34. Merindukan Jakarta

43 9 0
                                    

Gelagat rindu hanya memiliki dua sifat; kalau tidak mencari ya menunggu.

Kanala menyadari itu ketika memasuki bulan kedua menempati rumah barunya di Jogja. Padahal, Dayita ada di sana. Menyiapkan sarapan dan cokelat hangat sebelum tidur. Pandu juga. Meski hanya bertukar obrolan ringan di meja makan, setidaknya Kanala berada di inti jantung rumahnya—keluarga.

Seharusnya, tidak ada lagi alasan untuk merindukan Jakarta.

Namun kenyataannya, hatinya membawanya ke sini lagi--Rumah Kasih Putih. Anak-anak baru yang tidak Kanala kenali lagi berbondong-bondong menyambutnya. Pun dengan Bu Rahayu yang lantas memberikan pelukan hangatnya. Sudah hampir setengah tahun Kanala tidak datang berkunjung. Seperti biasa, Kanala datang dengan aneka buku bacaan dan makanan yang dia bagi kepada anak-anak.

"Udah lama kamu gak ke sini, La. Ibu kangen banget, loh. Bulan lalu Sahila baru dari sini. Dia nanya apa Kak Nalanya masih sering dateng atau nggak," cerita Bu Rahayu penuh semangat.

Kanala tersenyum singkat. "Gimana kabar Sahila sekarang, Bu?" tanyanya.

"Baik. Udah masuk sekolah dia mah sejak tinggal sama Ibunya lagi. Untungnya Sahila tuh bukan anak yang gengsian. Dia gak masalah walau jadi yang tertua dari temen-temennya."

"Syukur deh, Bu," gumam Kanala. Pandangannya menyapu lingkungan Rumah Kasih Putih yang lebih terawat. Meski hanya terdiri dari bangunan dengan satu ruang belajar dan satu kamar mandi, tempat itu jelas lebih baik dari kali pertama Kanala mendatanginya.

"Rumah Kasih Putih sekarang udah gak seramai dulu, La," cetus Bu Rahayu.

"Anak-anak udah banyak yang sekolah, Bu." Kanala mengaamiini pernyataan wanita itu.

"Ibu bersyukur, sih. Akhirnya mereka dapat kesempatan buat belajar. Walau masih ada beberapa yang terkendala biaya atau izin orang tua, seenggaknya mereka yang tersisa di sini masih punya semangat, La. Mereka mau belajar meski sekadar tahu baca dan berhitung."

"Tenaga pendidik yang baru namanya siapa, Bu? Nala belum kenalan tadi."

"Chika. Dia awalnya mahasiswa, baru masuk banget, tapi berhenti setelah ayahnya meninggal karena gak ada biaya. Sekarang dia tinggal sama ibu dan adik laki-lakinya. Ibu seneng banget pas dia datang ke sini dan mau jadi sukarelawan buat ngajar anak-anak yang gak bisa sekolah."

"Dia punya kerjaan lain, Bu?"

"Ada. Dari malem ke pagi dia jaga toko milik tetangga atau apalah gitu katanya. Siangnya baru ke sini ngajar anak-anak. Chika tuh seneng sama belajar, La. Dia cukup stres katanya gara-gara berhenti kuliah. Buat ngobatin itu, makanya dia ngajar anak-anak."

Kanala melempar pandangan ke bawah pohon di mana Chika mengajak anak-anak bercerita. Gadis itu tampak sangat bersemangat. "Padahal kan, Bu, uang gajinya bisa dia buat untuk lanjut kuliah." Kalimat itu lolos begitu saja dari bibir Kanala.

Bu Rahayu mencetus gelak singkat. "Gak semua orang berpikiran seperti itu, La," katanya. "Kalaupun Chika punya uang kuliah, belum tentu semuanya bakal berjalan baik-baik saja. Katanya, itu gak adil. Gak adil kalau dia berusaha hanya untuk dirinya sendiri sedangkan dia punya adik yang juga masih sekolah."

"Bekerja buat dia jadi lebih baik?" tanya Kanala ragu.

"Mungkin gak sepenuhnya. Tapi katanya, mimpinya jadi lebih jelas di sini."

"Maksudnya, Bu?"

Bu Rahayu berdiri. Wanita itu menepuk-nepuk punggung Kanala dengan senyum hangat. "Chika bilang begini ke Ibu, kita hidup di antara pilihan-pilihan. Yang tengah kita perjuangkan, belum tentu baik. Tapi yang baik, di sini, pasti akan kita perjuangkan."

Kanala menatap punggung Bu Rahayu yang perlahan menghilang di balik pintu kelas dengan nanar. Hidup itu tentang pilihan-pilihan. Sialnya, Kanala malah masih selalu ke sini-sini saja.

Berdecak, gadis itu menghampiri kotak surat Rumah Kasih Putih yang kosong. Setelah memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan bersekolah di Jogja, gadis itu memang merumahkan kembali surat-suratnya. Kanala membuang harapan bahwa Benua akan datang. Kanala berhenti berandai-andai jika di suatu tempat, Benua masih mengingatnya.

Namun, Kanala malah duduk di sana, di depan kotak surat itu lama-lama. Sebenarnya, apa yang masih dia cari di Jakarta yang telah kehilangan warnanya ini?

***

"Mas Yasa!"

Adiyasa menoleh. Pria berkacamata itu baru saja keluar dari perpustakaan universitas ketika suara yang dia kenali itu menyapa indera pendengarnya.

"Halo, Ri," sapanya.

Yasa bertemu Gentari pertama kali di UKM badminton—Yasa sebagai seniornya, tentu. Di mata Gentari, Yasa, si mahasiswa magister Penginderaan Jauh itu tidak hanya pintar dan rapi, tetapi juga sopan dan baik—tipe-tipe pria idaman mertua. Karena itulah Gentari mengenalkannya pada sahabat baiknya, Kanala Btari Sora.

"Sendiri Mas?" tanya Gentari basa-basi.

"Iya, nih. Baru balikin buku," sahutnya.

Gentari tersenyum jahil sembari menjawil lengan pria itu. "Ciee yang bentar lagi M.Sc," godanya. "Kalau sidang nanti undang ya, Mas. Traktir abis itu."

Yasa mengangkat jempolnya. "Aman," katanya.

"Abis ini mau ke mana, Mas?" Gentari bertanya lagi.

"Langsung balik sih, Ri. Ngantuk banget saya, mau tidur."

"Tumben gak nyamperin Nala, Mas. Kalau gak salah dia lagi gak ada kelas hari ini. Tapi dia pasti di kampus tuh, keluyuran kalau nggak ketemu anak-anak Kosera."

Senyum Yasa mendadak pahit. "Dia ke Jakarta, Ri."

Gentari melongo. "Hah? Jakarta?"

Pria berkacamata di depannya mengangguk. "Makasih ya, kamu udah ngenalin saya sama Nala. Dia anaknya baik. Saya seneng kenalan sama dia. Tapi kayaknya... Nala gak melihat saya seperti yang saya harapkan, Ri," ucapnya sebelum pamit meninggalkan Gentari yang masih membeku di tempat.

***

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now