21. Sebelum Terlambat

54 10 0
                                    

April, 2009

"Gue putus."

Kanala tidak terkejut lagi. Dua bulan terakhir, Deria selalu mencemaskan hal yang sama; kelangsungan hubungannya dengan Gema. Dan, hari ini barangkali adalah puncak dari rangkaian kesenjangan yang terjadi berlarut-larut di antara mereka.

Kanala mengusqp punggung Deria menenangkan. "Kamu yakin itu udah yang terbaik?" tanyanya.

Deria yang menelungkupkan wajah di atas lipatan tangannya di atas meja, mengangguk. "Tapi gue masih sayang sama Kak Gema, La. Gue... gue bakal menderita kalau dia nggak ada."

Kanala tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu hanya menggerakkan tangan naik turun di punggung sahabatnya itu.

Ada ketidakselarasan yang tidak bisa diperbaiki yang membuat Deria dan Gema berpisah. Deria yang masih menikmati masa SMA-nya menuntut banyak perhatian dan waktu Gema. Sementara Gema, manusia ambisius dengan banyak mimpi, tidak bisa menomorsatukan Deria di saat-saat begini, di masa sekolahnya yang hampir berakhir.

Kemarin, Deria bilang Gema akan melanjutkan pendidikannya di salah satu kampus negeri di Surabaya. Hal itu memicu pertengkaran hebat mereka. Karena Gema tidak bisa menomorsatukan Deria dan gadis itu enggan menunggu, jadilah mereka memilih pisah.

"Der, lebih menderita mana... kamu kehilangan Kak Gema atau... kamu jauh dari dia?" Kanala bertanya hati-hati.

Deria mengangkat kepala. Matanya sembab. "Maksud lo?" tanyanya dengan suara parau.

"Kalau kamu gak putus, kamu masih tetap bisa sama Kak Gema, kan? Kalian... cuma terpisah jarak. Dan itu bukan apa-apa, kan? Toh, kamu masih bisa nelpon dia, dia juga bakal pulang tiap libur." Kanala melempar pandangan ke luar kelas. Anak-anak kelasnya tengah ramai di sana. "Sedangkan kalau kamu putus, kamu gak bakal bisa buat sekadar nanya kabarnya. Jadi, lebih menderita mana?"

"Itu bukan pilihan, La," sahut Deria putus asa. Gadis itukembali menelungkupkan wajah sembari meracau. "Gue bisa aja nyusul Kak Gema seminggu sekali ke Surabaya. Tapi di sana dia juga bisa aja jalan sama cewek lain. Dia bisa aja ngerasa nyaman sama cewek lain. Dan gue... gue gak tahu apa gue bisa baik-baik aja di sini."

Kanala terdiam.

"Cinta gak seromantis yang lo baca, La," cetus Deria setelahnya. "Gak sesederhana lo nunggu dan dia bakal balik ke elo dengan perasaan yang sama."

"Berarti keputusan kamu sudah tepat," sahutnya hampa.

Perasaannya terusik. Namun, Kanala tak bisa menjelaskannya. Kanala hanya merasa tak nyaman tanpa alasan. Dilemparnya pandangan ke luar jendela, ke laboratorium komputer yang berada di gedung seberang, tempat di mana Kanala memulai langkah pertama mengejar mimpinya, ditemani Benua.

Ah, Benua Kalundra.

Seperti Gema, masa sekolahnya juga akan berakhir. Kanala tidak tahu pasti berapa hari lagi dia akan datang ke sekolah. Berapa kesempatan lagi Kanala dapat bertemu dengannya. Sementara perasaannya yang tak berkurang belum juga disuarakan.

Kanala bangkit. Namun, lengannya dicekal. "Lo mau ke mana?" tahan Deria dengan suara serak.

"Aku mau ketemu Kak Benua," jawab Kanala lugas. Cekalan Deria mengendur.

"La...."

Untuk pertama kali, Kanala tidak lagi menyembunyikan seberapa besar dia membutuhkan cowok itu.

***

"Benua gak masuk, Nala."

Dari balik bahu Gita, sekretaris kelas 12 IPA 2, Kanala melongok sedikit. Berharap Benua dengan cengiran lebar dan mata berbinarnya muncul dari sana. Namun, nihil. Kelasnya sepi. Hanya ada enam atau tujuh siswa yang tampak menekuri buku di dalam sana.

