9. Saling Mengingatkan

2 0 0
                                    

"Gimana?" tanya Tifanny di tengah kegiatannya membenahi kerudung segiempat merah muda yang membungkam wajah ovalnya.

"Hem?" Wening yang baru melepas mukena–pinjaman dari Tifanny–mengkakukan tangan di udara. "Apanya yang gimana?" Dia membalikkan pertanyaan. Kurang paham. Kata yang diucapkan Tifanny terlalu ambigu.

"Perasaan kamu." Tifanny menggerakan dagu. "Gimana rasanya habis Duha? Capek, nggak?"

Wening tertegun. Begitu saja menurunkan tangannya ke pangkuan, meremas pelan kain mukena Tifanny. Pandangannya menerawang. Mengingat apa yang dilakukannya beberapa menit lalu. Salat Sunah Duha. Ibadah yang sudah cukup lama dia tinggalkan.

Ketika kembali melakukannya, ada sesuatu tak biasa yang menyelusup hatinya. Semacam sesuatu tak kasat mata merengkuh hangat dadanya.

"Wening!" Tifanny menggoyang pelan jemari Wening.

Wening berdeham. Meniupkan udara ke ujung kerudungnya yang lepek akibat ditekan karet mukena. "Enggak, aku sama sekali nggak capek. Aku malah ... tenang. Ya, aku ... merasakan ketenangan," balasnya lambat penuh penghayatan. Meresapi kenyamanannya.

Walau hanya sebentar, tetapi dua rakaat yang barusan dia dirikan memberikan efek luar biasa. Wening menarik kembali perkataannya beberapa menit lalu yang khawatir tanpa alasan akan merasa kelelahan setelah beribadah sunah. Nyatanya, setelah mencobanya, yang dia dapatkan justru sebaliknya, indah.

"Alhamdulillah, sesuai nama kamu, ya." Tifanny menarik kedua sudut bibirnya lebar. "Wening, artinya tenang, 'kan? Selaras dengan apa yang barusan kamu rasakan. Semoga bertahan seterusnya. Terus berubah jadi Wening yang tenang, ya?"

"Aamiin," ucap Wening refleks, tanpa rencana. Begitu sadar dia menekan-nekan jempol tangannya. Barusan itu seperti Wening sudah tak ragu lagi dengan ajakan Tifanny untuk mengejar cahaya bersama di bulan ini.

Wening mengedip sekali. Baiklah. Mau tidak mau, ini mungkin memang sudah saatnya dia berubah. Memperbaiki kepribadiannya yang sempat cedera akibat salah gaul di tempat merantau.

Akan tetapi, sesuatu mengganggunya. "Kalau aku goyah gimana?" tanyanya sembari mengigit bibir. Dia sadar memiliki sifat yang kurang bagus dalam hal kemantapan. Kena angin sedikit, dia sering oleng sana-sini.

Tifanny mengeratkan remasan di punggung tangan Wening. "Akan aku coba ingatkan, biar lurus lagi."

Wening terdiam. Adegan demi adegan yang dia jalani bersama Tifanny beberapa hari ini berputar bagai film di otaknya. Dia mengingat bagaimana hampir di setiap kebersamaan Tifanny selalu mengingan Wening untuk berbuat kebaikan. Mulai dari mengingatkan salat tepat waktu, ikut tarawih, bersedekah, sampai barusan salat duha.

"Kok kamu mau, sih, mengingatkan aku yang bebal ini?" katanya tak mengerti. Dia sadar diri sikapnya seperti batu, keras, tetapi Tifanny dengan kelembutannya malah setia mengajaknya berbuat kebaikan.

"Karena kamu sahabat aku," sahut Tifanny tanpa ragu.

Wening mengangkat sebelah alis. "Andai aku bukan sahabat kamu, kamu nggak akan mengingatkan?"

"Selama kamu ada di sekitar aku, maka aku akan mengingatkan kamu." Tifanny menegakkan punggung. Ini akan menjadi pembicaraan serius. "Sesama saudara seiman, sudah menjadi tanggung jawab kita untuk saling mengingatkan satu sama lain. Kalau ada yang oleng, cepat colek untuk kembali ke haluan yang benar. Kalau ada yang sedang jemu, tepuk pundaknya untuk kembali semangat."

"Kalau yang diingatkan nggak mendengarkan? Maksudku, dia punya telinga normal, tapi apa pun yang kamu beritahukan malah sama sekali nggak ada yang masuk ke pikiran dia, mental gitu. Kamu bakal gimana."

"Mendoakan, berharap yang terbaik untuknya." Tifanny mengangkat tangan dengan kepala mendongak. "Memohon kepada Allah untuk memberikan hidayah pada orang itu. Sebab, Allah Maha Membolak-balikkan hati. Dia yang akan mengetuk hati setiap manusia dengan cara-cara yang luar biasa."

Tanpa aba-aba, Wening menghambur memeluk Tifanny. "Kamu sangat baik. Aku bersyukur jadi sahabat kamu. Tetap jadi support sistem yang mengingatkan aku, ya," pintanya penuh harap.

"InsyaAllah." Tifanny mengusap-usap punggung Wening. "Saling mengingatkan, ya. Jangan segan tegur aku juga. Karena aku juga sama, manusia biasa. Bukan nggak mungkin buat aku oleng."

Wening mengangguk cepat. "Akan aku coba."

Mengejar LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang