26. Setelah Kehilangan

57 11 0
                                    

Maret, 2011

Kanala pernah membaca kutipan seperti ini; ada dua hal yang membuat seseorang berubah, yaitu ketika pikirannya terbuka dan ketika hatinya terluka.

Tidak perlu berpikir terlalu jauh. Semesta sampai seluruh isi-isinya pun tahu di nomor berapa Kanala berada; nomor dua.

"Lala, bangun! Bangun gak lo?!" Janu mencak-mencak. Usahanya lima menit terakhir sia-sia karena Kanala tidak seperti orang tidur, melainkan orang mati.

Cowok berkemeja kotak biru itu berkacak pinggang. Meninggalkan karpet bulu favorit Kanala menuju Dayita di ambang pintu. "Ini anak tidur sejak kapan sih, Tante? Janu udah nyoba beragam cara loh, buat ngebangunin dia. Tinggal nyiram pake air aja yang belum," sungut Janu.

Dayita mengendikkan bahu dengan wajah prihatin. "Dia baru tidur abis subuh," jawabnya pelan.

"Lagi?!" Janu melotot. "Mentang-mentang libur, nih anak jam tidurnya berantakan banget, deh, Tante. Tante gak bilangin ke Lala apa?"

"Kamu tahu sendiri Nala kayak apa, Jan." Dayita mengembuskan nafas gusar. Sorot matanya tampak kuyu. "Dia anak yang penurut. Siapa yang gak tahu itu? Tapi dia juga keras kepala. Persis kayak papanya."

Entah kapan kebiasaan ini bermula. Baik Dayita, Pandu, maupun Janu yang saban hari mengunjunginya tidak tahu kapan tepatnya jam tidur Kanala mulai terganggu. Kapan tepatnya gadis itu membuat dunianya sendiri dan memisahkan diri dari dunia luar. Atau kapan tepatnya gadis itu rutin mengonsumsi kafein lebih banyak dari air putih.

"Albert Einstein aja kayaknya gak belajar kayak dia deh, Tante," cibir Janu sebal melihat buku-buku bacaan ekonomi yang berserak di lantai.

"Katanya, dia udah kelas tiga. Jadi makin sibuk."

"Tante lupa Janu juga kelas tiga? Tari yang cita-citanya tinggi banget tapi agak ngawur aja masih sempat ngemall tiap minggu."

Dayita mengangguk-angguk paham. Dua tahun menghadapi Kanala yang dingin dan luar biasa sibuk membuatnya lebih dari hapal. "Nanti kalau udah bangun, kamu suruh turun, ya?" pinta wanita berdaster kuning itu pada Janu. Imbuhnya lagi, Kanala tidak makan sejak kemarin malam.

Tidak heran jika setelah itu, Janu benar-benar melempar kepala Kanala yang tengah pulas-pulasnya dengan bantal guling secara brutal. Persetan jika gadis itu akan mengamuk. Toh, Janu tidak begitu mengenalnya. Janu lebih bersahabat dengan sosok gadis penuh semangat yang mengatur hidupnya sebaik dia mengatur susunan buku-bukunya di lemari.

***

"Jan, ambilin aku minum dong! Kejauhan."

"Diem lo! Gue masih ngambek."

"Januuuu!"

Sialnya, semenyebalkan apapun Kanala "baru" ini, Janu tetap saja luluh karenanya. Disertai dumelan akan sikap pemalasnya, cowok yang kemarin memotong pendek rambutnya itu menuangkan minum untuk Kanala.

"Kamu mau ngelamar jadi polisi, Jan? Atau jadi TNI?" tanya Kanala di sela-sela kegiatan sarapan hampir makan siangnya.

"Sebenernya gue lagi kesel karena lagi-lagi lo lupa sama janji lo sendiri yang ngajakin gue jogging hari ini," sahut Janu. "Tapi karena gue saksi hidup perjalanan lo dan sialnya gue tau kenapa lo kayak gini, gue jadi gak bisa ngamuk. Gue cuma bisa ngomel."

Kanala selesai dengan makanannya. Seperti biasa, seperempat porsinya terbuang.

"Lo bisa terbang ketiup angin kalau makan lo cuma segitu," komentar Janu resah.

"Aku udah kenyang, kok," sahut Kanala santai. Usai meletakkan piringnya ke westafel, gadis itu kembali duduk di hadapan Janu. "Jadi, gimana? Kamu beneran mau ngelamar jadi polisi?"

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang