23. Deria dan Amuknya

51 10 0
                                    

Dua hari setelah insiden di mading itu, Deria tidak masuk sekolah. Alasannya sakit . Padahal, di saat-saat seperti ini, Kanala sangat ingin bertemu denganya. Berkeluh kesah tentang betapa tidak baik-baik sajanya dirinya. Deria mungkin akan memeluknya lama, seperti pelukan seorang kakak pada adiknya, seperti yang sering dilakukan sahabatnya itu.

Kanala sudah berencana akan menjenguknya sepulang sekolah hari ini bersama Naura dan Faiza--Selia tidak bisa ikut serta karena ada hal lain yang harus dia lakukan di rumah. Namun, sosok Deria terlihat. Kanala melihatnya tengah mengobrol dengan Askara setibanya gadis itu di sekolah.

"Deria!" panggil Kanala.

Namun, Deria tak mendengarnya. Barangkali karena jarak gerbang ke lobi yang tak begitu dekat. Sebaliknya, keberadaan Kanala malah disadari oleh Aksara. Cowok itu menghampirinya.

"Hai, La!" sapanya. Ini jadi pertama Kanala bicara dengannya lagi setelah gadis itu menolaknya beberapa bulan lalu.

Kanala tersenyum kikuk. "Hai, Kak," balasnya.

"Udah lama ya, kita gak ngobrol? Padahal satu sekolah." Askara tertawa pendek. "Lo apa kabar?"

"Baik. Kak Aska?"

"Agak stres dikit. Walaupun UN udah selesai, kan gue masih harus belajar buat ujian masuk kuliah."

Kanala mangut-mangut.

"Gue... boleh nanya sesuatu?" tanya Askara tiba-tiba. Tidak biasanya cowok itu meminta izin padanya lebih dulu hanya untuk sebuah pertanyaan.

"Tentang apa?" tanya Kanala.

"Benua."

"Hah?" Kanala melongo sesaat.

"Lo... nolak gue karena Benua kan, La? Bukan karena lo milih diri lo sendiri?"

Seperti ada yang tercekat di tenggorokan Kanala hingga gadis itu kesulitan mengeluarkan suara.

Askara menghela nafas. Dia masih tersenyum, tetapi sarat luka. "Gue gak mau lo kepikiran, tapi... gue gak bakal berharap banyak kalo seandainya dari awal lo jujur kalo lo suka sama Benua. Karena dengan lo milih diri lo sendiri, gue berpikir saingan gue cuma waktu, La."

"Kak Askar..."

"Gue juga jadi gak enak sama Benua. Gue temenan baik sama dia, tapi gue gak tahu apapun."

"Maaf." Kanala bergumam lirih. Menunduk. Tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Askara menepuk-nepuk pundaknya. "Gue anggap itu sebagai rasa iba lo, La. Lo gak mau nyakitin gue. Walau masih agak sakit, sih. Tapi gak apa-apa."

Kanala memberanikan diri mengangkat kepala. Menatap lurus manik gelap Askara yang tampak sendu. "Aku minta maaf," pintanya.

Askara mengangguk. "Dari awal lo gak mau nyakitin gue, La. Gue cuma mastiin, kok. Jadi gak apa-apa."

Setelah berpamitan seadanya, Askara meninggalkannya di depan gerbang. Kanala masih terpaku di sana. Nyeri di hatinya bertambah. Bukan karena punggung Askara perlahan menjauh, melainkan karena sekali lagi, perasaan "jahat dan tidak layak" itu menderanya. Menyudutkannya ke titik terbawah tanpa sempat mengatakan apa-apa.

***

Kelasnya mulai ramai saat Kanala tiba. Faiza sibuk mengomeli Adrian yang mengganggunya piket. Deria menelungkupkan wajah di lipatan tangan. Tampaknya sahabatnya itu belum sepenuhnya pulih.

"Baru dateng, La? Tumben lama," celetuk Naura dari belakang tubuhnya.

Kanala menoleh. "Iya. Aku ketemu Kak Askar tadi," akunya. "Kamu dari mana?"

Naura mengangkat plastik bening di tangannya. "Beli roti. Laper," jawabnya dengan cengiran lebar sebelum mendahului Kanala menuju bangkunya.

Deria masih setia dalam tungkupan tangannya bahkan setelah Kanala duduk di sebelahnya. Dengan sedikit keberanian, Kanala menyentuh lengan Deria hingga gadis itu tersentak.

