The mind Reader

16.4K 811 2
                                    

Aku diam saja saat Dimas membawaku di punggungnya. Tubuhku seperti tersihir. Padahal biasanya aku selalu menjerit ketika dia akan menyentuhku. Masih akan.

Kini, bayangkan saja tubuhku menempel ke tubuhya. Dekat sekali! Aku saja tak pernah terpikir akan sedekat ini dengan musuhku sendiri.

Jangankan ini, dia mau menolongku saja diluar nalar!

Dalam radius sedekat ini, tidak aneh bukan jika aku mencium bau badannya. Aromanya itu... entahlah. Ada hubungannya atau tidak, sesak nafasku menghilang secara tiba-tiba. Menyisakan suara nafas yang sayangnya masih menghawatirkan. Tapi aku diam.

Dia menurunkanku di ranjang UKS setelah sebelumnya kesulitan membuka pintu. Dimas lu berjalan kearah lemari dan kembali dengan alat bantu nafas di tangannya.

Dipasangkannya alat itu padaku. Dan suara nafas menyebalkan itu tak terdengar lagi.

Lega sekali rasanya. Ini memang bukan inhaler, tapi masih bisa membantu. Ranjang UKS yang kududuki melesak. Dia menduduki sisi bawah kakiku. Aku memandangnya sekilas.

"Ternyata bukan hoax ya lo asma?" dia bertanya tapi pandangannya lurus kedepan.

Aku diam. Bukannya tidak mau menjawap, tapi bukannya diam artinya mengiyakan?

Semenit.....

Dua menit....

UKS kembali sepi. Tanpa deru nafasku yang tadi mendominasi. Anehnya, aku tak merasa canggung sama sekali. Diam beberapa menit ini malah terasa nyaman untukku.

Semenit kemudian Dimas melompat turun tanpa berkata lagi. Dia berjalan kearah pintu, lalu menengok kearahku.

"Gue panggilin siapa buat nungguin lo?"

"Seeva."

***

Gadis ini menatapku sendu. Tangannaya masih menggenggam tanganku sejak 10 menit yang lalu ketika dia tiba. Saat itu ekspresinya kelewat cemas. Tanpa berkata-kata, aku tau, dia tau apa yang terjadi. Yap, dia selalu begitu.

Dia rela bolos. Bukan, aku dijadikannya alasan untuk bolos. Aduh, temanku ini! yasudah lah, guru-guru juga suda hafal muka kami kalau-kalau ada siswa yang melaporkan kami.

"Duh, lo pulang ya? Tu guru gatau apa lo punya asma. Pulang ya? Gue anterin." mintanya. Terlihat senyum kecil disana.

Aku menggeleng lemah sambil memasang senyum tipis. "Dasar lo!"

"Serius Michelle. Pulang ya!" Pintanya. Tapi yang ini terlihat lebih serius. Aku masih tak percaya.

"Gue emang lemas. Tapi gue gak perlu pulang juga." jelasku.

Tiba tiba bayangan saat Dimas menggendongku tadi terputar di otakku. Memancing senyum tipis di bibirku. Bukan senyum tipis yang tadi, bedanya ini senyum terhibur. Lalu aku tersadar, untuk apa aku memikirkan cowok nggak jelas macam Dimas?

"Entar, lo mikirin apa sih? Jangan-jangan lo mikirin Dimas ya?" Tanya Seeva tepat sasaran, aku membulatkan mata tak percaya.

Aku menahan senyum lagi. Tak ingin membahas jauh-jauh Dimas. Karena, sedikit-banyak, itu membuat aku mengingat kehilangan terbesarku, freedom. Dan kutukan paling buruk yang sayangnya jatuh pada kami, our marriage.

"Enggak. Ngapain sih, bahasin tu cowok? Kurang kerjaan banget!" elakku. Raut mukaku segera berubah menjadi kesal. Untungnya aku pintar mengendalikan raut muka!

Kedua tangan Seeva tiba-tiba menggenggam tanganku lebih erat. Matanya juga menatapku sendu. Lebih dari yang sebelumnya. Aku segera dibuat bingung atas apa yang dia lakukan setelahnya.

"You're strongger than i know..." ucapnya lirih.

Aku terpaku. Bagaimana...bagaimana dia tau? Aku bahkan menghindari--selalu menghindari bahasan tentang Dimas.

"What do you mean?" Bohongku. Walau aku tau itu tidak akan mempan. Aku bisa membohongi Tasya dan Lea, tapi selalu gagal pada Seeva.

"Tell me..," ucapnya. Setetes air mata menjebol pertahanannya. Memicuku ikut menangis.

Aku menggeleng. Ya kali aku harus cerita sama Seeva. Hello? Masalahku bukannya masalah pacar atau apalah. Ini masalah pernikahan. Gue disuruh punya anak! Dan ini terlalu serem buat dibagi.

Cerita sama Seeva cuma bagian dari mimpi buruk yang harus ku hindari!

"Apa perlu gue yang cerita segimana setressnya lo?" Ujarnya kemudian. Aku makin bingung. Dia ngomong apa sih?

Seeva menarik nafas. "Lo stress ama Dimas," dia berhenti, menatapku sesaat. "Gegara lo berdua disuru punya ana--"

Tanganku dari genggamannya berpindah ke mulutnya. Ku bungkam Seeva saat itu juga. Apa yang dia katakan? Bagaimana? Bagaimana dia tau? Aku tak taham untuk tidak bertanya!

"How?"

"mind reading."

"What?!" Nafasku tertahan. Aku hampir saja menjerit jika tidak sadar dimana aku berada. jadi selama ini karena itu..

"Now, dont you want to tell me?"

Tepat setelah kata itu keluar dari mulutnya, tangisanku pecah. Segera aku menghambur ke pelukannya dan bercerita atas masalahku.

Pernikahan ini hanya keluargaku dan keluarga Ddimas yang tau. Tapi dikondisi seperti ini, biarlah, lagipula tanpa aku cerita Seeva juga tau. Jika dia akan memarahiku, itu urusan nanti. Kini, persetan dengan Dimas.

Young RelationWhere stories live. Discover now