25. Menolong

1 0 0
                                    

"Wa shallallahu 'ala sayyidina Muhammadin ... wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallama ...." Lantunan shalawat pendek itu mengalun lirih dari bibir Wening. Gadis yang tengah menapaki jalan setapak itu telaten mengucapkannya meskipun matanya sibuk menjelajahi pemandangan sekitar.

Ada yang berbeda dari Wening hari itu. Jika biasanya Wening akan menemani perjalanannya dengan dendangan nada lagu-lagu pop Korea. Hari itu dia mencoba saran dari Tifanny kemarin, untuk membasahi bibirnya dengan lantunan kalimat yang memuji Rasulullah SAW.

Tepat di pertigaan, Wening belok ke arah yang berlawanan dengan letak rumah Tifanny. Ya, khusus pagi ini dia tidak dulu mengunjungi sahabatnya itu. Bukan karena sedang ada masalah atau apa di antara mereka, hanya saja Wening harus melakukan tugas negara terlebih dahulu, membeli bahan-bahan membuat kue atas perintah sang ibu.

Ramadhan tinggal tersisa kurang dari sepekan. Tanpa terasa tahu-tahu sebentar lagi lebaran tiba. Sungguh dua puluh lima hari ini menjadi waktu yang terasa begitu cepat bagi Wening, tetapi kesannya begitu mendalam.

Wening sangat-sangat mensyukuri pertemuannya tempo lalu bersama Tifanny yang akhirnya membawanya pada perjalanan yang membawanya ke jalan hidayah. Wening juga bersyukur menyetujui ajakan Tifanny untuk berkegiatan bersama, karena ternyata itu memberikan dampak luar biasa untuknya.

Secara jiwa, Wening tak lagi merasa hatinya gersang. Sedikit demi sedikit kini hatinya tak lagi kering kerontang, mulai ada benih-benih menyejukkan yang membuatnya mulai bisa membenahi diri dan mengendalikan emosi.

Tidak hanya batin, raga Wening pun mulai tergerak untuk senantiasa melakukan ibadah kepada Allah. Meskipun, ya ... kadang-kadang dia masih terserang tergesa dan kurang fokus, tapi setidaknya dia sudah mencoba untuk melakukan semuanya tepat waktu.

Luar dalam Wening mulai bertransformasi meninggalkan identitas barbar. Kini dia juga sudah mengubah gaya pakaiannya, walaupun ya ... belum sampai ke tahap amat syar'i juga. Namun, setidaknya dia sudah berusaha menutupi auratnya, dengan kerudung instan yang tidak menerawang, kemeja longgar sampai pergelangan tangan, rok payung, dan kaos kaki motif daun.

"Tolong ...!"

Wening mengerjap. Matanya membola awas. Dia putar-putar kepala untuk mencari sumber lengkingan itu. Sampai akhirnya dia menemukan sesosok wanita lanjut usia yang terduduk di trotoar.

Sekali lagi Wening melihat sekitar, tetapi tak terlihat tanda adanya orang lain yang akan mendatangi si nenek. Maka sembari mengangkat sedikit roknya, Wening pun memilih berlari menuju nenek tersebut.

"Nenek terjatuh?" tanya Wening pelan sambil menahan ringisan karena melihat cairan merah membasahi rok samping yang digunakan nenek tersebut.

"Tadi ... ada yang nyerempet," balas Nenek lemah. Wajahnya pias, jelas menampakan kesakitan.

Tanpa banyak kata lagi, Wening membantu nenek itu berdiri. Setelahnya dia membelakangi nenek itu dengan posisi kaki agak menekuk. "Naik, Nek," titahnya tegas sembari membawa tangan wanita itu melingkari lehernya.

Di saat seperti itu, Wening bersyukur memiliki tubuh tambun. Sebab, dengan begitu dia jadi sanggup menggendong nenek yang kebetulan berperawakan kecil itu. Meski langkahnya pelan, tetapi Wening yakin sanggup membawanya sampai ke rumah salah satu warga terdekat dari sana.

Wening menggeleng saat teringat tujuan awalnya. Sepertinya tak apalah dia menunda dulu tugas negaranya. Dia yakin ibunya akan memaklumi. Sebab, Wening yakin menolong orang yang sedang kesusahan adalah kewajiban sebagai seorang muslim.

"Duh ...." Rintihan nenek terdengar.

Wening mengeratkan tangannya yang tertaut di belakang badan untuk menyangga kaki nenek. "Bismillah," ucapnya penuh tekad sembari sedikit mempercepat langkah.

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now