3. Bukber

10 2 2
                                    

Allaahuakbar ... Allaahuakbar ....

Laa ilaaha illallaah ....

"Sudah Ashar, aku pamit, ya," ucap Tifanny setelah selesai membaca doa setelah azan. Tangannya sudah bertumpu pada roda di kedua sisi tubuhnya, bersiap melajukannya.

Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, Tifanny dan Wening sudah mengobrol selama hampir tiga jam. Tahu-tahu saja sekarang hari sudah beranjak sore. Mereka keasikan membahas banyak hal, nostalgia tentang kenangan-kenangan di masa kecil, saat-saat mereka selalu berbarengan.

Dulu Tifanny dan Wening begitu lengket, ke mana pun senantiasa berdua. Mereka senantiasa bergantian saling menjemput, lalu berjalan beriringan. Bahkan saking seringnya bersama, beberapa orang yang sering mengatakan mereka seperti anak kembar.

Namun, kebersamaan itu harus terhenti setelah selesai masa putih-abu. Wening memilih mengejar pendidikan lanjutannya di universitas ternama di pusat kota, sehingga mau tidak mau dia harus merantau. Sementara Tifanny memilih untuk berkuliah dari rumah demi bisa tetap tinggal bersama keluarganya.

"Eh, mau ke mana?!" Wening merentangkan tangan di depan Tifanny, kakinya juga terbuka lebar, menghalangi pergerakan sang teman.

"Pulang," balas Tifanny sambil agak mengernyit, heran karena Wening malah menghadangnya seperti itu.

"Nggak!" seru Wening agak keras. Kepalanya bergerak menggeleng-geleng. "Nggak boleh!"

"Kenapa?" Tifanny makin heran.

"Tadi kamu sendiri yang bilang kalau Kak Tio pulangnya bakal agak malam." Wening membenahi posisi berdirinya. Kakinya dirapatkan sementara tangannya dilipat di dada. "Jadi, aku nggak akan biarin kamu pulang dan malah sendirian di rumah."

Tifanny menelengkan kepala. "Ya ... terus gimana?"

"Kamu tetap di sini aja. Kita buka bersama. Nanti kalau Kak Tio udah pulang, kamu aku antarkan."

"Uhm ...." Tifanny menggigit bibir bawah. "Memangnya boleh begitu?"

"Heh!" Wening melebarkan bola mata. "Ya bolehlah. Makanya aku ngajak juga, berarti nggak dilarang. Kecuali ... emang kamunya nggak mau." Suara Wening melemah di kalimat terakhirnya. Bibirnya agak dimajukan dan tatapannya dibuat-buat sedih berlebihan.

"Eh, ndak!" Tangan Tifanny bergerak-gerak. "Aku mau kok!"

"Yes!" Wening bertepuk tangan sekali. Rona wajahnya seketika kembali ceria. Dengan semangat dia bergeser ke belakang tubuh Tifanny dan menyampirkan kedua telapak tangannya di kursi roda, hendak mendorongnya.

"Eh, sebentar, ini mau ke mana?" Tifanny agak terkejut, menoleh penuh tanya pada Wening, setelah mereka maju beberapa meter, hampir mencapai bingkai pintu kamar Wening.

"Ke dapur, nyiapin buka. Aku masak, kamu nemenin, kita lanjut ngobrol di sana."

"Ndak salat dulu? Barusan 'kan azan."

"Lupa, hehe." Wening menyengir, memainkan jari jempol sendiri. "Ya udah, ayo ... kita salat."

***

"Alhamdulillah ...." Orang-orang yang duduk melingkari meja makan itu berucap bersamaan tatkala azan Magrib berkumandang.

"Mari makan!" seru Ragil penuh semangat.

"Baca doa dulu, Nak!"

Teguran Bunda tidak hanya berlaku bagi Ragil, Wening yang juga sudah hampir menyentuhkan bibirnya ke gelas berisi jus pun turut menghentikan gerakannya. Dia menarik kembali tangannya untuk menengadah bersama bibir yang berkomat-kamit.

Mengejar LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang