32. Adiyasa dan Jogja

50 9 0
                                    

Dering ponsel di atas nakas membangunkan Kanala. Dengan mata setengah terpejam, gadis itu meraba-raba nakas mencari ponsel.

"Aku gak jogging dulu, Ri. Masih ngantuk banget. Tadi malam aku begadang ngerjain laporan," ujarnya dengan suara berat. Hanya ada satu orang yang suka mengusiknya di Minggu pagi seperti ini.

Gentari, tentu.

"La, ini Mama."

Sontak, Kanala melebarkan mata. Mengubah posisi telungkupnya menjadi duduk, gadis itu menyahut, "kenapa, Ma? Tumben nelpon pagi-pagi?"

"Kamu tuh, ya, La. Gara-gara ngerjain tugas sampe bangun kesiangan. Gak sholat subuh ya, kamu?" tuding Dayita di seberang. Setelah Kanala tinggal di Jogja, wanita pendiam itu memang jadi lebih cerewet dari biasanya. Dayita jadi lebih selalu mengobrol dengannya bahkan hanya untuk hal-hal sepele.

"Nala lagi gak sholat, Ma," sahut Kanala. Hal itu juga yang membuatnya berani mengorupsi jam tidurnya tadi malam. "Mama belum jawab Nala. Kenapa Mama nelpon pagi-pagi gini?"

"Kamu gak pulang?" tanya Dayita.

Biasanya memang, Kanala punya jadwal rutin untuk pulang ke Jakarta; akhir pekan, dua kali dalam sebulan. Akhir pekan ini harusnya jadi salah satunya.

"Minggu depan deh, Ma. Nala capek banget. Abis dari Kalimantan, Nala masih ada banyak kegiatan di kampus. Kemaren aja Nala masih ada rapat Kosera, Ma," sahut Kanala.

"Jangan terlalu sibuk sampai lupa diri," tegur Dayita di seberang. "Mama gak keberatan sih, kalau kamu gak pulang. Capek juga tiap dua minggu sekali bolak-balik Jogja-Jakarta. Papa kamu tuh, yang nyariin."

Kanala diam sebentar. Sudut bibirnya terangkat kecil kala mendengar desas-desus di telepon. Pandu memang jarang meneleponnya secara pribadi. Bisa dihitung jari bahkan. Namun, Kanala tahu, setiap kali Dayita meneleponnya, diam-diam Pandu duduk di sebelah istrinya untuk mendengarkan.

Lucu sekali.

"Papamu mau ngasi hadiah. Kan kamu ulang tahun kemaren. Papa jadi ngerasa gak enak karena kamu gak di rum--iya, iya."

Kanala menahan senyum saat suara Dayita memelan di ujungnya. "Minggu depan kan kita bisa bikin acara di rumah, Ma. Kemaren Mama juga udah ngucapin selamat ulang tahun ke Nala. Toh, umur 20 Nala masih ada sampai tahun depan," kata Kanala menengahi.

"Ya, jelas beda dong kalau mau dirayain dua bulan lagi. Gak ulang tahun lagi namanya. Itu kata Papa kamu, bukan Mama."

"Iya deh, iya. Minggu depan Nala pulang. Mama masak yang banyak, ya. Nala udah kangen banget sama masakan Mama."

Di tengah obrolan mereka yang mengalir ke mana-mana, Dayita tiba-tiba menyeletuk, "ada yang mau Mama omongin sama kamu."

Di sanalah, Kanala mendadak cemas.

"Papa mau dipindahin tugas ke Jogja."

Rasa cemas Kanala berangsur-angsur lenyap digantikan laju detak jantungnya yang resah.

Dayita melanjutkan lagi. "Pensiun Papamu masih lama, tapi kinerjanya bagus. Karena itu Papa dipindahin ke Jogja. Sebenernya kabar ini udah ada dari sebulan yang lalu, tapi Papamu gak berani ngomong."

Kanala bergeming. Apa kabar dengan Jakarta yang dia cintai sepenuh hati itu?

"Tapi karena atasannya mendesak jawaban Papa terus, makanya kita harus bicarain ini, La. Papa ditawarin rumah dinas di Jogja. Tapi... Papamu pengen sekalian pindah ke Jogja, La. Toh, kamu di sana, Eyang Uti juga gak ada temennya setelah Eyang Kung meninggal. Jakarta juga makin sumpek. Papamu pengen cari lingkungan baru. Jogja cocok kayaknya. Biar setelah Papa pensiun nanti, Papa gak perlu balik ke Jakarta. Kita menetap di Jogja aja."

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now