10. Upaya Memulihkan Diri

57 11 0
                                    

Desember, 2008

"Mata lo lama-lama bisa keluar kalau melototin tuh soal mulu, La," celetuk Janu.

Sejak kedatangannya satu jam lalu, cowok itu diabaikan. Kanala lebih sibuk menekuri soal-soal ekonomi di depan matanya.

Tentu Janu jadi gerah sendiri melihatnya.

"Woi, La!" Janu berseru kencang. Bantal sofa bermotif bunga mendarat ke kepala Kanala hingga gadis itu teleng sebentar.

"Berasa loh, Jan. Serius," ujar Kanala sembari mengusap-usap kepala.

Janu berdecak-decak. "Gue berasa eceng gondok tau gak? Sediain minum, kek. Apa kek. Perasaan gue mulu yang bawain makanan tiap kali gue mampir. Om sama Tante di mana, sih? Gak ngeliat apa keponakannya yang paling cakep dianggurin sama anaknya sendiri begini? Tega banget," omel cowok itu tak sudah-sudah.

Dibanding Dayita, Janu jelas memiliki kemampuan mengomel lebih baik, lebih cepat, lebih bervolume, lebih super, dan lebih segalanya. Dayita yang agak pendiam jelas bukan tandingannya.

"Apa sih, Jan? Katanya kamu mau cerita, ya, cerita aja," sahut Kanala meletakkan pensilnya.

"Udahlah. Udah gak berselera gue. Gue juga udah lupa mau cerita apaan," kesal Janu. Cowok berambut lurus sedikit gondrong itu beringsut menuruni sofa dan duduk di bawah, di hadapan Kanala.

"Jangan ngambek dong, Jan. Aku ngerasa bersalah jadinya," sesal Kanala setelah mendapati tak ada perubahan raut menyenangkan di wajah Janu.

Anehnya, sepupunya itu malah tertawa-tawa. "Elo sih, terobsesi banget sama John Adam Smith. Duh, gue sampe hapal tuh sama dua bapak-bapak. Adam Smith dan Karl Marx, kan? Kayaknya akhir-akhir ini lo lebih sering nge-date bareng mereka daripada ngobrol sama gue."

"Aku mau persiapan buat seleksi olimpiade tahun depan. Kalau aku lolos mewakili sekolah, aku bisa lanjut olimpiade nasional." Kanala menjelaskan. "Ada jus jeruk di kulkas. Kalau haus, ambil aja. Kayak biasa, anggap aja ini rumah kamu sendiri."

Janu benar-benar melakukannya. Cowok itu meninggalkan Kanala yang masih berkutat dengan pensil dan buku paket tebalnya, lalu kembali dengan dua gelas tinggi berisi jus jeruk, satu toples kacang almond, sepiring brownies, dan aneka permen yang entah didapatnya dari mana.

"Sekali-kali lo plesiran ke dapur, biar lo tahu kalau nyokap lo punya banyak makanan," tukas Janu meletakkan makanan-makanan yang dibawanya.

Kanala hanya menatapnya heran. Menggaruk-garuk sebelah pipinya dengan pangkal pensil. "Aku gak tahu kamu nemuin itu semua di mana," katanya.

"Nih, jus di kulkas. Brownies masih hangat di atas meja. Permen sama kacang almond di rak makanan. Sampein makasih ntar ke Tante Yita."

"Iya, iya," sahut Kanala.

Barangkali, jika mereka beradu soal siapa yang lebih mengenal seluk-beluk rumah Kanala, Janulah yang akan menang.

Sembari mencomot kacang dari toples, Janu bertanya lagi. "Lo segitu terobsesinya buat olimpiade? Ngapain, sih? Kayak gak ada hal lain yang bisa lo lakuin aja."

Benar. Hanya saja, Kanala tidak tahu hal lain apa yang harus dia lakukan.

Namun, jawaban yang keluar dari mulutnya setelah itu adalah jawaban manis yang diiringi senyum kecil. "Aku seneng-seneng aja, kok."

"Gue gak nanya lo seneng apa nggak, Lala sayang. Ada banyak hal yang bisa lo lakuin di dunia ini, kenapa harus cuma belajar? Lo bisa ikut karate—"

"Aku takut patah."

"Ck! Fotografi? Main band? Sirkus?"

Kanala tergelak. Gadis itu memukul bahu Janu, mengguncang kesadarannya. "Apa sih, Jan? Mana ada sirkus di sekolahku. Lagian Papa bisa ngamuk kalau tahu aku ikut-ikut begituan."

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now