat. InsyaAllah kamu akan mendapat ketenangan yang lebih baik, sekaligus mendatangkan berkah dari Allah."

Wening mengernyit. "Shalawat?"

"Heem." Tifanny menarik tangannya ke pangkuan. "Shalawat itu rangkaian kata-kata berbahasa Arab untuk mengingat Nabi Muhammad SAW. Jenisnya ada banyak sekali. Mulai dari sholawat Nabi atau sholawat Nabi yang sering dilafalkan saat shalat, sholawat Nariyah, Tibbil Qulub, sampai Matsurah. Namun, intinya semua sama, mengingat nabi."

Wening menggaruk pipi. "Shalawat itu wajib?"

Tifanny menggeleng. "Ndak. Membaca shalawat itu nggak wajib. Hukumnya Sunnah yang sangat dianjurkan seperti tercantum dalam salah satu ayat Al-Qur'an mengatakan tentang harusnya umat muslim untuk menghormati Nabi Muhammad SAW."

Wening berdeham, mulai menunjukkan perhatian. Ya, bagaimanapun dia ingin mendapatkan keutamaan juga keberkahan. "Kamu biasa baca shalawat yang mana?"

Tanpa lama, Tifanny langsung menjawab, "Kalau versi pendek yang biasa dibaca di mana saja dan kapan saja, aku suka shalawat Fi’il madhi, lafadznya ... Wa shallallāhu ‘alā sayyidinā Muhammadin wa ‘alā ālihī wa shahbihī wa sallama.

"Kalau lagi mau mengobati atau menenangkan hati, aku akan baca yang agak panjang, yaitu Sholawat Syifa. Lafadz-nya ... Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wa dawa-iha wa’afiyatil abdani wa syifa-iha wa nuril abshari wa dhiya-iha wa ‘ala alihi washahbihi wa bariik wa sallim. Yang berarti ... Ya Allah, limpahkanlah sholawat dan salam kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, sebagai dokter hati dan menjadi obatnya. Obat untuk badan dan penyembuhnya, cahaya segala penglihatan dan menjadi sinarnya. Semoga keberkahan dan keselamatan dicurahkan pada keluarga dan sahabat-sahabatnya.”

Wening menepuk paha sendiri. "Okey!"

Tifanny menaikkan sebelah alis. "Apa?"

"Aku mau lakukan!" balas Wening mantap, tetapi ambigu.

Makin bertambahlah kerutan di kening Tifanny. "Mau ngapain? Yang jelas, tolong."

"Penabokan terhadap Ragil!" balas Wening ketus.

"Hah?!" Tifanny makin kebingungan.

Wening berdecak. "Sholawat! Aku mau coba lakukan itu. Kenapa kamu jadi lola, sih?!"

Tifanny meringis. "Maaf."

"Emang harus segera nyari pawang kayaknya."

Netra Tifanny memelotot. "Kau kira aku hewan, hah!"

Wening mengangkat telunjuk dan jari tengahnya. "Piss, Sis ipar ...."

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now