7. Rumah Tifanny

7 1 0
                                    

"Sudah panas, kita ke dalam, yuk!" ajak Tifanny sembari mengusap peluh di dahinya.

Asik saling menggoda, tanpa terasa waktu bergerak dengan cepatnya. Subuh yang gelap telah berganti pagi yang cukup terik. Entah kenapa mentari di hari itu menyorot sangat panas, sehingga membuat Tifanny tak kuat lagi melanjutkan acara berjemurnya. Padahal biasanya dia akan setia duduk di halaman sampai pukul sepuluh.

"Hem?" gumam Wening di tengah acara menguap dan menggosok-gosok matanya.

"Atau kamu mau pulang?" tanya Tifanny segan. Meskipun Tifanny sebenarnya masih ingin berlama-lama berbincang dengan Wening, tetapi dia juga tak bisa seenaknya menahan gadis itu di sisinya. Bagaimanapun dekatnya mereka dulu, sekarang keadaanya sudah tidak lagi sama, bukan tak mungkin jika Wening sudah tak lagi nyaman dengannya.

"Eh!" Seketika Wening melebarkan matanya, agak memelotot. "Enggak, Fan! Aku belum mau pulang. Aku masih mau main sama kamu." Sambil menghindari Ragil tentunya, lanjutnya dalam hati. 

Ya, Wening rasa berada di luar rumah, terutama bersama dengan Tifanny, adalah pelarian terbaik untuknya agar bisa terhindar dari sang adik yang menjengkelkan. Jadi, meskipun dia agak ragu untuk mengamini ajakan Tifanny--waktu itu--untuk menjalani satu bulan puasa bersama, tetapi dia akan memilih maju mengikuti alurnya. Entah bagaimana akhirnya nanti, yang jelas Wening tak mau menjadikan acara pulang kampungnya sebagai ajang memupuk penyesalan.

Tifanny mengangguk, tersenyum. Dia sangat bersyukur karena Wening tak jadi pergi seperti kekhawatirannya. "Ya sudah, ayo lanjut ngobrol di dalam."

Dengan semangat penuh Wening bangkit dari kursinya, lalu sambil senyum-senyum dia segera menuju belakang tubuh Tifanny dan menyampirkan tangannya di pendorong kursi roda.

Tifannya menoleh dan menggeleng kecil. "Ndak usah ...."

Wening malah mengedikkan bahu tak acuh, lantas melanjutkan dorongannya hingga menapaki teras rumah. "Coba buka pintunya."

Menyadari sifat keras kepala Wening yang kian mengakar kuat, akhirnya Tifanny hanya bisa menghela napas, kemudian memutar kepala menghadap depan. Perlahan Tifannny mengeluarkan kunci dari saku gamisnya, lanjut memasukkan kunci dan mendorong gagang pintu hingga terbuka.

"Terima kasih, ya," ucap Tifanny tulus, penuh kelembutan, saat mereka sudah tiba di ruang tamu.

"Sip-sip," sahut Wening teramat santai, sembari melepas pegangannya pada kursi roda, lalu berpindah, berdiri di sebelah Tifanny, dan mengangkat dua jempol tangannya yang bulat.

Dibanding Tifanny yang terlihat ringkih, Wening malah cukup tambun. Tubuhnya tinggi berisi dengan pipi chubby dan jemari tangan yang besar-besar. Secara kulit pun pigmen mereka tak sama, Wening dengan coklat sawo matangnya, sementara Tifanny dengan kuning langsat cerahnya.

"Malah matung." Tifanny menoel lengan Wening. "Mikirin apa?"

Wening menggeleng. "Cuman heran aja sama orang-orang yang dulu ngatain kita kembar, padahal penampakan fisik kita jelas sangat berbeda."

"Heem, mereka memang mengherankan. Secara sikap juga beda 'kan, ya. Aku tuh pemalu dan susah ngomong, sementara kamu pemberani dan receh abis."

Wening langsung ngakak. Di antara mereka memang tidak ada yang namanya saling insecure, apalagi saling iri. Masing-masing mengetahui kurang-lebih satu sama lain, tetapi tidak pernah menjadikannya bahan untuk minder. Justru perbedaan yang ada menjadi pewarna ikatan persahabatan mereka.

"Duduk, gih." Tifanny menyuruh sembari menunjuk sofa.

Wening tersadar, menyengir lebar, lantas menurut, menjatuhkan badannya di sofa yang menghadap televisi.

"Mau nonton?" tawar Tifanny dengan tangan terulur meraih remote.

Sesaat Wening menimbang, kemudian menggeleng. "Pengennya rebahan," sahutnya dilanjut senyum garing.

Tifanny tersenyum geli, tetapi mengarahkan tangan kanannya ke lawang ruangan lain. "Di ruang keluarga saja."

Wening bersorak. Tanpa membuang waktu, dia segera bergerak mendahului. "Wah ... tempat ini masih sama," selorohnya begitu memijak ruangan bernuansa minimalis dengan karpet yang membentang.

"Alhamdulillah, iya," tanggap Tifanny yang baru menyusul. "Tolong...," katanya setelah mendekat ke karpet, meminta Wening untuk membantunya turun dari kursi roda.

"Kamu masih sering ngadem di sini?" Wening kembali bertanya setelah melihat Tifanny nyaman dengan posisi duduknya. Tanpa segan, Wening mulai membaringkan tubuhya, rebahan dengan menyangga kepala menggunakan kedua tangan yang terlipat di belakang.

"Masih," Tifanny mengatur kipas angin di sebelahnya, "tapi udah jarang lesehan di karpet gini."

Wening mengangkat alis. "Kenapa?"

Tifanny terdiam, melirik kakinya sendiri.

Wening yang meihat itu langsung merasa tak enak. "Eh, maaf, aku nggak bermaksud ...."

"Santai." Tifanny terkekeh ringan. "Aku ndak apa-apa."

Wening menggaruk kepala, rikuh.

"Aku jarang di karpet karena susah turunnya. Jadi, kalau mau rebahan, ya, di kamar. Lebih mudah geser ke ranjang yang tingginya hampir sejajar dengan kursi roda."

Wening mengangguk saja. Memahami. Efek tak enak barusan membuatnya segan kembali bicara, takut kembali mengusik kesakitan Tifanny yang mungkin saja sudah coba gadis itu lebur.

"Kamu nggak ada yang harus dilakukan di rumahmu?"

"Hah?" Wening yang sempat melamu terkesiap. Berdeham, dia membalas, "Enggak. Libur kuliah gini aku jadi pengangguran. Di rumah kerjaannya paling ... rebahan."

"Tadi pagi pas aku telfon kamu juga lagi rebahan?" Mata Tifanny menyipit, menyelidik.

Lagi, Wening menunjukkan deretan giginya. "Lagi tidur malah."

Pupil Tifanny melebar. "Kamu jadi hobi tidur, ya?"

Wening memiringkan tubuh. "Katanya 'kan tidur saat puasa itu bagus, bisa dinilai ibadah malah. Jadi, ya, aku milih tidur seharian aja."

"Astaghfirullah ...." Tifanny menggerak-gerakkan kepala, tak percaya. "Bukan begitu konsepnya, Wening."

"Gimana?" Wening yang mulai merasakan kantuk melanda, menyahut tanpa membuka mata.

Sebentar, Tifanny mengatur napas, berusaha menetralisir perasaannya. "Tidur saat puasa itu baik, kalau tujuanya menghindari kegiatan yang malah menimbulkan dosa seperti ghibah atau sejenisnya, juga untuk membekali diri agar tidak mengantuk saat beribadah salat atau mengaji. Sedangkan kalau tujuannya buat malas-malasan seharian ... itu nggak baik."

Wening meringis, memainkan jempol tangan sendiri. "Jadi, aku harus gimana?"

"Produktif. Bulan Ramadhan gini segala amal perbuatan baik, pahalanya insyaAllah akan dilipatgandakan, sayang kalau disia-siakan cuma buat leha-leha. Jadi, coba kegiatan lain untuk mengalihkan diri dari keinginan mengantuk. Lakukan apa pun yang bermanfaat bahkan kalau bisa menambah pahala."

"Contohnya?"

Tifanny tak langsung menjawab. Getaran posel di saku gamis mengalihkan atensinya. Segera dia mengeluarkannya dan mengotak-atiknya sebentar, kemudian dia mengangsurkan layarnya menghadap Wening sambil berkata, "Kayak gini."

Wening membuka pejamannya, lanjut mengernyit. "Salat ... Duha?"

~~~

Pada suka tidur pas puasa nggak, nih?

Kalau ada, kita toss, wk.

Terima kasih sudah membaca. Salam hangat dari aku dan Kak toetikhdhyh_ 🤗

Mengejar LenteraWhere stories live. Discover now