5. Sabar dan Ikhlas

6 2 0
                                    

"Sialan!"

"Astaghfirullah, Wening, ndak boleh mengumpat," tegur Tifanny sembari mengusap punggung Wening yang duduk bersebelahan dengannya di teras masjid. "Sabar ...."

Wening membuang napas kasar, mengacak kepalanya yang terbalut mukena, frustrasi. "Gimana aku bisa sabar?! Sandalku, Fan! Sandal karet abu-abu kesayanganku, hilang! Itu 'kan hadiah dari kamu saat ulang tahunku yang ke-tujuhbelas ...."  Suara Wening parau.

Wening amat menyayangi alas kaki itu. Dia sangat menjaganya karena menghargai Tifanny sebagai pemberinya. Bahkan saat merantau pun, barang itu tak luput dari bawaanya. Selalu menjadi bagian dari outfit favoritnya.

Tifanny tersenyum, maklum. "Ya udah, mau coba nyari lagi? Siapa tahu ada nyelip di rerumputan."

Wening malah menghela napas lemah. "Kita udah nyari selama hampir satu jam, Tifanny! Tapi hasilnya apa? Enggak ada!" keluhnya menahan kesal.

Sekarang waktu sudah hampir mencapai pukul sembilan malam, sudah molor berpuluh-puluh menit dari beresnya salat Tarawih, tetapi Wening bersama Tifanny dan kakaknya masih berada di lingkungan masjid.

Tadi seusai bersalaman, Wening yang tidak tahan ingin buang air kecil segera ngibrit ke kamar mandi di belakang masjid. Begitu selesai dan hendak pulang, dia baru menyadari sandalnya tidak ada di tempat yang dia gunakan untuk menyimpannya. Awalnya Wening berpikir mungkin miliknya tergeser orang-orang yang lebih dulu bergerombol ke luar. Maka, dengan santai dia menyuruh orang tua dan adiknya pulang lebih dulu, sementara dia akan mencarinya sendiri.

Namun, setelah sekian menit berlalu, Wening tak kunjung menemukannya. Akhirnya Tifanny dan Tio yang kebetulan baru akan pulang--karena selesai Tarawih tadarusan dulu--turut membantunya. Sayang, sampai sekarang sandal itu tidak juga ketemu, sehingga Wening dan Tifanny memilih istirahat dulu di teras masjid, sementara Tio pamit pergi entah ke mana.

Wening mengusap wajah kasar. Dia sudah sangat lelah. Setelah melaksanakan salat berpuluh-puluh rakaat sembari menahan kantuk, keinginan terbesarnya adalah segera pulang dan merebahkan diri di kasur kamarnya. Namun, itu tak bisa segera terealisasi karena begitu keluar dari masjid, sandalnya malah raib.

Wening mendengkus. "Aku jadi nyesel salat Tarawih berjamaah!" sesalnya dengan bibir mengerucut. "Sudah mah bikin capek, terus bikin barang yang aku sayang malah hilang."

Tifanny mencubit lengan Wening. "Istighfar. Tidak baik menyesali apa yang sudah terjadi. Apalagi jika yang dilalui adalah sesuatu yang baik. Tarawih ini ibadah, Wening!" Gigi Tifanny beradu, gemas. Dia sungguh tak habis pikir dengan pola pikir gadis berkulit sawo matang itu.

Wening meringis, mengusap-usap lengan. "Jadi, aku harus gimana?"

"Coba tarik napas dalam-dalam, terus buang perlahan."

Patuh, Wening mengikuti instruksi Tifanny beberapa kali.

Tifanny tersenyum. "Sudah tenang?"

Wening membalas dengan anggukan. "Sedikit."

Tifanny kembali mengusap-usap punggung Wening. "Kehilangan yang kamu alami ini mungkin musibah. Namun, kamu jangan menanggapinya sambil emosian apalagi marah-marah. Ingat, salah satu jalan untuk kita belajar bersabar adalah saat sedang menghadapi musibah. Mungkin Allah sedang ingin menguji sebelum memberikan sesuatu yang lebih baik."

