2. Silaturahmi

14 1 0
                                    

Salah satu tugas manusia adalah menjaga tali silaturahmi. Selama masih hidup dan mendapat kesempatan juga kesehatan, kita wajib menjalankan tugas ini. InsyaAllah kita akan mendapat kebaikan dari Allah SWT.

Mentari telah menampakkan sinarnya. Gemercik air dan riuhnya burung telah terdengar di luar sana. Seperti biasa, anak-anak sekolah kini telah siap dengan seragamnya. Berdiri di depan rumah sambil menunggu teman yang lain menjemput. Mulai dari yang paling ujung hingga ke persimpangan. Mereka berjalan beriringan, menuju tempat yang sama, yaitu sekolah.

Walau dalam keadaan puasa, tidak sama sekali mengurangi semangat mereka. Senyumnya yang merekah membuat hati para ibu bahagia. Semoga, anak-anak itu akan menjadi penerus bangsa yang berguna, bermanfaat serta selalu membawa kebaikan. Aamiin.

Sedangkan di sini, tepat di sebuah rumah berukuran sedang dengan warna hijau dan putih sebagai kombinasi, terdapat dua saudara. Mereka hanya tinggal berdua. Dengan keadaan yang tak begitu mumpuni, itu tak membuat mereka menyerah begitu saja. Justru, mereka saling menguatkan satu sama lain.

"Kak, kemarin Wening datang kemari." Tifanny membuka suara saat dirinya telah selesai merapikan ruang tamu.

"Wening? Teman ... sekolahmu dulu?" tanya Tio sambil menerka. Dirinya tampak bergegas, mengingat ada jadwal pengantaran roti pagi ini.

Tifanny mengangguk cepat. Dengan senyum yang tak pernah hilang ia berbicara, "Ternyata ia masih ingat denganku, kukira sudah lupa. Sudah lama ndak berjumpa dengannya. Ia merantau di kota orang sekarang."

"Oh, ya?"

Tifanny kembali mengangguk. "Dia bilang, tinggal di sana cukup asik. Banyak ketemu cogan katanya. Hahaha."

Tio hanya tersenyum menanggapi. Di samping itu, tangannya bergerak memakai topi khas tempatnya bekerja.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong, Kak Tio nanti akan pulang jam berapa?" Tifanny menggerakkan kursi rodanya, berusaha lebih dekat dengan sang kakak.

Lelaki berumur 23 tahun itu tampak berpikir. Tak lama kemudian ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang adik. "Sebenarnya Kakak nggak tega mau ninggalin kamu sendiri di rumah. Tapi, hari ini jadwal pengantaran Kakak padat. Kemungkinan akan pulang jam 7 malam, selepas magrib."

Tifanny tersenyum hangat. "Ndak apa, Kak. Tifanny bisa jaga diri, kok. Berarti Kak Tio buka puasanya di luar, ya?"

"Kemungkinan kek gitu. Maaf, ya, hari ini Kakak nggak bisa temenin kamu." Tangannya tergerak mengelus kepala Tifanny. "Em, gimana kalau ajak Wening aja ke sini? Biar kamu ada temennya di rumah," usul Tio.

"Rencananya Tifanny tuh mau main ke rumah Wening, Kak. Baru aja mau minta izin, kalau-kalau Kak Tio ngebolehin. Hehe," balas Tifanny sambil menyengir.

"Mau jam berapa emangnya ke sana?"

"Selepas Zuhur, jam 1 siang."

Tio mengangguk. "Ya udah nggak apa-apa, tapi hati-hati, ya. Pulangnya jangan kesorean. Secepatnya Kakak bakal selesaikan pekerjaan Kakak biar bisa temenin kamu di sini."

"Kalau emang belum selesai, ndak apa, Kak. Jangan buru-buru. Ingat, pekerjaan yang dilakukan buru-buru itu, ndak baik." Tifanny menasehati.

"Iya, Cantik. Makasih, ya, udah diingatkan," balas Tio sambil menjawil hidung kecil Tifanny.

Tifanny membalasnya dengan tersenyum.

"Oh, ya. Kakak berangkat, ya. Assalamualaikum." Tifanny bergegas meraih tangan kanan Tio, hendak salim.

"Iya, Kak. Waalaikumsalam," jawab Tifanny yang dibalas kecupan kecil di kepalanya.

🌸🌸🌸

Tok. Tok. Tok.

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now