Sesuatu di jam makan siang

15K 725 0
                                    

Happy reading!

Aku tak tau kenapa aku sebahagia ini masuk sekolah kembali. Bangun, mengerjakan aktifitas pagiku lalu mengejar taksi menuju sekolah.

Aku termangu didepan pintu kelas 1.3, kutarik nafas, lalu kuhembuskan. Aku tidak tau kenapa, tapi kurasa aku butuh itu.

"Mor--"

"MICHELLE!" Aku melotot, tiga gadis itu menubrukku tepat didepan pintu.

Pelukan kami terlepas sehingga mereka dapat kutatap satu persatu. Seeva yang khawatir, Tasya yang matanya meneteskan airmata dan Lea yang tatapannya tak dapat kuartikan.

"Lo jahat michelle.." Tasya menatapku kesal, bibirnya naik sebelah lalu tersenyum khawatir "sakit malah gamau dijenguk"

"Yee..kalo gue bolehin jenguk, palingan juga gak pada belajar buat UKK" ucapku tak kalah kesal

"Lo mah, baru juga masuk, belajar doang bawaannya!" Dengus Lea.

Seeva tersenyum padaku. Tidak tidak, senyum indah yang terlihat sangat damai. "..maybe it's too late, but we always wishes for your safety, pretty girl"

Senyumku merekah semakin lebar. Dia baik sekali, dia seperti malaikat. Aku berkawan dengan orang berjiwa malaikat.

Gantian Lea yang kutatap. Setelah kedua temanku, mungkin dia punya sesuatu yang ingin diucapkan mungkin?

Lea mengulum senyum, lebar sekali tapi indah. "Gue gak pandai berucap kek dua princess disamping gue" senyumnya berubah menjadi seringai "tapi gue bisa bikin lo gila lagi setelah ini"

Kami terbahak masih sambil berrangkulan.

Kami membicarakan random thing sambil berjalan menuju bangku kami dibelakang.

Lalu tatapanku bertemu dengan dia.

Dimas duduk diatas meja dengan teman-temannya. Matanya menatapku di manik mataku, hingga aku salah tingkah karena tatapan yang dia berikan adalah tatapan cemas.

"Gue gak papa" kuucapkan tanpa suara setelahnya.

Tadi pagi memang aku belum izin dia jika akan bersekolah. Kemarin dia memberi izin, dengan syarat, jika tubuhku fit. Hanya itu.

"Entar pulang bareng gue" Dimas menatapku lama, setelah mengucap yang tadi sama tidak bersuaranya.

Tatapannya beralih dariku.

Atau tadi memang bukan padaku? Entahlah

Tapi pada orang di sampingku, yang kini dia pandangi

Dimas menggeleng padanya dengan wajah yang sudah mengeras, berbeda sekali saat berbicara denganku. Tadi dia malah tertawa kecil.

Sesuatu dibawah sana terasa sakit saat itu juga.

"Laperrr" Tasya mengamit lenganku ke arah kantin.

Aku ikut saja, toh kami harus cepat cepat datang ke kantin jika tidak ingin tidak dapat tempat.

"Eh sabar napa!" Lea datang, nafasnya memburu. Segera mencari pegangan di lenganku, tak ditinggalkan.

Sedangkan Seeva sudah berjalan sejajar dengan kami walau tidak melakukan kontak fisik sekalipun.

"Yah lo juga kan yang lemot!" Tasya memberi tatapan sebelnya pada Lea.

"Cih! Enak aja. Gini- gini nilai gue gak pernah dibawah enam ya!" Lea terpancing.

Muka Tasya mengeruh. Tangannya semakin erat mengamit lenganku.

Aku tertawa melihat perubahan ekspresi wajahnya. Seeva yang segera bergabung langsung menyalahkan Lea atas ini.

"Lo sih Le! Tau anak kecil kita sensitif banget juga!" Tegas Seeva, Lea menatapnya dalam.

"Gue bukan anak kecil.." sungut Tasya. Alisnya bertaut seolah menegaskan kekesalannya.

Biasanya aku yang melerai jika mereka sudah begini. Tapi sekarang, tawaku tak tertahan.