Bahu Wening merendah, mulai rileks. Ekspresinya berubah lebih santai. "Terus, gimana?"

"Ikhlaskan ...." Suara Tifanny sarat kelembutan.

"Tapi aku say---"

"Ssst ...." Tifanny memotong. "Mengikhlaskan bukan berarti udah nggak sayang. Namun, lebih ke memasrahkan. Segala sesuatu 'kan milik Allah. Jadi, ya, kalau Sang Pemilik sudah mengambilnya, kita harus sabar dan ikhlas."

Wening menghela napas. "Baiklah ...."

"Jadi, mau coba nyari lagi?"

Wening tersenyum. "Enggak usah, ini udah malam banget. Aku nggak enak sama kamu dan ... Kak Tio. Pasti kalian udah lelah dan butuh istirahat."

"Jadi ...." Tifanny ragu mengambil kesimpulan.

"Kita pulang aja." Wening bangkit dan menepuk-nepuk roknya. "Seperti kata kamu, aku akan mengikhlaskan sandal itu."

"Alhamdulillah," tanggap Tifanny amat lega. Dia bahagia dengan kebesaran hati sang sahabat.

Akan tetapi, ternyata drama belum selesai. Wening malah mencondongkan tubuh ke sisi Tifanny, dan mendekatkan bibir ke telinganya. "Buat gantinya nanti kita beli sandal lebaran couple."

Tifanny memelotot. "Heh! Kayak bocah aja!"

Wening malah ngakak sembari menepuk-nepuk tangan.

"Jadi pulang, nggak?" Tifanny menahan dongkol.

Wening berdeham. "Jadi, kuy!"

"Kamu mau nyeker?" Tifanny menunduk, melihat jemari kaki Wening yang bergerak-gerak di rerumputan tanpa pelindung apa pun.

Wening berdecak. "Ya iyalah. Kan nggak ada sandalnya."

"Itu!" Tifanny menunjuk sepasang sandal jepit berwarna hitam usang yang tergeletak di ujung.

Wening menggeleng cepat. "Nggak mau! Jelek!"

"Heh, mulut!"

Wening mengangkat telunjuk dan jari tengah. "Canda. Aku cuman khawatir pakai punya orang lain tanpa izin. Kalau dia nggak ikhlas, gimana? Kalau dia mengumpat kayak aku tadi, gimana? Serem." Wening pura-pura bergidik. "Jadi, nggak apa-apa aku nyeker aja."

"Pakai ini saja." Tio tiba-tiba menyodorkan sandal capit warna abu-abu dengan motif polkadot putih.

Wening mengerjap-kerjap. "Ini ...."

"Buat kamu," sahut Tio cepat.

Wening menelengkan kepala. "Gimana, Kak?" Dia masih belum paham.

"Barusan saya beli di warung dekat sini. Ayo pakai."

Wening tersipu. Dengan gerakan sok elegan dia mengenakannya. "Pas sekali!" soraknya senang. "Besok uangnya aku ganti, ya, Kak."

Tio menggeleng. "Tidak usah. Untuk kamu saja!"

Pipi Wening kian memerah. Cepat dia kembali mendekati telinga Tifanny. "Bener, Fan, Allah mengganti apa yang hilang dariku dengan yang lebih baik," bisiknya diiringi cekikikan. "Pokoknya, fix, aku jadi kakak iparmu!"

"Ndaaak!"

Tak memedulikan teriakan Tifanny, Wening malah segera ngibrit. "Terima kasih kalian. Duluan, ya!"

"Assalamu'alaikum, Wening!" Tifanny mengeraskan suara.

Setelah balasan singkat dari Wening terdengar, Tio segera menuju bagian belakang tubuh Tifanny. "Temanmu terlalu random," katanya saat mulai mendorong kursi roda, diiringi senyuman geli.

~~~

Ada yang pernah kehilangan sandal di masjid?

Gimana perasaannya? Nyesek nggak, sih?

Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa di bab berikutnya. Salam hangat dari aku dan Kak toetikhdhyh_ 🤗

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now