Masalah berlanjut

21.7K 1K 19
                                    

Kaki kiri Dimas bengkak. Itu yang aku liat saat dia memintaku membantu membawakan tasnya kemarin.

Karena itu dia tidak sekolah hari ini. Dia memberikan kunci mobilnya padaku tapi aku menolaknya. Hei, emang dia kira teman-temannya gak hafal mobil dia apa? Kalo tanya macem-macem gimana?

Jadi kuputuskan untuk nebeng Lea hari ini. Dan untung saja dia tidak bertanya apa-apa ketika melihat sepatu cowok di rumahku--yang sempat membuatku kalang kabut memikirkan alasan yang tepat.

Dan Lea juga mau mengantarku pulang. ah baiknyaa!!

"Michelle, emang Dimas sakit beneran? Kali aja bolos!" pertanyaan itu lolos dari mulut Lea. Aku yang mendengarnya hampir saja kram otak.

"emang." jawapku singkat lalu melempar pandangan ke jendela, menutup kegugupan.

"Tau dari mana lo? Kalian kan musuhan!"

Aku terdiam sambil mengutak atik ponselku, baru setelahnya menatap Lea. "Dia anak teman nyokap. Nyokapnya titip ijin ke gue lewat mami."

"Ooh.." Lea terdengar faham. Atau agar terliat faham? Entahlah..

Tak ada percakapan lagi hingga mobil Lea berhenti di depan rumahku. Aku akan melangkahkan kakiku turun ketika Lea mencekal pergelanganku.

"Eh, lo, besok bareng gue lagi?" Tanyanya. Terdengar sekali jika terburu-buru.

"Engga kayanya. Thanks yaa." jawapku, lalu tak mau berlama-lama keluar dari sana karena sesuatu terasa aneh.

***

Aku duduk manis di sofa sambil membaca novel. Sesekali kuminum susu coklat rendah kalori dari nakas disamping kiriku. Hey! Gini-gini aku juga menjaga bentuk tubuh.

Novel yang kubaca dari sejam yang lalu sudah sampai pertengahan. Kulirik jam dinding, lalu kembali fokus pada bacaan. Masih pukul 7:38.

Rumahku sepi. Hanya ada aku, Dimas dan Bi Nani, pembantu rumah tangga rumah ku. Jadi saat mereka sudah kembali ke habitat masing-masing, hanya detak jam yang kudengar.

"Masuk. Gue mau ngomong."

Aku terlonjak kaget. Kepalanya tiba tiba muncul didepanku. Lalu menatapnya datar. "ngomongnya disini aja. Gue males."

"Kalo ngomong disini berarti ngomong doang. Serius ih." Dimas berjalan memasuki kamar. Lalu setelahnya, aku membawa novel dan susuku mengikutinya.

Kuletakkan susuku di nakas lalu mengambil posisi duduk di atas kasur. Novel di tanganku terus kubaca tanpa peduli dimana Dimas.

"Katanya mau ngomong." tagihku pada ahirnya.

Dimas mondar mandir di depanku. Tatapannya ragu, terlihat jelas dari tangannya yang saling menggenggam.

"Michelle."

"Hm."

"Liat gue! Ya ampun!" ucap Dimas karena aku tetap membaca novelku. Aku menatapnya sesaat, lalu menutup novelku setelah mengingat-ingat halaman terahir yang aku baca.

"Apan?" Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya.

Dimas duduk di pinggiran kasur saat menatapku gusar. Tatapan jailnya hilang entah kemana.

"Dengerin gue, " ucapnya lalu menarik nafas panjang.

Aku masih diam dengan posisi sebelumnya. Menanti-nanti apa yang membuat dia gusar, hingga kutukupret yang satu ini cerita pada orang lain.

"Mama gue.." sambungnya, kemudian berhenti lagi, Dimas menggeleng.

"Mama lo kenapa?" Aku jadi shock. Takut aja sesuatu yang buruk terjadi ke ibu mertuaku. Walaupun anaknya ngeselin, mamanya baik luarbiasa.

"Mama gue minta cucu!"

Seperti dikejutkan oleh aliran listrik berjuta volt, nafasku tercekat. Tidak ada udara yang dapat diserap oleh paru-paruku. Akibatnya, kepalaku pusing.

Kutekan-tekan dadaku sambil tanganku yang lain menggapai-gapai nakas untuk mencari apa saja yang dapat kuminum. Apa saja.

Kulirik Dimas ketika nafasku mulai stabil. Dia melemparkan pandangan ke gedung-gedung yang tampak indah. Tapi, pandangannya hampa.

Menyadari aku memandanginya, dia berbalik. Dan menanyakan keadaanku yang kujawap anggukan.

"Gue gak mau Dim!" Seruku masih diam di tempat. Dimas menarik nafas panjang, lalu duduk di hadapanku.

Dimas menatapku sendu, tatapan yang pertama kali kulihat karena dia selalu menampakkan kilat jahil.

Dia tertawa sebentar. Lalu kembali menatapku. "emang lo kira gue mau punya anak ama lo? Ya nggak lah!"

Aku melemparnya dengan bantal. Keadaan gini masih bisa bercanda juga. "Ih, serius!! Jijik gue sama lo!"

Aku menarik nafas, lalu menatapnya lagi. "Terus mama lo gimana?"

Dimas menggeleng. "Entah, gue nggak mau nolak keinginan nyokap gue."

Mataku melotot menatapnya. Eh, ni anak yang dipikirin apa sih? Nggak tau umur ya?

"Lo nyadar usia gak? Kita ini masih 16 tahun! Bisa gila kalo beneran punya anak. Walau itu kemauan mama lo, gue nggak mau!"

Dimas menarik nafas panjang. "Lo nyadar gak, kita terlalu dini buat mikirin ginian." aku terdiam. Mengiyakan ucapannya dalam hati tapi mulutku serasa keluh untuk mengucapkan satu kata pun.

"Kita diminta berfikir 10 tahun melebihi usia kita."

Kepalaku menggeleng kuat. Tidak setuju dengan yang Dimas ucapkan. Ingin rasanya segera mengahiri ini, tapi berstatus janda sungguh memalukan.

Semua pikiran berkecamuk di otakku. Bangaimana jika permintaan mama Dimas harus dilaksanakan? Bagaimana jika aku benar-benar harus punya anak? Di usia segini? Bareng kutukupret macem dia?

JEDARR.... suara petir dibarengi turunnya hujan.

"AAA!" Aku menjerit sambil menutup telinga. Petir...,aku phobia dengan tanda kuasa tuhan yang satu itu.

Jantungku berdetak tidak karuan. Tak kuingan posisiku bagaimana yang jelas aku berusaha melindungi diri.

Terus kutundukkan kepalaku hingga seseorang mengelus punggungku dan dibawah ketakutan, aku malah memeluknya.

Terdengar suara kekehan Dimas. "Udah Michelle..."

Lalu, aku kembali ke kenyataan, hanya ada aku dan dia di ruangan ini kan?

Aku segera melepaskan pelukanku dari Dimas, menunduk merasakan pipiku memanas dan mengucap terimakasih setelahnya.

Young RelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang