hukuman

17K 858 2
                                    

"Emang siapa yang mau punya anak ama lo? Pacar aja enggak." ucap Seeva, lalu tawa terdengan riuh setelahnya.

Aku mengatur ekspresi senatural mungkin. Ternyata mereka nggak percaya, ternyata mereka beneran nggak percaya. Giman ekspresimereka kalo itu ternyata beneran?

"Eh? Tadi gue ngomong apa sih?" Bohongku ketika Lea dan Tasha

"Lo bilang lo gak siap punya anak." jawab Lea.

"Michelle, lo ngelantur ya? Ngomongnya nggak jelas gitu." kini giliran Tasha yang berbicara. Tangannya menepuk puncak kepalaku. Kuberi tatapan kesal, dan dia nyengir tak bersalah.

"Lo itu jomblo, emang siapa yang mau punya anak ama lo?" Ucap Seeva lagi, diikuti tawa kencang membahana setelahnya.

Lea dan Tasya ikut tertawa membuatku kesal. Kulipat tangan di depan dada dengan ekspresi kesal tingkat 10. Menit berikutnya, mereka belum juga selesai tertawa. Karena kelewat kesal ku bungkam mulut Seeva kuat-kuat.

Mereka yang tadinya menertawakanku kini menertawakan Seeva. Tubuhnya meronta sanbil berusaha melepas tanganku. Tapi aku tidak peduli, sambil tertawa, aku tetap membungkam mulutnya.

***
Ngeselin!

Pak Mukti memberiku hukuman hormat ke tiang bendera. Itu semua gegara Dimas. Dia pinjam pulpen ku dan tidak mengembalikan. Aku kesal dan memukul mejanya yang tepat di belakangku, dan dia nyolot. Karena kesal, aku ikutan nyolot tapi, belom beberapa lama Pak Mukti datang dan menghukum kami saat itu juga.

"Pstt!" suara dari sampingku, pasti Dimas.

Aku masih diam. Satu tanganku hormat sedangkan satu tangan yang lain sesekali kipas kipas, jika Pak Mukti tidak melihat ke arah kami. Aku tidak pernah mengira, sinar matahari jam 10 ternyata sepanas ini. Ku lirik lagi Pak Mukti yang bediri di ambang pintu kelas, kini dia masuk kelas.

Ku turunkan tanganku yang dari tadi hormat. Pegal rasanya. Kakiku juga, ku gerak-gerakkan kakiku agar pegalnya reda.

"El!" Panggil Dimas entah pada siapa.

"El." panggilnya lagi, tapi melihat ke arahku. Oh, mungkin seseorang di arahku.

"Woy Michelle." panggilnya lagi.

"Biasa aja kali. Gue gak salah juga! gak perlu marah juga kali." sewot ku.

"Gimana gak marah, gue panggil lo berkali-kali juga lo kacang!" Dimas ikutan marah. Sebenernya yang salah siapa sih?

"Yang salah siapa ya? Gue gak merasa dipanggil tuh," aku menjulurkan lidah. Masih di posisi semula.

"Gue panggil elo el." ucap Dimas santai.

Aku kaget mendengarnya. El? Enak aja ganti nama orang!

"Ogah ogah. Michelle ya michelle. Lo panggil El kaya cowok aja!"

"Michelle kepanjangan. Celle deh singkat." belanya lagi.

"Enggak. Yang punya nama kan gue, Mas!" Aku mulai marah.

"Nah, barusan lo panggil gue seenak jidat lo. Kaya manggil mas mas tukang gorengan juga!" Aku menahan tawa melihatnya kesal begitu.

"Nama lo kan Dimas. Wajar kalo dipanggil Mas." aku tidak terima.

"Sama aja. Lo Michelle, emang mau gue panggil Mi? Enggak kan!" Dimas marah.

"Ih, serah lo deh tapi jangan panggil gitu disekolah ya? Awas lo!" Ancamku geram.

Sinar matahari semakin panas. Sedangkan badanku mulai lemas karena sedari tadi berkeringat. pelajaran Pak Mukti kok serasa lama banget sih?

"10 menit lagi." ucap Dimas seakan tau apa yang aku pikirkan.

"gaada yang tanya juga." ucapku menutupi kekagetan.

"Gue ngomong aja, siapa tau lo mau tau," ucapnya percaya diri.

"Serah lo deh." aku menyerah. selain malas berdebat dengannya, aku juga tak mau membuang tenaga.

Dering bel serasa suara paling indah di telingaku. Ku turunkan tangan dan segera berjalan ke koridor depan lapangan. Aku duduk selonjor, agar kakiku yang pegal beristirahat. Suara nafasku mulai terdengar tidak wajar. Oh tidak, jangan sekarang.

Bayangan cowok mendekat ke arahku, berahir dengan empunya duduk berjarak beberapa senti dariku. Melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan, dan melonggarkan dasinya.

"Kenapa lo?" Tanyanya tanpa melihatku.

"Gapapa,"jawapku seadanya.

"Bilang aja. Kalo lo kenapa-napa, gue yang repot, tau gak?" Ucapnya sedikit mengancam.

"Iya iya. Gue mulai sesak nafas." aku ku. Walau sebenernya malu setengah mati. DIA.MASIH.MUSUH.INGAT.

"Gue beliin air ya?" Tawarnya. Kali ini dengan kontak mata.

"Gausah!" Seruku. Sayangnya nafasku malah terdengar mengerikan. Kubungkam mulut dan hidungku karenanya.

Tanpa berkata lagi, dimas bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah kantin. kembali semenit kemudian dengan dua air minum dalam botol. Segera, diserahkan satunya padaku.

"Thanks," kuteguk air dari Dimas hingga tinggal separuh.

"Lo haus banget? Gitu dibeliin minum masih gakmau. Gausah gengsi deh ama gue" ucapnya dengan tawa.

Aku diam mendengar ucapannya. Dimenit berikutnya, aku terbatuk-batuk. Satu tanganku memegangi dada, sisanya mencengkeram botol air mineral pemberian Dimas.

Dadaku semakin sakit. Pasokan udara serara telah habis dan tidak ada yang dapat kuhirup. Pandanganku mulai tidak jelas. Oh, tuhan tolong!

Masih dalam kondisi yang sama, sebuah punggung tiba-tiba ada di depanku. Tangan dari punggung itu menarik tanganku agar berpegangan di lehernya, lalu tangannya beralih memegangi kakiku agar tidak terjatuh ketika dia membawaku.

Nggak kalian nggak salah baca. Michelle yang amat membenci Dimas tidak dapat berkutik dibawa cowok itu di punggungnya!

Young RelationNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