22. Penerimaan

2 0 0
                                    

Selamat membaca

"Wen, aku titip Tifanny bentar, ya? Aku mau ke sana dulu, mau beli makanan kesukaan Tifanny juga," ujar Tio berhasil membuyarkan lamunan Wening. Gadis itu mengangguk canggung. Setelah mendapat anggukan, barulah Tio pergi.

"Wen, kamu mau beli jajanan lagi, ndak?" tawar Tifanny. Walaupun sudah mendapatkan makanan yang ia suka, tetapi tetap saja netranya mengitari setiap penjualan di sana.

Wening tampak berpikir, hingga beberapa detik kemudian ia menjawab, "Keknya nggak ada, deh. Kamu sendiri?"

"Aku udah cukup, kok." Tifanny berbalik badan, seperti ada yang kurang. "Eh, bentar, Kak Tio ke mana? Kok ndak ada?" tanya Tifanny cukup panik.

"Kak Tio tadi pergi bentar, Fan. Katanya mau beli makanan kesukaan kamu," ungkap Wening tenang.

"Dia pamitan sama kamu?"

Wening mengangguk semangat. "Iya. Memangnya kenapa?"

"Kok ndak pamitan sama aku, ya?" tanya Tifanny bingung.

"Kan aku adalah calon istrinya, jadi dia pamitnya sama aku!" balas Wening dengan bangga, sengaja ingin menggoda Tifanny juga.

"Eh!"

Karena tidak ada makanan yang ingin dibeli lagi, kedua gadis itu memutuskan untuk sekedar jalan-jalan di sekitar. Sambil menunggu waktu berbuka sekaligus menghilangkan rasa bosan. Namun, saat di pertengahan jalan, tiba-tiba kedua kaki Tifanny terasa ngilu. Gadis itu meringis pelan.

"Aduh, shh."

Wening yang sangat khawatir, lantas membungkukkan tubuhnya sambil mengelus-elus kaki Tifanny. "Eh kenapa? Sakit, ya? Sakit di bagian mana? Sini aku elus, siapa tahu bisa membantu."

Tifanny terdiam sejenak. Jujur, ia sangat terharu dengan perhatian kecil yang Wening berikan padanya. Wening itu luaran saja terlihat urakan,  karena sebenarnya dia juga punya hati seperti malaikat. Itulah salah satu alasan Tifanny bertahan menjadi sahabatnya, walaupun untuk beberapa tahun belakangan ini tutur katanya cukup berubah karena salah pergaulan. Untungnya, bisa cepat diatasi dan diperbaiki.

"Fan? Bagian mana yang sakit? Kok malah bengong?" tanya Wening lagi.

"Udah ndak, kok. Udah normal lagi," jawab Tifanny pelan.

"Beneran?"

Tifanny mengangguk mantap. Meyakinkan pada Wening bahwa dirinya sudah baik-baik saja.

"Kaki kamu emang suka ngilu, ya, Fan?" tanya Wening hati-hati.

"Iya, kalau dingin kadang suka ngilu. Tapi ndak lama, kok. Lima menit paling lama," jawab Tifanny seadanya.

"Pasti aktivitas kamu banyak terhambat, ya, karena kecelakaan waktu itu? Kalau aku jadi kamu, keknya nggak bakal kuat, deh. Pasti susah jalanin semua ini. Tapi ... kok kamu bisa menerima semua ini dengan lapang dada, sih, Fan? Aku tuh lihat kamu kok, ya, nyantai aja gitu. Aktivitas sehari-hari masih jalan. Maksud aku, kok bisa?" Wening memborong pertanyaan. Sebetulnya sudah cukup lama ia memendam, hanya saja belum ada waktu yang tepat untuk ia sampaikan pada Tifanny. Takut tersinggung.

Tifanny tersenyum manis. "Aku cuma mikir gini, Wen. Kita diberi musibah itu adalah bukti cinta Allah terhadap kita, karena dia tahu kalau kita bisa melewati semua ujian yang dia berikan. Dia tahu kita bisa tabah dan sabar. Aku yakin, kok, dibalik semua musibah ini pasti ada suatu hal manis yang akan aku dapatkan setelahnya. Allah itu maha baik. Dia ndak akan memberikan kita ujian di luar kemampuan kita," jelas Tifanny.

"Perihal menerima, kembali lagi semuanya aku pasrahkan sama Allah. Dia yang mengatur semuanya. Apa pun yang terjadi, tetap harus disyukuri. Aku masih bersyukur, karena masih dapat melakukan aktivitas seperti biasanya. Ketimbang orang-orang yang diluaran sana sudah tidak memiliki sepasang kakinya lagi. Lebih ngilu rasanya, Wen."

Penjelasan Tifanny menjadikan sebuah pelajaran untuk Wening. Walaupun diberikan kekurangan fisik, tetapi tak sedikit pun mengurangi semangat Tifanny untuk melanjutkan hidup. Bahkan, selama Wening bersamanya tak pernah sedikitpun Wening mendengar Tifanny mengeluh. Justru dirinya yang sering mengeluh. Jujur, Wening malu. Walau begitu, Wening sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan sosok sahabat seperti Tifanny yang menerima Wening apa adanya.

"Rupanya kalian di sini?" Tio tiba-tiba datang sambil membawa kantong plastik berwarna hitam.

"Kakak abis dari mana?" tanya Tifanny.

Tio mengangkat kantong plastik itu dengan semangat. "Ini! Ayam tepung kesukaan kamu. Jadi, nanti nggak usah masak, ya. Kakak sudah belikan ini."

"Asik! Makasih, ya, Kak!" Tifanny senang, Tio memang pandai membuat adik kecilnya itu bahagia.

"Kalau nggak ada lagi yang mau dicari, kita pulang, yuk?" ajak Tio.

"Ayuk!" balas kedua gadis itu kompak.

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now