17. Nuzulul Qur'an

1 0 0
                                    

"Kita buka di luar, yuk!" ajak Wening sembari membelokkan setir ke kanan.

Beberapa menit lalu kegiatan berbaginya telah selesai. Kini, Wening dan Tifanny sudah duduk manis bersisian di mobil. Beranjak kembali ke desa mereka.

Tifanny yang semula memerhatikan pemandangan, di sepanjang jalan yang dilewati, segera mengubah atensinya, mengarah pada Wening.

"Mau, 'kan?" ulang Wening. "Aku dengar di dekat pos ronda ada kedai mie ayam baru yang juga nyediain camilan keripik. Jadi, mau nyoba."

Tifanny malah menggeleng pelan. "Maaf, tapi aku mau buka di rumah aja sama Kak Tio," katanya lirih dengan wajah yang melukis mimik tak enak.

"Enggak kerja dia?"

"Enggak, lagi dapat libur. Tadi juga dia antar aku ke rumah kamu lho." Tifanny tersenyum geli

Seketika Wening menoleh dengan netra memelotot. "Kok nggak bilang, sih?"

Tifanny menepuk kaki Wening. "Fokus jalan, heh!"

Wening mendengkus. "Meni sebel!"

Tifanny terkikik. "Dia ndak lama juga di depan rumah kamunya. Cuman sampai halaman langsung pamit, mau ke masjid."

Alis Wening terangkat sebelah. "Kamu tadi ke rumah aku bukan di waktu salat, deh. Mau ngapain Kak Tio ke masjid?" tanyanya sembari menekan kuat pedal gas saat menghadapi jalanan menanjak.

Tifanny berdeham. "Mau bantu beres-beres buat persiapan nanti malam."

"Ada apa emang nanti malam?"

"Nanti 'kan malam ke tujuh belas, malam Nuzulul Qur'an."

"Kayak pernah dengar." Wening menggaruk dagu sebentar. "Waktu turunnya Al-Qur'an 'kan, ya, kalau nggak salah?"

Tifanny malah mengulum senyum.

***

"Ingat yang tadi." bisik Tifanny sembari menahan tangan Wening yang akan berdiri dari duduknya.

Beberapa jam berlalu, kini keduanya sudah berpindah tempat. Duduk bersebelahan di shaf kedua jemaah perempuan. Selesai melaksanakan salat tarawih dan witir.

"Apaan?" Wening yang matanya sudah sepaneng hanya bisa menggosok-gosok mata. Dia sudah sangat mengantuk. Tak sanggup lagi untuk memutar otaknya walau sekedar mengingat apa yang Tifanny maksud.

"Nuzulul Qur'an," jawab Wening tegas, tetapi suaranya tidak terlalu keras, khawatir mengganggu jemaah lain yang masih membereskan mukenanya.

Wening mengerjap-kerjap. Oh, dia ingat. Tadi di mobil Tifanny menceritakan tentang kegiatan setelah salat ini. Akan ada acara ceramah dan tadarusan bersama bagi yang ingin ikut.

Tadi dengan mantap Wening meng-iyakan untuk ikut. Namun, setelah makan banyak saat buka tadi dan barusan menjalani banyak rakaat salat, dia sangat ingin menarik kembali perkataannya. Dia ingin segera bertemu kasur, kekenyangan bercampur lelah. Sebab, tadi siang tak sempat tidur karena sibuk memasak.

Mata Tifanny menyipit, sorotnya cukup tajam. "Jangan bilang mau mundur."

Wening menelan ludah susah. Tifanny memang teramat pandai membaca ekspresinya. Wening ingin membenarkan tuduhan Tifanny, tetapi setelah dipikir lagi, dia memilih mengusap wajah dan menggerak-gerakkan kepala untuk menghilangkan kantuk.

Wening 'kan sudah bertekad untuk berubah. Maka, dia akan berusaha menepati segala janjinya untuk menjalani kegiatan-kegiatan yang bisa membuatnya lebih mendekatkan diri pada Allah.

"Aku ikut," sahutnya lirih.

"Alhamdulillah." Senyum Tifanny merekah. Tangannya meraih pundak Wening dan menepikannya dua kali. "Semangat!"

Wening tak lagi menyahut karena sudah terdengar salam dari balik tirai pembatas dengan jemaah laki-laki. Pak Ustadz yang menjadi imam memulai ceramahnya.

"Peristiwa Turunnya Al-Qur’an atau Nuzulul Qur’an
Nuzulul Qur’an adalah peristiwa turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Secara bahasa, Nuzulul Qur’an berasal dari dua kata yaitu Nuzulul yang berarti menurunkan sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah dan Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam. Jadi, Nuzulul Qur’an dapat diartikan sebagai peristiwa turunnya Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke muka bumi, oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira, pada tanggal 17 Ramadhan." Paparan Pak Ustadz masuk ke inti, setelah pembukaan yang cukup singkat.

Wening setia mendengarkan. Tangannya begitu saja menyelusup menggandeng tangan Tifanny agar tak diserang kantuk.

Pak Ustadz melanjutkan, "Adapun keutamaan malam Nuzulul Qur’an di antaranya ... disebut lebih baik dari seribu bulan memiliki di mana amalan dan ibadah yang dilakukan dalam malam ini lebih baik dari amalan yang dilakukan selama seribu bulan; diampuni segala dosa oleh Allah SWT hingga diibaratkan seperti bayi yang baru saja lahir ke dunia; juga sebagai malam penuh berkah."

Wening termenung. Tanpa sadar mantanya membias air. Dia terharu. Bahagia atas keputusannya untuk ikut memperingati malam yang penuh kebaikan ini.

"Ayo tadarus!" ajak Tifanny setelah ceramah selesai dan semua telah bersalaman. Di saat yang lain beranjak ke luar masjid, Tifanny dan Wening setia di sana bersama anak-anak dan remaja lain untuk membaca Al-Qur'an bersama.

Mengejar LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang