48. Bait Terakhir Puisi

105 10 2
                                    

Meski terdengar klise, akhirnya Kanala mengaamiini bahwa ada dua alasan mengapa seseorang berubah, kalau bukan karena hatinya yang terluka pasti karena pikirannya telah terbuka. Kanala tidak tahu pasti di nomor berapa dia berada. Atau malah keduanya.

Rasa sesak dan terpukul itu masih ada. Kenyataan bahwa pria yang dia cintai dengan segenap rasa tidak pernah melihatnya barang sekali saja pun masih sering terngiang di kepalanya. Hanya saja, Kanala tidak ingin melarikan diri apalagi berusaha untuk sembuh sesegera mungkin. Pelan-pelan setelah menutup segala akses komunikasi dengan Benua, Kanala menyusun kembali bagian-bagian dari dirinya yang tercecer akibat patah hati itu.

Akhir bulan Januari di tahun berikutnya, akhirnya Kanala menyelesaikan pendidikan strata satunya. Gelar sarjana sastra yang dulu dia impikan kini berada tepat di belakang namanya.

Gentari menyambutnya dengan senyum lebar di depan ruang sidang. Lantas memeluk Kanala dengan bangga. "Orang lain yang nggak tahu proses lo mungkin mengira lo beruntung, La. Tapi gue yang tahu gimana sakit-sakit lo sampai ada di titik ini, gue salut banget. Lo keren banget. Lo sahabat gue paling keren pokoknya!" ujarnya sungguh-sungguh.

Pun Kanala, gadis itu mengucap banyak terima kasih. Barangkali dia tidak akan bisa berdiri kokoh seperti sekarang jika tidak ada Gentari yang terus menguatkannya dan menemani setiap prosesnya.

"Aku mau traktir kamu nanti malam," kata Kanala setelah menyelesaikan rangkaian acara sidang sore itu—berlangsung selama itu karena Kanala mendapat banyak ucapan selamat dari teman-temannya di kelas maupun di organisasi.

"Gue yang pilih tempat, ya?" tawar Gentari berbinar.

Kanala mengangguk. "Nanti aku telpon kamu setelah acaraku selesai."

Gentari yang sedari tadi sibuk sebagai juru potret gratis untuk beberapa mahasiswa sastra yang juga melangsungkan sidang skripsi menoleh. "Lo ada acara apa lagi? Sama siapa?" selidiknya.

"Mama sama Papa. Mereka nggak bisa datang karena Papa juga ada acara di kantornya. Sebagai gantinya, Papa ngajak makan malam."

Melihat rona bahagia di wajah Kanala, Gentari ikut tersenyum. Sahabatnya yang pendiam, yang dulu melakukan segala hal hanya untuk mendapat pengakuan papanya, kini bisa berdiri menjungjung semua mimpinya dengan dukungan penuh kedua orang tuanya.

"Om Pandu pasti pengen ngabisin banyak waktu bareng elo sebelum lo berangkat ke Leiden, La," timpal Gentari.

Kanala juga. Sepekan dua pekan akan berjalan sangat cepat. Setelah wisuda, Kanala akan segera terbang ke Leiden untuk mengurus administrasi perkuliahannya di sana. Ya, akhirnya Kanala mengambilnya.

Ada perdebatan cukup panjang waktu Kanala memberitahu perihal beasiswa ke Leiden pada Pandu dan Dayita. Pandu sampai sempat sakit memikirkan anak satu-satunya akan meninggalkannya ke tempat yang jauh dalam waktu yang lama—sesuatu yang akhirnya membuat Kanala berat menerima beasiswa magister itu.

Dayita tidak jauh berbeda. Mamanya yang sering mendukungnya untuk apapun, kali itu, untuk pertama kalinya, menjadi orang paling gigih menentang keputusan Kanala untuk melanjutkan pendidikan magister jauh-jauh ke negeri kincir angin.

"Mama udah makin tua. Kalau sampai Mama kenapa-kenapa dan kamu nggak ada di sini gimana?" tanya Dayita waktu itu. Senjata paling ampuh yang membuat gadis itu dalam dilema besar.

Hingga akhirnya, entah bagaimana ceritanya, Pandu tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan berdua. Kanala bahkan sampai merasa aneh. Meski hubungan mereka membaik sejak tahun terakhir SMA, mereka tidak pernah menghabiskan akhir pekan berdua seperti ayah dan anak perempuan di kisah-kisah keluarga cemara.

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now