29. Tumbang

53 10 0
                                    

Tentu saja tidak.

Kalau harus jujur, Kanala tidak baik-baik saja. Terlepas dari rindu, perasaan tak selesai, dan kehilangan Benua, Kanala lebih tidak baik-baik saja karena orang-orang yang mengelilinginya.

Dua tahun ini, Kanala tidak pernah bicara dengan Deria—gadis periang yang mengatakan menu terbaik kantin Darmawangsa adalah mie ayamnya. Acap kali berpapasan, gadis itu akan bersikap seolah-olah keberadaan Kanala tak kasat mata.

Sakit? Tentu. Kanala merindukannya. Kanala rindu bagaimana Deria mengoceh dan mengganggunya. Kanala rindu tarikan tangannya yang mengajak Kanala buru-buru meninggalkan lapangan selepas latihan menuju kantin. Sayangnya, perlakuan Deria malah membuat Kanala terpojok dan merasa bersalah sampai detik ini.

Lalu, demi kepercayaan Pandu padanya, Kanala juga mengubur mimpi-mimpinya. Kanala merelakan keinginannya hanya agar Pandu tidak kecewa. Memang, Kanala masih mengirim tulisan-tulisannya ke media. Namun, dua tahun berlalu tidak ada satupun yang diterima.

"Mungkin ini yang dinamakan karma, Jan," cerita Kanala suatu waktu, di penolakan ke-25 atas cerpen-cerpennya yang dia kirim ke media. "Aku belum sepenuhnya rela nurutin kemauan Papa. Masih ada rasa gak terima dan gak adil. Makanya aku diam-diam menulis. Mungkin karena itu, semua tulisanku ditolak."

"Lo gak berhenti sampai sejauh ini aja udah pencapaian luar biasa, La," kata Janu waktu itu.

Bagaimana mungkin Kanala berhenti? Menulis adalah satu-satunya jalan bagi Kanala mengurai sesak dalam dadanya. Menciptakan baris demi baris kata adalah terapi jiwa yang mengobati segala lukanya.

Kehilangan orang yang dia cintai, kehilangan sahabat yang mengerti dirinya, serta kehilangan impiannya. Bagian mana yang bisa membuat Kanala hidup baik-baik saja?

Pintu kamarnya terbuka. Kanala meletakkan cangkir kopinya. Memutus perhatian dari dinding penuh kertas-kertas berwarna di hadapannya, gadis itu menoleh.

"La, Mama udah selesai masak. Ayo turun! Kita makan!" ajak Dayita.

"Nala kenyang, Ma," sahut Kanala.

"Kenyang makan apa? Tadi siang aja kamu nggak jadi makan karena mau pergi."

"Nala makan di sekolah Bu Rahayu tadi."

Dayita bergeming sejenak sebelum menemukan cangkir kopi Kanala. "Kamu minum kopi lagi?"

"Nala mau belajar malam ini, Ma. Biar gak ngantuk."

Dayita berdecak. "Udah selesai ujian juga. Istirahat aja, La."

Agar kecemasan Dayita tidak berlarut-larut, Kanala mengiyakan dengan segera. Setelah pintu tertutup, Kanala kembali membaca coretan-coretan tangannya di sana—penguat Kanala untuk setidaknya tetap berdiri meski keadaan seperti menuntutnya menyerah setiap hari.

"Kamu sudah sampai sejauh ini, jadi jangan pernah sia-siain kesempatan yang kamu dapat sekarang. Perjuangin semua impian kamu."

Djakarta, di atas motor, pukul 10.30 a.m.

Andai Benua tahu jika kepergiannya telah menghilangkan segala yang dibawanya untuk Kanala; impian, kepercayaan, dan cinta.

***

"Nala mana? Gak sarapan lagi?"

Dayita tidak jadi menyendokkan nasi ke piring suaminya. Wanita itu menatap suaminya resah. "Masih tidur mungkin, Mas," kilahnya. "Katanya tadi malam mau belajar, kayaknya dia ketiduran lagi abis subuh."

Pandu berdecak tipis. "Udah berapa kali dia begitu? Sarapan kapan, makan siang kapan, makan malam kapan. Mentang-mentang udah libur, kerjaannya di kamar aja," omel pria itu.

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now