"Kamu masih sakit, Der?" tanya Kanala menyentuh keningnya. Tidak panas. "Kalau masih sakit, istirahat di UKS dulu aja, yuk! Biar aku anterin."

Namun, Deria malah menepis tangannya pelan. "Gak usah," jawabnya. Suaranya parau. "Gue baik-baik aja, kok. Cuma agak pusing dikit."

Kanala mangut-mangut. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka selepas itu. Bahkan hingga Pak Wahyu, guru BK Darmawangsa masuk ke kelas mereka dengan sebuah kabar gembira; Bu Arnida tidak masuk tetapi mereka diminta mengerjakan soal.

Kontan kelas 10 IPS 2 bersorak. Anak-anak monyet--begitu Naura menyebutnya--hanya tenang sesaat selama Pak Wahyu memberi penjelasan, lalu kembali riuh bak pasar setelah pria itu meninggalkan kelas.

Kanala yang tidak ambil pusing dengan keriuhan di kelasnya, lantas membuka tas, mengambil buku. Di sebelahnya, Deria juga melakukan hal yang sama. Namun, ada yang aneh. Ada sesuatu yang sangat menyita perhatian Kanala di dalam tas sahabatnya itu.

"Deria..." Kanala tidak melanjutkan kata-katanya karena dengan buru-buru, Deria menutup kancing tasnya.

Sorot mata Kanala berubah pias. "Der... kamu..."

Kanala tidak mungkin salah lihat. Kertas karton putih, tulisan-tulisan bertinta merah, dan nama "Kanala" yang menyembul marah dari sana. Mendadak, hatinya sesak. Lebih sesak daripada saat dia mendapati tulisan-tulisan perundungan itu di mading.

"Deria," panggilnya dengan suara bergetar. Berharap Deria menyangkal apa yang dilihatnya.

Namun, Deria malah menatapnya bengis. Matanya memerah. Gadis itu mengeluarkan karton-karton di dalam tasnya dan melemparnya ke atas meja. Sontak, kelasnya yang tadi seperti pasar mendadak hening. Tegang.

"Kenapa... kamu ngelakuin itu?" Tangan Kanala dingin. Gadis itu mengepalkannya erat-erat.

"Gue gak suka ngeliat lo! Lo memuakkan, La!" tukas Deria tenang, tetapi menusuk.

Darah Kanala berdesir hebat. Air matanya menitik begitu saja. Sesak menghimpitnya tak sudah-sudah hingga hal paling berat untuk dia lakukan saat ini hanyalah bicara.

"Gue iri sama lo, La!" ujar Deria lagi. "Lo punya banyak orang yang sayang dan perhatian sama lo. Orang-orang yang selalu ngedukung lo. Lo pasti gak pernah takut kehilangan. Iya, kan? Hidup lo enak. Orang tua, temen-temen, bahkan Benua. Lo punya semuanya, Kanala."

Deria menarik nafas panjang. Sorot matanya yang selalu hangat lenyap. "Karena itu lo selalu sibuk sama dunia lo. Apa lo gak sadar itu? Apalagi setelah ada Benua. Sampe-sampe gue takut buat nyamperin lo, La. Gue takut ngeganggu elo. Gue kehilangan lo gara-gara Benua, dan gue benci itu. Gue benci lo yang gak memilih gue bahkan di saat-saat terburuk buat gue."

Kanala tidak terisak. Namun, pangkal kemeja sekolahnya sudah basah.

"Apa itu cara lo buat ngebuktiin ke gue kalau omongan gue salah dan pilihan lo bener, La?" sambar Deria lagi. "Gue ngerti. Gak ada yang bisa nahan perasaan. Tapi... kenapa harus dengan cara ngejauhin gue, La? Kenapa harus... menomorduakan gue? Lo sama Kak Gema sama. Kalian gak bisa memilih gue."

"Kapan... aku ngejauhin kamu?" tampik Kanala. Suaranya bergetar.

"Selalu. Setiap hari. Setiap ada Benua. Gue merasa tersingkir dari dunia lo, La. Gue pengen cerita sama lo, tapi lo bilang lagi di luar bareng Benua. Minggu lalu, waktu gue ngajakin lo ngemall, tapi lo bilang lo lagi di Kasih Putih sama Benua. Apa-apa Benua. Selama ini... cuma lo yang selalu dengerin gue. Tapi lo malah milih Benua.

"Dan gue benci itu, La. Gue bener-bener gak suka dengan kenyataan gue kehilangan segalanya, sementara lo baik-baik aja."

***

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now