38. Bagian Tersedih dalam Hidup

47 10 0
                                    

Minggu lalu, di penghujung hari itu sebelum mereka berpamitan, Benua berjanji akan menghubunginya lagi. Ada banyak yang perlu pria itu ceritakan padanya, katanya.

Nyatanya, seminggu berlalu Kanala Btari Sora tidak mendapat pesan apa-apa. Seminggu ini pula Kanala jadi lebih rajin memelototi layar ponselnya. Harap-harap cemas ada nomor baru yang menyambanginya. Kanala jadi resah sendiri.

Apakah pertemuan mereka kembali tidak berefek apa-apa untuk Benua? Apakah pertemuan itu sebatas bertemu teman lama? Apakah hanya Kanala yang merasa cemas menunggu seminggu ini?

Sial sekali. Hari itu dia tidak meminta nomor ponsel Benua dan percaya begitu saja ketika pria itu berkata akan menghubunginya dalam waktu dekat.

Kanala berdecak tipis. Membuang ponselnya ke sudut tempat tidur sebelum menelungkupkan bantal ke wajah. Akhir minggunya benar-benar terganggu. Lima detik setelahnya, Kanala mengenyahkan bantal di wajahnya.

"Dia pasti benar-benar sibuk, Nala. Pasti. Gak mungkin dia tiba-tiba lupa. Gak mungkin juga dia menganggap pertemuan itu cuma selingan biasa. Toh, dia sendiri yang datang. Dia yang datang, Nala," sugestinya pada diri sendiri.

Namun, itu tetap tak membantu banyak.

Kanala menendang-nendang udara berharap hal itu mampu mengenyahkan segala pikiran-pikiran buruknya. Aksinya itu baru berhenti saat pintu kamarnya diketuk dan suara Pandu terdengar.

"Kamu abis ngapain?" tanya pria itu heran setelah Kanala mempersilakannya masuk.

"Mau beres-beres kamar, Pa," jawab Kanala asal. Gadis itu segera beringsut menuruni tempat tidur.

"Mama sama Papa mau ke rumah Eyang Uti. Mau ikut gak?"

Kanala berpikir sejenak. Sejak menempati rumah barunya di Jogja, baru dua kali Kanala mendatangi rumah Eyang Uti. Padahal jaraknya tidak begitu jauh. Namun, Kanala menggeleng lemas akhirnya.

"Nggak dulu deh, Pa. Nala titip salam aja buat Eyang Uti. Nanti Nala mampir," tolaknya.

Benua sialan itu masih menjadi alasannya. Bahkan sekalipun pria itu tidak memberinya kabar apapun, Kanala masih berharap ponselnya menyala, berikut pesan yang mengabarkan bahwa mereka perlu bertemu.

"Nanti Papa sampaikan. Kamu mau ke mana hari ini?" tanya Pandu lagi.

Entahlah.

Kanala hanya berharap ponselnya segera berdering. Keinginan yang tak terwujud bahkan setelah Pandu dan Dayita pergi meninggalkan rumah.

***

"Loh, La? Gak jadi pergi bareng Tari?"

Kanala tersenyum kecut. Menyengir aneh. Kakinya terayun lambat menghampiri Pandu, Dayita, Eyang Uti, dan Bude Laras, sepupu jauh Pandu yang dulu ditinggal mati oleh orang tuanya. Namun, karena Eyang Uti merawatnya sejak kecil, Pandu dan Prama, papa Janu sudah menganggapnya seperti adik sendiri.

"Tari tiba-tiba ada acara lain, Ma. Nala nyusul ke sini, deh," alibi Kanala. Gadis itu sontak menyalami empat orang lintas usia dengannya sebelum mendudukkan diri dekat Eyang Uti.

"Eyang bisa lupa loh sama wajah cantik ini," tutur wanita tua itu menyapu pipi Kanala. "Padahal udah tinggal deketan, tapi kamu malah jarang mampir."

Kanala menggenggam tangan keriput Eyang Uti. "Kanala udah masuk semester tua, Eyang. Jadi lebih sibuk dari biasanya. Maaf, ya?" pintanya memelas.

Eyang Uti mangut-mangut. "Eyang denger kamu baru nulis buku, ya? Kok gak dikasih ke Eyang? Eyang kan juga mau baca."

"Duh, itu bukan bacaan Eyang lagi."

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now