"Lo ini! Kapan hari minta dipanggil sweet cup cake tapi gak mau dibilang anak kecil. Gak beda tau Sya!" Lea

"Tau nih anak. Manja banget tau gak! Mana labil pula!" Seeva mendengus lalu berjalan dengan Lea mendahului Tasya.

Tawaku ahirnya berhenti walau senyum yang tersisah kelewat lebar. Seeva dan Lea benar-benar meninggalkan Tasya!

"Sya!" Panggilku lumayan keras.

Orang yang kumaksud berbalik badan, dia sendirian dari kerumunan orang. Kasiannya. Segera kuhampiri dia dan tangannya menyusup di lenganku tanpa kusuruh.

"Bareng gue aja! Dasar" keluh ku.

Seeva dan Lea masih berjalan mesrah dengan berangkulan lumayan jauh didepan kami. Aku mendengus. Mereka kebiasaan gak sadar kondisi.

"Seeva!" Folume suaraku naik beberapa tingkat. Sanggup membuat Seeva menoleh.

Tak hanya Seeva, beberapa orang juga menoleh. Tapi aku tak peduli.

Mereka berhenti, sehingga kami dapat leluasa menghampiri mereka.

"Lea, minta maaf" pintahku. Folume biasa, nada tidak terlalu tegas tapi sanggup membuat Lea kelabakan.

Semakin banyak orang yang menyaksikan kami hingga membentuk kerumunan. Tapi sekali lagi, aku tak peduli.

"Michelle kan yang salah..." dia mencari alasan

"Lo jugak, Le sayang. Tau kan Tasya orangnya gitu juga" ucapku tidak setegas yang sebelumnya.

Lea menatapku lama, kemudia mendekan pada Tasya dan memeluknya.

Entah mereka membicarakan apa dalam pelukan mereka, yang jelas setelah berpelukan mereka berdua tertawa.

Gantian, kutatap Seeva lembut. Dia peka sekali, tanpa bicara pun dia paham.

"Tasya, kakak minta maaf" gantian Seeva yang memeluk Tasya.

Kakak adalah panggilan kami bertiga pada Seeva di suatu kondisi. Panggilan itu begitu mencerminkan sosoknya. Begitu... ah--you know lah.

"Yeee!" Sorak sorai kerumunan membuat senyum di bibir kami melebar.

Kami melanjutkan perjalanan menuju kantin setelah kerumunan tadi bubar. Tanpa kami minta dan hanya dengan senyum cantik Lea yang limited edition.

Kenapa kubilang begitu? Karena gadis itu hanya tersenyum dan berlaku baik jika dengan kami. Jika tidak, beuhh!

Aku menghampiri kios batagor dan segera memesan. Kulirik Tasya yang sedang berdebat lalu Seeva yang kepayahan mengantri di kios jus. Jika mereka sibuk, akumakan sama siapa? jomblonya keliatan dong !

Sementara batagorku diracik, mataku berkeliaran mencari Lea. Ayolah, masa aku harus menunggu Tasya dan Seeva yang masih lama buat makan?

"Michelle"

Darah mengaliri tubuhku lebih cepat mendengar Suara ngebass tadi melafatkan namaku. Aku mencelos, jadi tanpa menoleh, aku segera berlalu dengan sepiring batagor ditangan.

Sayangnya, dia mengikutiku. Bahkan ketika ahirnya aku meninggalkan kantin dan memilih memakan makananku di koridor kelas sendirian. Sebelum aku duduk, dia mencekal tanganku.

Tangan yang membawa batagor dalam piring.

Menariknya, membuat isinya melayang dalam sekejap.

Dan makan siangku itu mendarat cantik di bajunya disaat dia mencekal kedua tanganku. Uhh, padahal perutku kosong dari tadi.

Ketika aku bertatapan dengan mata cokelat kehitaman yang amat kuhindari, rasa sakit yang mencengkeram perutku hilang.

Kami hanya bertatapan.

Aku hanya menatapnya, walau didalam sana luka yang kusembunyikan perlahan meradang.

Dan satu kata keluar dari birirnya, disusul air yang lolos dari kelopak mataku.

"Sorry"

Young RelationWhere stories live. Discover now