14. Sebatang Cokelat

41 9 0
                                    

Satu semester ini seperti berjalan sangat lamban. Untungnya, Kanala sudah berada di akhirnya. Ujian Akhir Semester satu baru berakhir. Dan, Kanala masih tetap pergi ke sekolah untuk menunggu hari pengambilan rapor, untuk setidaknya ikut tertawa di kelas karena lelucon-lelucon Tara, Beni, Adrian, dan Naura, untuk belajar ekonomi lagi, atau sekadar untuk ada--akhir-akhir ini Askara sering mengajaknya mengobrol.

Benua? Jangan tanya. Kanala hampir tidak melihatnya selama beberapa minggu ini. Tepatnya, karena Kanala tidak pernah ke mana-mana. Gadis itu mendekam di lantai tiga, tempat yang rasanya tidak memungkinkan Benua untuk datang ke sana.

Kanala masih berlatih pramuka. Hanya saja, Benua memang tidak terlihat. Belakangan Kanala tahu bahwa anggota pramuka kelas 12 sudah banyak yang tidak aktif mengikuti latihan karena kesibukan mereka sebagai siswa kelas 12—kecuali Gema yang menganggap pramuka adalah separuh nafasnya.

Barangkali, seluruh dunia pun ikut-ikutan mendukung proses penyembuhan patah hatinya—belakangan Kanala juga tahu, memaksa diri untuk melenyapkan seseorang yang tersimpan di dalam hati juga merupakan bagian patah hati.

"La, mau ke mana?"

Langkah Kanala terhenti di ambang pintu kelas. Gadis itu mengangkat novel bersampul merahnya. "Perpus," jawabnya.

Deria menghela nafas lega. "Syukurlah. Kirain lo mau nge-date sama Adam Smith lagi," ujarnya.

Kanala tersenyum miring. Ya, walau tidak saling mengenal, Deria ikut-ikutan tertular Janu.

"Jangan lupa sore ini latihan, ya. Jangan sampe lo ketiduran di perpus. Tas lo berat. Gue males bawainnya."

Pesan Deria hanya Kanala balas dengan acungan jempol. Karena hanya tinggal menunggu pengambilan rapor, kegiatan belajar mengajar hampir ditiadakan. Karena itu Kanala sering menghabiskan dua jam terakhir jam pelajaran dengan mendekam di perpustakaan.

Seperti yang dia lakukan saat ini.

"Udah gak bisa minjam buku, ya, La. Udah mau libur," tutur Bu Wulan, penjaga perpustakaan, saat Kanala menyapanya.

Kanala tersenyum kecil. "Saya cuma mau baca buku kok, Bu," jawabnya. "Nanti saya keluar sebelum bel pulang."

Bu Wulan hanya mengangguk-angguk. Kanala meninggalkannya dan lantas menuju meja favoritnya, di depan rak ensiklopedia di sudut perpustakaan. Meja ini menjadi tempat favoritnya karena selain dekat kipas angin, tempatnya juga jarang dijangkau anak-anak Darmawangsa.

Bunyi derik kaki kursi yang beradu dengan lantai memecah keheningan perpustakaan sesaat. Kanala duduk. Baru ingin membuka novelnya saat menyadari dia tidak sendiri.

Gadis itu menoleh, termangu lama. Tepat dua meja darinya, terhalang kubikel, seseorang duduk di sana sambil menatapnya; Benua Kalundra.

"Kamu ke mana aja, Kanala?"

Sial.

***

Seolah aksi menjauhkan diri itu tidak ada. Seolah Kanala tidak pernah menyibukkan diri dengan materi dan soal-soal ekonomi sialan itu. Seolah mereka masih bertemu kemarin dan mengobrol tentang mimpi-mimpi Kanala yang selalu dianggap menarik oleh Benua.

Bertemu Benua membuat segalanya kembali terulang; balon yang diletuskan, kue ulang tahun yang dilempar ke wajah, mentega masuk penggorengan, atau busa sabun disiram air.

Kanala runtuh.

"Kamu menghilang," kata Benua usai hening yang panjang karena Kanala tidak menjawab pertanyaannya sebelumnya. "Ini aneh. Kita ada di satu sekolah, tapi aku gak pernah lihat kamu. Di mana pun. Di kantin, di lapangan, di mana-mana. Seolah-olah mataku lagi ketutupan sesuatu."

Djakarta, Pukul 11.11Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon