Altaf Barmasta

10.6K 421 3
                                    

Happy reading

Autumn

Semoga malam ini tidak hujan. Ah kali ini saja kubenci hujan. Aku mungkin tidak secemas tadi, tapi kondisi ku lebih mengenaskan.

Puing beserta bekas kobaran api yang menorehkan bekas permanen dapat mencerminkan sebesar apa kerugian yang ditanggung.

Tapi diluar itu, aku lebih menyayangkan tempat berlindung yang tidak ada gantinya, hangus hingga separuh.

Bukan berarti kami tidak punya rumah lagi, sih, hanya saja tidak ada rumah orang tuaku yang se-perfect ini.

Semoga saja pesta tadi dapat menyedot para peliput berita sehingga kebakaran rumahku tidak terendus sedikitpun.

Aku merapat ke mobil, lalu masuk. Tanganku memeluk ke setir dan kepalaku menelungkup diatasnya.

Kuangkat kepalaku lalu menemukan pemandangan berjejer mobil didepan rumah beberapa tetangga. Aku tersenyum tipis, paling tidak aku dapat menyelamatkan mobil-mobil itu.

Tadi, Mobil PMK yang ditelepon bibi tidak dapat menemukan lokasi rumah. Untungnya sebelum tiba aku mendatangi kantor PMK dan meminta mobil-mobil itu mengikutiku.

Dan lagi, tidak ada razia tadi.

Syukurlah.

Agin malam meniup tubuhku. Sengaja kubiarkan pintu mobil terbuka karena tidak ingin kepanasan, bukan kedinginan seperti ini.

Aku menghembuskan nafas panjang. Andai saja tadi aku tidak berangkat, mungkin saja bisa kucegah rumah berahir begini.

Kuulas senyum tipis walau terasa amat susah. Aku dapat menyelamatkan rumah atau aku yang turut terbakar bersamanya?

Haha, kadang suatu hal yang terlihat buruk lebih baik dari apa yang seharusnya terjadi.

***
Tahun ajaran baru.

Siapa yang tidak suka itu?

Tentu bukan aku, mungkin orang disampingku yang merengut sepanjang perjalanan yang memang lebih jauh dari biasanya.

Oh ya, sejak kejadian itu kami meninggali rumah mami papi yang agak jauh dari pusat kota sambil menunggu rumah selesai di renovasi.

Mukanya datar ditambah kerut di kening. Seperti mengkhawatirkan sesuatu, tapi aku sendiri tidak yakin tebakanku benar.

"Lo taun ajaran baru apa menang togel si? Senyum ampe giginya keliatan semua!"

Dih! Sewot. Aku meliriknya tidak bersahabat. Tidak mau memulai pertengkaran, kupilih menatap cermin lagi sebagai ganti membalas ocehannya.

Mobil Dimas berkelok ke dalam sekolah. Belum banyak anak yang datang, jadi aku bisa turun dengannya di parkiran.

"Eiya," Ucap Dimas setelah kami siap turun dari mobil.

"Hmm?" Ucapku tanpa minat.

"Nanti ati-ati sayang."

"Kek emak emak dah lu ahaha!" Tawaku keluar ketika cowok melempar candaan kembali.

"Hati hati juga sayang!"

Setengah mati menahan ketawa aku menatap mata Dimas saat kata-kata itu meluncur keluar dari mulutnya.

Setelah berhasil menormalkan diri, aku berjalan menyusuri lorong menuju papan mading.

Hanya sekali dalam satu semester papan berukuran dua kali satu meter itu dikerubungi siswa. Hari itu adalah saat ini. Sekarang saja saat jam masuk masih beberapa menit lagi, benda itu sudah ditengah kerumunan.

Buang buang waktu. Menerobos kerumunan ataupun menunggu hingga benda itu sepi pengunjung sama saja. Jadi kuputuskan berdiri di koridor yang berjarak dua meter dari sana.

Menanti siswa iseng yang sekelas denganku meneriakkan namaku sebagai siswa sekelasnya.

Dari jauh, Dimas tersenyum mengejek. Kujulurkan lidah padanya, aku tidak mau kalah.

Semakin lama, kerumunan semakin lebar. Makin tipis kemungkinan aku tau kelasku tanpa masuk dalam kerumunan itu sendiri.

Hingga harapan yang paling tidak mungkin diharap, yang tidak terpikirkan, yang seperti memakai jas hujan dipinggir pantai.

Dimas menatapku malas, tangannya mengodeku agar mendatanginya, lalu di sana dia mengatakan bahwa kami sekelas.

***

Karena satu hal menyebalkan yang tak dapat dielak--tidak mau melihat sendiri pembagian kelas yang nerarti menerobos kerumunan yang sama anarkisnya dengan antrian sembako gratis--aku terpaksa duduk sendirian.

Dimas yang tadi bersamaku melesat seperti mahluk halus di belokan koridor kelas, aku tak menampiknya.

Bangku paling depan kuambil tanpa minat. Dan sepuluh menit sebelum bel kuhabiskan dengan terlelap daripada berkenalan dengan siswa lain seperti niat awalku.

***
Keras, aku didorong di wajah di depan pintu cafe klasik yang mau kudatangi. Mau marah, batal, harusnya aku berterimakasih pada orang yang menghancurkan mimpiku karena sudah membangunkan ketika wali kelas datang.

Terbukanya mataku disambut teriakan ricuh setengah cempreng murid perempuan. Kukira apa, ternyata walikelasku datang dengan wajah baru bak personil boy band.

Singkat cerita, dia murid baru. Pindahan dari sekolah internasional di singapore. Tak mau memamerkan seragam sekolah asalnya, memilih menggunakan kemeja kasual dengan celana warna khaki.

"Altaf, kamu bisa duduk di bangku yang kosong."

Dia duduk disampingku. Aku diam. Dia menanyakan namaku. Aku menatap lurus kebelakangnya. Hingga cewek-cewek labil--maksudku siswi kelasku--menggertakku karena melamun.

"Eh sorry, apaan?"

Dia menyeringgai menahan tawa. "Gue boleh tau nama lo?"

"Michelle."

"Njir..." ketika berucap demikian, matanya melebar sedikit lalu terkekeh.

"Kenapa?" Aku tak bisa tak penasaran

"Kek nama mantan gue."

"Watdefak." Lalu aku ikut terkekeh melihatnya tertawa hingga matanya tampak seperti garis melengkung.

Seperti hari pertama sekolah di semua tempat di dunia, tiap murid diminta memperkenalkan diri.

Itu hal biasa, walau tak semudah mendapat perhatian di kelas ku yang dulu, nyaman disini. Walau hanya sedikit muka yang ku kenal, tapi mereka mengenalku. Dan seorang yang sepertinya mau mengenalku seperti teman-temanku, Altaf.

Cowok bertubuh atletis nyaris sempurna itu mengikutiku seharian. Seharian pula aku mendapat pandangan menusuk yang kemudian berubah menjadi kagum dari cewek seisi sekolah.

"Altaf Barmasta! Altaf Barmasta!" Teriakan itu disambut Altaf dengan senyum karismatik. Membuat siapapun yang melihatnya meleleh.

"Ko pada tau nama lo?" Tanyaku. Kuhentikan langkahku di koridor, Altaf ikut berhenti.

Dia hanya menaikkan bahu, gesture-nya memintaku berjalan kembali.

Ada kursi taman paling favorit di ujung koridor yang mengarah ke lapangan bola. Sebuah pohon mangga yang tidak tau kenapa tak pernah berbuah menjadi payungnya.

Kami duduk disana sekedar mengobrol. Di ahir, dia mengajakku selfie lalu kutantang dia untuk menguploadnya di sosial medianya.

Dia menaikkan alis mengejek.

"Kalo gue upload lo berani bayar berapa?"

"Ogah ih! mana ada upload foto terus di tag aja bayar."

"Ada, ini gue."

"Ah nyebelin. Cowo apaan yang minta bayaran ke cewenya."

"Ahaha iya deh kaga, tapi lu ikut gue."

"Asal lo gaada niat jahat kan?"

Young RelationWhere stories live. Discover now