25. Titik Nadir

54 10 0
                                    

Kanala belum terobati. Empat hari ini, jam tidurnya berantakan. Setiap kali berpapasan dengan Deria di sekolah—gadis itu memutuskan pindah tempat duduk setelah hari itu—Kanala tidak bisa mengatur hatinya untuk baik-baik saja. Belum lagi, seminggu ini Kanala juga harus berhadapan dengan orang-orang yang terus memburu pertanyaan yang sama kepadanya.

"Lo ada masalah apa sama Deria?" Begitu inti pertanyaannya.

Pertanyaan yang banyak diajukan anak-anak pramuka dan tidak pernah dijawab Kanala. Kanala bahkan masih bertanya-tanya siapa sebenarnya yang salah di antara dirinya dan Deria.

Maka Minggu pagi itu, pagi-pagi sekali, Kanala sudah meninggalkan rumah. Kanala sedikit bersyukur karena Pandu dan Dayita sedang tidak ada di rumah. Akhir pekan di akhir bulan adalah jadwal rutin kunjungan mereka ke rumah orang tua Dayita di Bekasi.

Kepergiannya tidak berjalan mulus awalnya. Janu, dengan celana training dan kaos biru dan sepatu olahraga berdiri di depan pintu.

"Aku mau pergi," tolak Kanala saat sepupunya itu mengajaknya jogging bersama.

Janu sempat protes. "Gue udah jauh-jauh loh ke sini. Masa lo mau pergi gitu aja? Ninggalin gue? Lagian lo mau ke mana sih, sepagi ini? Ini bukan hari sekolah, La."

"Rumah Kasih Putih." Begitu Kanala menjawab seadanya.

Lingkar matanya yang menghitam, sorot matanya yang padam, dan raut wajah sendunya membuat Janu menggeser badan dari depan pintu. Sepupunya itu, dengan baik hati, bahkan mengantarnya ke terminal.

Bukan anak-anak. Bukan perkampungannya yang hangat. Bukan langit birunya. Bukan apapun. Kanala hanya ingin mengunjungi Rumah Kasih Putih untuk bertemu Benua

--bertemu pengobat hatinya.

***

Matahari sudah tinggi. Anak-anak Kasih Putih sudah meninggalkan bukunya dan duduk di bawah pohon, mendengar cerita tentang Wortel Kesepian yang dikarang Bu Rahayu. Sementara Kanala masih duduk terpekur seorang diri di kursi kayu tua di depan rumah Kasih Putih.

Jalan setapak menuju rumah Kasih Putih adalah satu-satunya objek favorit Kanala saat ini. Harap-harap cemas jika Benua akan muncul dari sana, lalu melambai dengan tawa riangnya.

Kanala rasa, itu cukup mengobati nyeri dalam dadanya.

Barangkali, Kanala mungkin tidak akan memutus pandangan dari sana jika saja lengan kemejanya tidak ditarik. Gadis itu menoleh. Sahila, bocah tujuh tahun dengan gigi depan ompong menghampirinya.

"Kak Nala mau bacain dongeng buat Ila?" tanyanya girang. Mata kenari menyala-nyala di bawah sinar terik siang itu. "Kata Kak Ben, Kak Nala suka menulis. Kak Nala juga jago cerita."

Kanala tersenyum getir. Mengusap belakang kepala bocah perempuan itu. "Dia bilang begitu?" tanyanya.

Sahila mengangguk bersemangat. "Kata Kak Ben, Kak Ben mah gak ada apa-apanya kalau dibanding Kak Nala."

Kanala merendahkan tubuh. "Kamu mau Kakak cerita apa?"

"Bu Ayu punya banyak buku dongeng, Kak Nala. Kak Nala bisa bacain itu buat aku."

"Buat Sahila aja? Kenapa gak buat semua?"

"Mereka lagi dengerin cerita Bu Ayu."

"Terus kenapa kamu gak gabung?"

"Supaya Kak Nala ada temennya."

Alih-alih tersenyum, mata kenari yang menyorotinya dengan penuh semangat itu malah membuat hati Kanala terasa kecil. Matanya mendadak panas. Penuh haru. Benua tidak ada. Namun, rumah yang ditunjukkannya memberi Kanala kehangatan—mengobatinya perlahan.

"Ayo, sini! Kakak bacain kamu cerita," ajak Kanala. Gadis itu menyerah menunggu. Dibawanya Sahila mendekati rak buku Rumah Kasih Putih yang diatapi seng berlubang.

Usai mengambil buku pilihan Sahila, Kanala mengajaknya duduk di bawah pohon lain. Dengan seksama gadis itu membacakan dongeng untuk Sahila yang mendengarkannya tanpa berkedip. Seharusnya, Kanala ikut menertawakan kekonyolan harimau, seperti yang dilakukan Sahila, seperti yang kerap dilakukannya sejak kecil—hanyut dalam segala sesuatu yang dibacanya.

Namun, Kanala malah menangis. Seperti biasa, gadis itu tidak terisak. Air matanya jatuh begitu saja. Padahal, Kanala sudah berusaha untuk tidak mengingat apapun. Hanya saja, luka dalam dirinyalah yang membawa kesedihan itu tiba-tiba.

"Kak Nala jangan sedih!" larang Sahila mengusap pipinya.

Kanala terenyuh. Gadis itu menangkap tangan bocah perempuan di depannya dengan senyum getir. "Maaf, ya," lirihnya. "Kak Nala keinget sesuatu. Kak Nala bakal lanjut baca, deh. Maaf, ya, Sahila."

Namun, hingga hari itu habis, hingga langit Jakarta berubah warna, tidak ada yang sembuh dari hatinya. Malah, luka di dalamnya semakin membesar karena Kanala menyadari satu hal; bahkan Benua pun tidak bisa selalu ada untuknya.

***

"Lo dicariin Om Pandu!"

Tadi Kanala tengah menunggu bus saat dari jauh, Janu dengan wajah kumal meneriaki namanya. Cowok itu tergopoh-gopoh menghampirinya hingga Kanala bisa melihat betapa berantakan penampilan sepupunya itu.

"Itu yang buat kamu muter-muter Jakarta sampe sini?" tanya Kanala. Gadis itu sudah mengajak Janu duduk dan memberinya minum.

"Iyalah," sahut Janu cepat. "Gue takut lo dimarahin."

"Kamu bilang ke Papa?"

"Gue bilang lo lagi di rumah temen lo. Lo udah ngasi tau gue, tapi mungkin lo lupa ngabarin Om sama Tante." Janu berkelakar. Cowok itu mengusap peluh di keningnya dengan lengan baju. "Gila ya, ni tempat! Jauh bener. Gue berasa keluar dari Jakarta. Lima jam loh gue di jalan, nanya ke sana sini cuma buat nyampe ke sini. Masih untung lo ngasih tahu gue lo mau ke mana tadi. Kalo nggak mungkin gue udah nyampe Bogor."

Kanala tidak menyahut. Gadis itu mengayun tungkai kakinya dengan tatapan tertuju ke langit Jakarta yang memerah. Jika ada Benua, mereka pasti akan berfilosofis lagi.

"Gue tahu sih, La, lo jarang main. Tapi sekalinya tau main, buset jauh bener," celetuk Janu lagi.

"Tapi dia gak datang ke sini," sahut Kanala. Dia tahu bukan jawaban seperti itu yang diharapkan Janu. Kanala hanya ingin sedikit berbagi. Ingin sedikit mengurangi sesak dalam dadanya.

"Siapa?" tanya Janu menoleh.

"Benua."

"Benua sia—yang itu? Yang anak sekolahan lo? Yang pernah ke rumah?"

Kanala mengangguk.

"Lo jauh-jauh ke sini cuma mau ketemu dia? Lo kok makin ke sini makin an—"

"Aku capek tau, Jan! Aku pengen nangis tiap saat rasanya. Tapi aku juga tau kalau itu gak akan ngubah apapun," sela Kanala.

Janu terdiam lama. Cowok itu memandangi raut wajah Kanala yang kembali sendu. Berdampingan dengannya sejak masih kecil sekali, Janu jelas tahu bagaimana Kanala saat gadis itu menahan segala perasaannya.

Karena itu, Janu merangkul bahunya. Cowok itu mengusap-usap bahu Kanala. "Sori, La. Sori banget. Gue lupa."

Kanala tidak berbicara. Hatinya sedemikian sesak hingga yang bisa Kanala lakukan hanyalah merengkuh kedua lengan Janu dan menumpukan kepala di sana. Mulanya, hanya satu dua bulir air mata. Semakin deras, Kanala terisak. Tersedu-sedu di lengan Janu dengan hati yang pilu, jiwa yang berantakan, harapan yang hanya jadi kenangan, dan perasaan babak belur yang rasanya terlalu belia untuk dia rasakan.

"Nangis aja, La. Nangis aja. Gak apa-apa."

***

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang