15. Sisi Lain dari Anak Jalanan

4 0 0
                                    

Selamat membaca

Selepas salat subuh di masjid, Tifanny tak langsung pulang ke rumah. Wening memintanya untuk mampir ke rumah dengan alasan menemani dirinya karena ayah dan bunda sedang pergi setelah sahur pagi tadi. Niatnya, kedua gadis itu hendak bertukar cerita di kamar Wening, mengingat pemuda yang kemarin datang ke rumah Tifanny adalah Fadil.

"Fan, jadi gimana? Fadil ke rumah kamu kemarin ngapain?" tanya Wening begitu penasaran.

"Emangnya kamu nggak denger? Bukannya kata kamu, kamu mau nguping?" balas Tifanny pelan.

"Rencananya mau gitu, tapi tiba-tiba aku kebelet pipis. Hehe. Jadinya, ke kamar mandi dulu. Jadi, gimana? Dia beneran mau lamar kamu?"

Tak.

"Jangan sembarang, Wening! Kamu ndak udah ngadi-ngadi! Fadil ke rumah karena ... dia mau ajak aku jalan-jalan." Terdengar kecil di penghujung kalimat, sambil wajahnya tertunduk karena malu untuk mengatakan yang sebenarnya.

Namun, bukan Wening namanya jika ingin membuat Tifanny tambah malu. Gadis itu tertawa keras melihat ekspresi sahabatnya. Bahkan, bantal yang ia pegang pun sampai terlepas.

"Ih! Kamu kok malah ketawa, sih? Orang lagi malu juga!" Tifanny cemberut. Sedikit menyesal dengan perbuatannya tadi.

"Lucu tahu, nggak! Terus, kamu terima ajakannya?" Wening bertanya lagi.

Tifanny menggeleng lemah. "Ndak."

"Eh, kenapa? Bukannya itu bagus untuk mendekatkan diri kepadanya?" Wening terkejut.

"Ndak baik kalau jalan-jalannya hanya berdua, nanti tengahnya setan. Lagipula, Fadil belum tentu suka sama aku, mungkin aja dia ajak aku jalan-jalan biar aku ndak bosan. Apalagi melihat kondisiku seperti ini, bisa jadi dia hanya kasihan padaku." Tifanny menunduk. Raut sedih terpancar di wajahnya. Inilah resiko menyukai dalam diam, yang disukai belum tentu membalas hal serupa.

Melihat itu, Wening jadi tak tega. Ia jadi merasa bersalah telah bertanya tentang hal itu pada Tifanny. Niatnya tadi, ia hanya ingin menghibur gadis itu dan berusaha membantu untuk mendekatkan dirinya pada Fadil. Tapi ternyata ....

"Kak!" Tiba-tiba suara Ragil menggema di kamar bercat abu-abu itu. Membuat Wening naik pitam karena masuk tanpa permisi.

"Kalau masuk itu, salam dulu! Ketuk dulu! Jangan asal nyelonong aja!" tukas Wening. Ia menatap Ragil dengan kesal. Sedangkan, yang ditatap malah menyengir tanpa dosa.

"Kak, tolong antarkan aku ke tempat temanku, ya? Aku mau main di sana," pinta Ragil sambil tangannya bergelayut di lengan Wening.

"Ayah sama bunda udah tahu?"

Ragil mengangguk mantap. "Sudah. Semalam sudah izin, dan sudah diperbolehkan asal Kakak yang mengantarkan aku."

"Memang rumahnya di mana?"

"Di desa sebelah," jawab Ragil enteng.

"Desa sebelah? Itu jauh banget, Ragil! Kakak nggak mau ah!" Wening menolak. Tempat jauh ditambah kondisi perut yang sedang tidak bisa diajak kompromi membuat gadis itu badmood. Ia sedang tak ingin berpergian ke mana-mana.

"Ah, Kakak! Ayo, dong! Aku sudah janji sama temen aku mau ke sana," bujuk Ragil sedikit memaksa. Ia terus menggoyang-goyangkan lengan kakaknya demi mendapatkan izin sekaligus diantarkan ke tempat yang ia mau.

"Sakit atuh kamu tarik-tarik kek gini! Udah ah, nggak usah pergi, jauh!" putus Wening justru membuat Ragil semakin gencar untuk membujuk.

"Udahlah Wen, antar aja. Kalau ndak diturutin justru dia malah tambah nangis, kamu sendiri nanti yang pusing, kan?" Tifanny memberi usul.

"Tuh, dengerin!"

"Ngeselin, deh! Ya udah iya-iya. Tapi, kamu harus ikut aku, Fan!" putus Wening.

"Eh, kok aku?"

"Nggak ada penolakan! Kita naik mobil, biar aku yang nyetir."

🌸🌸🌸

Sampainya di rumah teman Ragil, lelaki itu bergegas turun dari mobil dan berterima kasih pada Wening. Sedangkan Wening sendiri, ia masih beristirahat di dalam mobil. Cukup lelah karena perjalanan yang ditempuh begitu jauh.

Namun, fase istirahatnya teralihkan tatkala melihat Tifanny termenung menatap jendela luar. Penasaran, Wening mengikuti arah pandang Tifanny. Dilihatnya, di sana ada segerombolan anak-anak kecil dengan pakaian lusuh yang sedang membawa barang-barang bekas.

"Anak-anak itu ...."

"Kasihan mereka." Tifanny berucap. "Sudah kecil tapi harus berkelahi sama waktu. Berkorban demi menghidupkan diri, dan harus menahan caci makian dari masyarakat. Miris, Wen."

Wening terdiam sejenak. Ia juga ikut memperhatikan anak-anak itu. Ada rasa iba yang menyelinap. Lamunannya buyar ketika Tifanny kembali bersuara.

"Kita patutnya bersyukur, masih dikasih kesempatan sama Allah untuk bisa makan enak, masih bisa sekolah, menikmati masa-masa indah pada masanya. Ndak seperti mereka, fase bermainnya telah terhempas. Sehari-harinya, harus bergelut dengan waktu dan uang." Tanpa sadar Tifanny meneteskan air mata. Hatinya cepat sekali tersentuh.

"Eh, Fan, jangan nangis." Wening langsung mengambil aksi, memeluk Tifanny dengan erat. "Jangan nangis, dong. Aku jadinya mau ikut nangis juga."

"Aku kasihan sama mereka, Wen, andai aku di posisi itu pasti sulit untuk bertahan. Hiks. Mereka harusnya bisa memakai hak mereka, ta-tapi karena keadaan mereka harus berkorban seperti itu." Tifanny menangis sejadi-jadinya. Sedangkan Wening, ia berusaha untuk menenangkan gadis itu.

"Kamu perasa banget, ya? Kita doakan saja, siapa tahu mereka nanti bisa sukses dan hidupnya selalu dilindungi sama Allah SWT. Bukannya kamu yang ajarin aku kek gitu?" Wening berujar.

Tifanny mengangguk pelan. Dirinya sudah bisa mengontrol emosi. "Iya, kamu benar. Kita doakan mereka saja yang terbaik."

Wening tersenyum. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya. Ia pikir, rencananya ini akan mendatangkan kebaikan untuk Wening juga Tifanny. Namun, biarkan ia pendam dulu niat tersebut sampai Tifanny benar-benar tenang.

"Sekarang udah tenang?" tanya Wening.

"Alhamdulillah sudah."

"Alhamdulillah. Kalau belum tenang, mau aku telfon Fadil biar tenangin kamu," ujarnya enteng.

"Eh, Wening! Jangan ngadi-ngadi!"

~~~

Salam manis dari aku dan Kak toetikhdhyh_

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now