01. Cinta Tiang Bendera

319 16 0
                                    

Oktober, 2008

"Kanala?"

Barangkali, cinta itu berbentuk kejutan. Sedalam dan sejauh apapun kamu menyimpan dan menyembunyikannya, suatu waktu dia akan menemukanmu dengan cara paling tidak terduga.

Di bawah tiang bendera, misalnya.

"Kanala!"

Pada panggilan ke-dua, gadis berseragam olahraga sekolah itu mendongak, mengerjap lambat, menatap sosok jangkung yang berdiri menjulang di depannya—menutupinya dari cahaya matahari.

"Kamu di sini?" Cowok itu bertanya. Iris cokelatnya yang menyala menyoroti Kanala penuh semangat—seperti bertemu teman lama.

Sialnya, Kanala kehilangan suaranya untuk berkata-kata. Seluruh kekuatan dalam dirinya berlomba-lomba menuju satu arah; jantung—berdentum-dentum nyaring di dalam sana.

Bolehkah cinta mendatanginya dengan cara seperti ini?

Mengalihkan pandangannya dari Kanala, cowok itu bertanya nyaring. "Gem, ini anak-anak kenapa? Dihukum?"

Cukup sudah. Kanala pasrah.

Gadis itu meneguk salivanya yang seolah tersangkut di tenggorokan. Punggungnya terasa ngilu. Bukan karena sesuatu yang besar menghantamnya dengan keras, melainkan karena banyak mata yang kini menghunus punggung dan kepalanya.

Gema, senior Kanala yang menjadi pelaku penyeretan Kanala dan beberapa junior lain ke lapangan, lalu menjemurnya di siang terik begini, menghampiri.

"Iya. Dari tadi salah mulu dibilangin. Kesel gue. Gaada yang fokus. Emang cuma lo pada apa yang laper?" sergah cowok berkacamata itu.

Nyali Kanala semakin menciut. Keinginannya untuk melarikan diri, dengan menggadaikan hubungan pertemanan baru dengan Deria, semakin besar.

"Yaelah, Gem. Kayak lo gak kayak gitu aja dulu," sahut cowok jangkung di depan Kanala. "Lo harusnya berterima kasih karena mereka mau gabung ke sini, jadi penerus elo. Ikut berpartisipasi dalam acara-acara sekolah."

Gema mendengus muak. "Sekalian aja lo suruh mereka neduh. Gila ya, lo! Waktunya udah tinggal dua minggu."

Cowok jangkung di depan Kanala, tersenyum kecil. Cowok itu memindai delapan wajah nelangsa di depannya sebelum berhenti tepat di Kanala. Senyumnya mengembang geli.

"Komando saya ambil alih. Bubar barisan, jalan!" serunya puas.

Kanala, yang berjongkok paling depan, belum sempat mencerna banyak, bahkan menghela nafas lega saat tiba-tiba tubuhnya ditarik menjauh dari barisan.

"BEN! BENUA! NGAPA LO BUBARIN, ASTAGAA!"

***

Berkat saran Gentari, sahabat Kanala sejak belum berseragam merah putih, gadis itu memulai masa SMA-nya dengan cara mencari teman baru. Deria Silvana, namanya. Gadis pertama yang mengulurkan tangan mengajak berkenalan, lalu menyeretnya ke kantin. Sudah, begitu saja, mereka membentuk semacam aliansi.

Mulanya, Kanala pikir Deria adalah penolong untuk dirinya yang kaku dan pasif. Karena itu Kanala, yang biasanya amat teliti dan perencana, tidak banyak berpikir ketika Deria mengajaknya untuk masuk ke dalam ekstrakurikuler yang sama; pramuka.

Sialnya, laut yang tenang menyimpan badai paling besar. Benua Kalundra, orang yang paling ingin Kanala hindari, berada di tempat persembunyiannya. Kanala memasuki kandang yang salah.

Kanala mencebik. "Aku pengen kabur," gumamnya usai tali sepatunya terpasang dengan baik.

"Ke mana?" sahut Deria yang berdiri di sebelahnya.

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang