47. Farewell

5.8K 968 155
                                    

Dulu, setelah Alan meninggal, juna selalu berpikir mungkin saja dia bisa bernasib sama dengan saudaranya itu. Juna terlalu takut untuk pergi terlebih dahulu dan kembali meninggalkan adik adiknya tanpa persiapan untuk menghadapi kejamnya dunia. Hal itu yang kerap kali membuatnya mengajarkan Jendral bagaimana cara bekerja, mengurus adik adiknya, merawat rumah mereka, dan cara mengatur uang.
Siapa tahu jika suatu saat dia pergi sama halnya seperti Alan.

Namun juna lupa, dia benar benar lupa kalau tidak ada satupun yang tahu pasti kapan umur manusia berakhir. Juna selalu mendoktrin dirinya untuk mempersiapkan adik adiknya agar bisa bertahan ditengah dunia yang semakin kejam untuk ditinggali, sampai sampai dia lupa mempersiapkan dirinya sendiri jika harus kehilangan salah satu dari mereka.

Lantas, Juna sama sekali tidak siap.

Kursi kursi disusun di pekarangan rumahnya. Juna menatap kosong orang orang yang berdatangan masuk ke dalam rumah. Beberapa dari mereka menepuk pundak Juna untuk menguatkan lelaki itu. Seolah tuli, Juna tak menggubris ucapan kerabat yang menghiburnya, tatapan kosongnya menatap lurus kedepan, berharap jika hari ini hanyalah mimpi buruk.

Papan bunga berjejer di sepanjang jalanan kompleks. Juna menatap nanar tulisan turut berduka cita di setiap papan bunga itu. Perlahan air mata yang dia than kembali jatuh begitu saja.

Deja vu.

Ayah, Alan, sekarang Chandra. Bahkan rasanya ayah baru meninggal kemarin, Juna masih ingat suasana duka di rumah yang sama ketika ayah meninggal, lantas suasana dan tangis pilu yang dia kembali dengar ketika Alan meninggal, sekarang Chandra juga, dada Juna rasanya sesak, dia tidak pernah menyangka ini akan terjadi.

Di dalam, Jendral masih menangis terisak ditemani saudara kembarnya. Dia meringkuk menyembunyikan kepalanya di sudut ruangan, tak kuasa melihat Aji dan Letnan yang menangis sambil memeluk jasad adiknya itu. Lelaki itu tak ingin berbicara dengan siapapun, seharusnya dia masih berada di rumah sakit sekarang ini, tapi Jendral tak peduli. Persetan dengan luka di tubuhnya, persetan dengan kondisinya yang memburuk, Jendral hanya ingin Chandra kembali. Lelaki itu ditimpa batu penyesalan yang begitu besar. Naka mengerti itu, yang Naka sesali adalah ketidakmampuannya untuk mencegah Jendral pergi malam itu. Kalau saja dia sedikit lebih keras kepala, saudara kembarnya itu tidak akan terlibat kecelakaan bersama Chandra.

"Jen... Gue tahu lo gak percaya sama gue. Tapi gue mohon, untuk terakhir kalinya. Setelah ini, gue janji gak akan bohong apapun lagi ke lo."

"Maafin gue, Chan..."

"Maaf..."

"Chan..."

"Apa lagi?"

"Lo jangan pernah berubah, ya?"

"Maksudnya?"

"Tetap jadi Chandra yang gue kenal. Meski kadang lo merasa sial banget harus hidup kayak gini, apapun yang terjadi nanti, lo harus tetap jadi Abichandra yang gue kenal."

"Jen, udah..." Naka mengusap punggung saudara kembarnya, Jendral hanya bisa meringkuk sambil terus menangis. Bahunya bergetar hebat.

Tiba tiba terdengar suara keributan meneriakkan nama Chandra. Naka menoleh ke arah pintu, tampak Pram dengan kondisi berantakan menerobos masuk ditemani Jeffry dan Hendry.

Pram terpaku ditempatnya ketika melihat tubuh kaku Chandra dibaringkan disana. Lelaki itu berjalan mendekat dengan tatapan tak percaya.

Tangisnya sontak pecah begitu saja. Pram tak percaya dengan apa yang dia lihat. Ini pasti bukan Chandra, Chandra gak mungkin pergi begitu saja.

"Lo belum minta maaf sama gue, berengsek..."

"LO BELUM MINTA MAAF SAMA GUE!!!"

"BANGUN!!!"

Raga || NCT dream [END]Where stories live. Discover now