30. Malam Takbiran

5 1 0
                                    

Selamat membaca

Allahuakbar ... Allahuakbar ... Allahuakbar

Lailahaillallah huallahuakbar

Allahuakbar walillahilham

Bunyi takbir telah menggema di setiap penjuru, semua anak-anak kecil berkeliaran di sekitar rumah. Memukul gendang dengan sarung yang disampir asal di badan, juga peci yang dimiringkan. Sebagian dari mereka juga memeriahkan lewat petasan. Dentuman itu terus memenuhi langit malam.

Namun, di rumah berukuran sedang ini, seorang gadis tengah duduk di sudut kamar. Wajahnya telah basah karena tangis, kedua tangannya bahkan sudah tak mampu menopang itu. Air matanya terlalu deras. Malam ini, malam terakhir baginya untuk bertemu dengan orang tua. Setelahnya, mereka akan kembali ke alam abadi.

Untuk pertama kalinya, ia harus menjalani ini semua dengan perasaan yang sulit untuk dideskripsikan. Hidup tanpa orang tua, bukanlah suatu hal yang mudah. Sungguh hatinya seolah teriris pisau secara perlahan.

Ramadhan telah usai, besok hari kemenangan telah menjemput. Semua umat muslim bergembira, merayakan hari besarnya dengan penuh ceria dan canda tawa. Tifanny bersyukur, walau keadaannya yang tidak sama seperti tahun lalu, tetapi ia masih memiliki seorang kakak yang selalu menjaganya setiap saat. Ada Wening yang selalu berada di sisinya di kala Tifanny merasa sedih. Ia juga bersyukur bahwa puasa di tahun ini, puasa yang cukup manis baginya. Terutama ujiannya.

Berulang kali gadis itu menghapus air mata, tetapi tetap saja air itu terus saja turun tanpa henti. Sampai-sampai sebuah tangan mencoba menghapusnya, ia Tio. Lelaki itu tiba-tiba saja datang lalu duduk berhadapan dengan Tifanny. Tio tahu betul, apa yang Tifanny rasakan saat ini. Pasti tak akan jauh berbeda dengan yang Tio rasakan juga sebelumnya.

"Mau nangis? Ayo, sini nangis di pelukan Kakak." Tio memeluk Tifanny dengan erat. Gadis itu menumpahkan segalanya. "Jangan merasa sendiri, ya. Selama Kakak masih ada, Kakak akan terus berusaha menjaga kamu dan nggak akan biarin kamu sendiri dan bersedih."

Tifanny menenggelamkan wajahnya lebih dalam, ia sangat memerlukan ini. Dekapan. Hanya itu.

Setelah beberapa menit, Tifanny menarik tubuhnya lalu berkata, "Terima kasih, Kak, Kakak selalu menjaga Tifanny sampai saat ini. Sekarang, Tifanny hanya cuma punya Kakak. Tifanny harap, Kakak ndak akan tinggalin Tifanny, ya?"

Tio tersenyum tulus. "InsyaAllah. Tapi, kalau Allah yang memisahkan kita, kita nggak bisa nolak dan kamu harus terima itu, ya?"

Tifanny mengangguk lemah.

"Mau ke luar? Main petasan gimana?" Tio mencoba menghibur.

"Em ... boleh tuh. Tifanny ajak Wening, ya?"

"Boleh, silakan."

🌸🌸🌸

"Hai, Tifanny!" sapa Wening begitu antusias. Ia tak datang sendiri, ada Ragil yang menemaninya. Selama bulan Ramadhan ini, mereka berdua tak henti-hentinya menciptakan keributan. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya bisa saling menerima. Wening yang tadinya emosian, perlahan mulai sabar dan berusaha untuk menerima Ragil.

"Hai juga, Wening! Alhamdulillah, udah akur, ya?" tanya Tifanny senang.

"Alhamdulillah. Ya ... berkat belajar sabar dari kamu, alhamdulillah aku bisa aplikasikan ke Ragil. Makasih, ya!" Wening tersenyum tulus.

Tifanny mengangguk. "Main, yuk!" ajak gadis itu.

Baru saja Wening ingin menjawab, tiba-tiba suara lelaki menyapa mereka. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Tifanny, Wening."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka berdua kompak.

"Eh, Fadil? Kamu di sini juga?" tanya Tifanny tampak kaget.

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now