19. Meredam Amarah

1 0 0
                                    

Selamat membaca

"Assalamualaikum! Tifanny! Yuhuu! Wening yang cantik sejagat raya ini ada di depan rumah kamu. Ayo, bukakan pintunya. Nggak lucu orang cantik ini nanti diculik sama dedemit!" Wening memanggil. Gadis itu sudah siap dengan gamis polos bewarna hitam dengan jilbabnya berwarna biru denim.

Sambil menunggu, ia memutar-mutar tubuhnya. Terlalu cepat memutar, hampir saja perlengkapan salat yang ia bawa terhempas ke tanah.

"Ntar pusing kalau kek gitu." Suara dingin menyapa Wening. Ia berbalik arah dan tampaklah bahwa Tio telah berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Wening yang bertingkah laku seperti anak kecil.

"Eh, Kak Tio." Wening meringis pelan, menahan malu. "Tifanny nya ada, Kak?"

"Ada, lagi siap-siap. Tunggu sebentar, ya," balas Tio.

"Oh oke, Kak."

Tiba-tiba Tio mendekat, bahkan tak segan untuk mengajak Wening duduk di sampingnya. Tanpa berpikir dua kali gadis itu pun mengikuti ajakan Tio. "Wen, aku mau tanya boleh?"

Wening mengejap pelan. "Ehe, boleh, Kak. Mau tanya apa?"

"Ada kejadian apa tadi sore?" tanya Tio sambil menatap Wening lekat. Netra coklatnya sangat membuat Wening candu. Alhasil, ia tak fokus. Bukannya menjawab, Wening justru menatap balik.

"Wen?" Tio menunggu jawaban.

"Eh, iya. Tadi sore, ya?" Wening berpikir sejenak, dan setelahnya ia menjentikkan jarinya dengan kuat. "Oh iya! Tadi Tifanny di bully sama temen SD kita, Kak! Masa nih, ya, Tifanny tuh malah masih sopan sama dua anak curut itu? Harusnya ngelawan, dong! Aku gerem tadi! Kalau bukan Tifanny yang ajak aku pulang, pasti dua orang itu dah kuhabisi!" serunya menggebu-gebu.

Tio tertunduk. Perasaan Tio benar, pasti ada hal yang terjadi pada Tifanny. Akan tetapi, gadis itu enggan untuk bercerita.

"Eh, Kak? Kenapa diam? Apa ... aku bicaranya terlalu besar, ya? Maaf, hehe." Wening sedikit menyengir. Sedikit tak enak hati.

"Nggak, nggak apa. Makasih untuk infonya, ya. Nanti, kalau ada yang bully Tifanny lagi tolong kasih tahu aku. Bisa?" balas Tio yang disambut hangat oleh Tio.

"Bisa banget malah!"

Tio tersenyum. "Makasih."

Aduh, manis banget hambamu ini Ya Allah! batin Wening tertahan.

Senang-senangnya Wening mendamba, tiba-tiba Tifanny datang yang sudah siap dengan perlengkapan salatnya. "Mau sekarang?" tanya Tifanny.

"Ya, sekarang!"

🌸🌸🌸

"Fan, cari apa?" Wening yang tengah berdiri merasa bingung dengan gelagat Tifanny.

"Sandal aku, Wen. Kamu lihat ndak? Kok ndak ada, ya? Kan aku letakkan di samping sandal kamu." Tifanny terus mencari-cari. Matanya menelisik setiap sisi, tetapi tetap tak ada.

"Kamu tunggu sini, biar aku cari. Jangan ke mana-mana, ya!" pesan Wening kemudian pergi meninggalkan Tifanny seorang diri.

Tifanny menghela napas. "Ada-ada aja. Waktu itu Wening, sekarang aku yang kehilangan sandal. Kek piala bergilir aja."

"Ututu kasihan. Harusnya nggak usah dicari, sih, mending kamu pulang nyeker aja. Lagian sandal butut kek gitu aja dibanggain!" ujar seseorang tiba-tiba.

Tifanny menoleh ke sumber suara, ternyata yang berujar adalah dua temannya yang bertemu di pasar tadi. Sepertinya mereka tak jera untuk mengejek Tifanny. Merasa tak harus diperpanjang, Tifanny memilih abai.

Mengejar LenteraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora