Dua Puluh Enam (Flashback)

2.5K 223 10
                                    


"Kamu dengar apa yang Ayah bilang, Ardian?" Ardian Sauki, lelaki berusia berusia 25 tahun itu duduk tegap dengan tangan terkepal atas dipangkuannya, ia dengan berani menatap sosok lelaki tua di hadapannya dengan tatapan menantang, lelaki tua yang biasa ia panggil Ayah.

"Enggak bisa begitu, Yah!" Ardian berseru menolak.

"Aku enggak hamilin Gea, kenapa harus aku yang tanggung jawab?" Ardian berucap tidak terima atas keputusan sepihak yang sang Ayah buat untuknya.

"Karena Andre kembaran kamu" Ardian terkekeh sinis mendengar alasan sang Ayah yang sungguh-sungguh tak masuk akal untuknya. Dengan berani ia menggebrak meja pemisah antara dirinya dan sang Ayah.

Brak!

"Lalu apa hubungannya? Dia yang dapat enaknya kenapa aku yang harus tanggung jawab?" Tanya Ardian, dadanya kembang kempis menahan emosi.

"Ar..." Ardian dengan berani menyentak tangan sang Ibu yang mencoba menenangkannya.

"Ngelawan terus sama orangtua" Ayah Ardian yang mudah tersulut emosi balas berteriak kepada putranya.

"Kapan aku melawan Ayah? Selama ini aku selalu coba turuti semua mau Ayah dan Ibu" balas Ardian tak kalah keras.

"Mau tidak mau, minggu depan kamu nikahi dia" Ardian mengerang frustasi, sudah cukup ia tak mau hidupnya terus diatur oleh kedua orangtuanya.

"Turutin permintaan Ayah kamu ya, Nak. Sampai anaknya lahir saja" Ardian menatap tak suka sang Ibu yang sampai harus memohon kepadanya hanya karena kembarannya yang brengsek itu. Ardian benci setiap kedua orangtuanya menjadikannya tameng untuk semua masalah yang dibuat oleh anak mereka yang lain.

"Aku baru tanda tangan kontrak, Bu. Di kontrak itu aku belum boleh menikah sampai dua tahun ke depan" ucap Ardian, berharap kedua orangtuanya akan mengerti keadaanya. Apalagi masuk ke kantor sekarang tempatnya bekerja bukan hal yang mudah, Ardian tidak mau melepaskannya begitu saja.

"Berapa penaltinya? Ayah yang bayar"

Ardian menggeram marah mendengarnya. Mudah sekali Ayahnya bicara seperti itu, seakan perjuangannya selama ini untuk mendapat pekerjaan tidak ada harganya.

"Brengsek!" Tak peduli dengan siapa saat ini ia berhadapan, terang-terangan Ardian mengumpati adalah Ayahnya sendiri.

"Ardian, yang sopan kamu sama orangtua"

"Kali ini Ayah tidak bisa atur hidupku lagi, terserah mau tidak dianggap anak sekalipun aku tidak peduli" Ardian bangkit dari duduknya dengan kasar hingga membuat kursi yang semula ia duduki sampai jatuh kebelakang.

"Ardian, kembali kamu. Ayah belum selesai bicara!"

Ardian tak memperdulikan teriakan sang Ayah yang memintanya kembali, ia menuruni tangga dengan langkah besar. Ia muak berada di rumah ini. Jika tidak memikirkan Ibunya yang harus tinggal berdua saja dengan Ayahnya yang kasar itu, sudah sejak lama Ardian pergi dari rumah ini.

Ardian menatap dengan marah seorang gadis yang terlihat menangis di ruang tamu rumah keluarganya. Gadis yang masih menggunakan seragam sekolah itu kini sedang mengandung calon ponakannya.

"Lo masih kecil, kenapa enggak bisa jaga diri? harusnya lo sekolah yang bener" ucap Ardian menggeram marah.

"Biar aku gugurin aja, Mas" cicit gadis itu yang bahkan Ardian sendiri tak mengetahui namanya. Kenapa kembarannya itu bodoh sekali memacari gadis yang jelas-jelas masih sekolah, dan gadis ini juga begitu naif bisa terpedaya oleh saudara kembarnya yang brengsek itu.

"Minggu depan gue seret dia buat nikahin lo"

"Percuma, Mas. Dia enggak akan mau. Andre bilang lebih baik mati daripada harus tanggung jawab anak ini" ucap gadis itu, dengan takut-takut mendongkak menatap wajah Ardian.

"Kalo gitu dia akan mati di tangan gue!"

****

Ardian berdiri dengan tubuh kaku menatap jasad kembarannya yang tertutup kain putih. Ia menatapnya dengan sorot penuh amarah, tak ada sedikitpun rasa kasihan meski ia mengetahui kembarannya sendiri pergi dengan cara tragis. Ia malah menyesal tak terlebih dahulu menghabisi nyawa Andre hingga kembarannya itu harus mati dengan cara lain. Kembarannya yang bodoh itu nekat mengemudi dalam keadaan mabuk hingga menyebabkan kecelakaan beruntun di sebuah lampu merah.

"Kalian bantu urus semuanya, jangan sampai identitas Andre muncul ke publik"

Satu lagi yang Ardian harapkan kepergiannya adalah sang Ayah. Ayahnya itu hanya memperdulikan citranya di hadapan publik. Apalagi menjelang tahun pemilihan umun seperti sekarang, segala gerak geriknya selalu diperhatikan sekitar.

"Satu keluarga yang Andre tabrak hanya ada satu orang yang selamat, tiga anggota keluarga lainnya meninggal di tempat" Ardian hanya diam mendengarkan penjelasan Adi.

"Tolong lo urus anak itu, gue urus yang di kantor polisi, bantu gue" tanpa kata Ardian memilih pergi, ia tak tega membiarkan Kakaknya mengurus ini semua seorang diri.

Ia menemui Hans, teman baiknya yang kebetulan menangani korban kecelakaan Andre. Hans mengajaknya pergi menemui si korban.

"Gimana keadaan anak itu?" Tanya Ardian menatap prihatin seorang gadis yang berbaring tak sadarkan diri di atas ranjang perawatan dengan tubuh penuh luka-luka.

"Secara fisik cuma ada luka kecil tapi kita enggak tau gimana nanti setelah dia bangun dan tahu semua anggota keluarganya sudah pergi" Mendengar penjelasan Hans, Ardian hanya bisa menghembuskan nafasnya lemah.

"Brengsek emang, si bajingan itu kenapa mati pun harus buat orang lain susah"

Ardian masih diam mematung, menatap kosong ke arah ranjang. Sampai terdengar pintu terbuka. Seorang pria tuga dan wanita tua masuk.

"Itu Nenek dan Kakeknya anak ini" Ardian mengangguk mengerti mendengar bisikan Hans. Ia menunggu Hans berbicara dengan dua orang itu sebelum ia memulai obrolan.

"Saya Ardian. Atas nama keluarga, saya mohon maaf sebesar-besarnya atas kekacauan yang salah satu anggota keluarga saya buat. Sebagai bentuk tanggung jawab keluarga saya yang akan tanggung semua pengobatan dan kebutuhan cucu Bapak dan Ibu" ujar Ardian.

"Keluar kamu dari sini" teriakan si wanita tua yang Ardian yakini Nenek dari gadis itu. Ardian sudah menduga ini, kehadirannya disini pasti tidak diharapkan oleh mereka. Ardian memalingkan wajahnya, tak tega melihat wanita tua itu yang menatapnya penuh kesakitan.

"Saya akan terus ingat nama dan wajah kamu, bawa semua uang-uang yang kalian punya, saya tidak butuh. Uang yang kalian punya tidak sebanding dengan nyawa anak dan cucu saya yang sudah pergi" tambahnya, Ardian hanya diam mendengarkan.

"Untuk saat ini sangat berat untuk kami memberi maaf. Mau menuntut keadilan pun sudah tidak bisa" kali ini si Kakek yang angkat bicara. Masih mencoba berpikir bijak di tengah kekacauan yang terjadi. Dua orang tua yang kini sedang berada di titik terendah dalam hidup karena baru saja selesai menguburkan anak dan cucu mereka.

"Saat ini yang kami ingin jangan pernah muncul dihadapan kami, melihat wajah kalian hanya menambah rasa sakit kami"

Ardian menghembuskan nafasnya sambil mengangguk mengerti. Meski tak ditanggapi ia tetap berpamitan, lalu pergi dengan langkah beratnya.

Waktu berlalu begitu cepat, mau tidak mau akhirnya Ardian bersedia menikahi Gea, gadis yang hamil anak dari kembarannya. Setelah ketahuan hamil, orangtua gadis itu mengusirnya dari rumah. Ardian kasihan, pada Ibu dan bayi yang sedang dikandungnya. Walau bagaimana pun ia tak suka pada Ayah kandungnya, bayi itu tak pantas mendapat kebenciannya.

Ardian berpikir mungkin sudah jalan hidupnya seperti ini. Setelah berbicara dengan Gea tentang niatnya yang serius membangun rumah tangga bersama, tak lama Ardian menikahi gadis itu. Mencoba menerima takdirnya, ia masih harus hidup di bawah tekanan sang Ayah sampai Ayahnya itu tiada.

*****

8 Letters (I Love You) [END] [REPOST]Where stories live. Discover now