Epilog

5 0 0
                                    

"Sedikit lagi, dan ...."

"Kak!" Sebuah teriakan nyaring memecah keheningan kamar Wening bersamaan pintu yang terbuka secara kasar.

"Awsh!" Wening meringis karena jarinya tertusuk peniti yang akan dia pasangkan di bawah dagu. Sembari mengisap telunjuknya yang berdarah, Wening memutar kepala, mencari sosok yang baru saja mengusik hingga membuat jarinya terluka.

"Ragiiil" Tatapan Wening mengilat kesal ketika mendapati bocah laki-laki berbaju koko coklat yang sedang menyengir ke arahnya.

"Piss, Kak. Piss ...." Ragil menunjukkan jari tengah dan telunjuknya. "Enggak sengaja. Aku cuman mau manggil Kakak."

Wening menggembungkan pipi, menahan napas untuk meredakan gejolak emosinya. Ingat, dia ingin menjadi manusia yang lebih penyabar. Tak maulah dia kembali barbar terlebih di hari kemenangan seperti sekarang.

Ya, alhamdulilah, hari ini tiba di tanggal satu Syawal. Hari kemenangan umat Islam setelah perjuangan berpuasa selama tiga puluh hari di bulan Ramadhan. Sekarang waktunya bersuka cita.

Setelah membuang napas, Wening berdeham. "Ada apa?" katanya berusaha selembut yang ia bisa.

"Ayok sungkeman! Ayah dan Bunda udah nunggu dari tadi. Kakak dandannya kelamaan. Aku sampai bosan nunggu." Bibir Ragil mengerucut dengan kedua tangan terlipat di dada. Merajuk.

Wening jadi merasa tak enak. Didekatinya Ragil sembari merogoh saku dan mengeluarkan amplop kecil. "Maaf, ya. Ini buat kamu, deh," bujuknya sembari menggerak-gerakkan bungkus THR kecil darinya.

Ragil menyambar cepat. "Makasih, Kakak cantik," katanya sangat manis.

Sampai membuat Wening tertegun. Terlebih karena Ragil menambahkan kecupan ringan di pipi kanannya. Sungguh sangat tidak biasa dan membahagiakan. Untuk pertama kalinya adiknya itu tak memujinya dengan sebutan jelek juga rela menunjukkan afeksinya.

"Ayo!" Ragil mengguncang tangan Wening yang masih dalam lamunan.

Wening tersadar, lantas bangkit dan kembali menghadap cermin panjang di belakangnya. Menelisik dari bawah ke atas. Kakinya sudah terbungkus kaos kaki hitam dan badannya dibingkai gamis abu-abu hadiah dari Tifanny. Penampilannya hampir siap, tinggal membenahi pashmina yang dia balutkan pashminanya yang masing miring-miring.

Bibir Wening melengkung ke bawah. Ini semua gara-gara Tifanny. Andai gadis itu tak memberinya kerudung model aneh, dia tidak akan seribet ini. Sampai-sampai sudah hampir setengah jam berlalu dari pulangnya kepulangannya usai melaksanakan salat Idul Fitri, dia masih belum rapi memasangnya.

Eh, omong-omong Idul Fitri. Wening jadi mengingat bagaimana berkesannya pagi tadi. Sebab, diajak Tifanny berangkat subuh-subuh sekali, untuk pertama kalinya Wening bisa mendapat posisi di shaf pertama. Berdekatan dengan imam dan pemberi khutbah. Sungguh sangat membuat rangkaian ibadahnya.

Terlebih ketika bahasan dalam khutbah tadi menyinggung tentang Idul Fitri sebagai konsep kehambaan yang mengantarkan kita untuk kembali mengenal Allah subhanahu wata'ala. Khotib memaparkan bahwa jika Ramadhan yang telah berlalu mengantarkan sekaligus mengajarkan kita untuk kembali mengenal Allah melalui beragam ibadah; melalui puasa, qiyamullail, shalat berjamaah, membaca al-Qur'an, sedekah, memberi buka puasa dan lain-lain, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Maka, Idul Fitri ibarat puncak tujuan bahwa kita betul-betul diharapkan sudah kembali mengenal Allah.

Sehingga tugas terbesar setelah berlalunya bulan suci ini adalah tentang bagaimana kita merawat kedekatan dengan Allah. Berusaha meluruskan diri untuk terus istiqamah, rutin melaksanakan kebiasaan-kebiasaan baik di bulan kemarin.

Bahasan itu sangat sesuai dengan apa yang Wening jalani bersama Tifanny. Ramadhan ini membuatnya kembali mengenal Allah dan langkah-langkah ibadah untuk mencintai-Nya. Wening pun berharap bahwa perasaan dekatnya dengan Allah sekarang akan terus bertahan selamanya.

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now