"Kalau boleh tahu, gak masuk kenapa, ya, Kak?" Kanala bertanya.

Gita mengendikkan bahu. "Kurang tau gue, La. Tapi sih kayaknya karena males aja. Ujian Nasional kan udah selesai. Kita cuma nunggu perpisahan. Absen juga udah gak dihitung," kelakarnya.

Gita adalah satu dari banyak orang yang mengetahui kedekatan Kanala dengan Benua. Beberapa kali, gadis berkacamata itu jadi kurir dadakan atau penyampai pesan—seringnya dari Benua ke Kanala. Karena itu Kanala tak terlalu sungkan bertanya tentang Benua kepadanya.

"Lo mau nyampein sesuatu ke Benua, La?" tanya Gita. "Kebetulan rumah gue lewat rumahnya. Gue bisa nyampein ke dia kalau ketemu."

Kanala menggeleng cepat. "Gak usah, Kak Gita," tolaknya sopan. "Nanti aja aku ngomong kalau ketemu sama Kak Benua."

"Ya udah, gue masuk dulu, ya," pamit Gita setelah itu.

Kanala meninggalkan lorong kelas 12 IPA dengan langkah lunglai. Kapan kali terakhir Kanala bertemu dengan Benua? Sepuluh atau dua belas hari lalu, sebelum Ujian Nasional. Sialnya, saat itu Kanala bahkan tidak terpikir untuk bertanya apa yang akan Benua lakukan selanjutnya atau apa yang ingin diperjuangkan cowok itu.

Padahal, Benua selalu melakukannya untuk Kanala.

Kanala menggigit bibir bawahnya resah. Tidak terlambat bukan jika Kanala ingin mengakui perasaannya?

***

"Aku mau ngungkapin perasaanku ke Kak Nu besok."

Barangkali, ini karma. Gentari sudah terlalu sering membuat Kanala tersedak karena memberikan informasi-informasi mengejutkan saat sahabatnya itu tengah makan. Dan, Kanala membalasnya sekarang.

Gentari meraih gelas di meja makan rumah Kanala dengan cepat. Menuang air lalu meneguknya dengan rakus. "Gila! Lo keracunan apa?!" kagetnya.

Kanala mengendikkan bahu. "Aku ngerasa... aku cuma ngerasa harus ngelakuinnya."

Sahabatnya itu berdecak-decak tak habis pikir. "Gue sampe gak tahu mau ngomong apa loh, ini, La. Lo serius? Lo yakin dengan keputusan itu? Kenapa tiba-tiba?"

"Aku gak mau menyesal."

"Soal?"

"Setelah ini, Kak Nu mungkin bakal ngelanjutin pendidikan ke tempat lain. Aku mungkin... bakal jarang ketemu dia."

"La..."

Kanala lekas tersenyum. Menatap Gentari dengan perasaan campur aduk. "Aneh ya kalau aku kayak gini?" tanyanya.

Gentari menggeleng. "Gak aneh. Tapi gue harap lo pikirin baik-baik dulu keputusan lo—ya, walau gue percaya sih, lo gak ngambil keputusan kalau lo gak mikirinnya dua hari dua malam dulu. Tapi kan... gue cuma takut lo kenapa-napa, La. Lo sendiri yang bilang Benua itu... ya, lo tau sendirilah gimana."

"Populer, disukai banyak cewek, gosip tentang dia selalu buruk. Tapi akhir-akhir ini dia gak keliatan deket sama cewek manapun di sekolah."

"Ya iyalah! Orang dia lagi ngedeketin elo."

Kanala tersenyum kecil. "Karena itu juga... aku gak ngerasa terlalu berat buat ngungkapin perasaan ke dia."

"Wuaah! Nala gue yang polos dan pendiam bener-bener lenyap gara-gara Benua."

Tawa Kanala pecah. Gadis itu beringsut meninggalkan meja makan untuk mencuci pirinh bekas mereka. "Aku masih gitu, kok. Masih Nala yang polos dan gak berani banyak ngomong. Tapi... aku punya sedikit keberanian sekarang."

"Buat nyatain cinta?"

"Dan buat beberapa hal lainnya."

"Gara-gara Benua, kan? Tau banget gue," cibir Gentari sembari mengelap bekas-bekas air di meja makan. "Tapi bagus deh, La. Gue seneng kalo dia ngasi sesuatu yang baik buat lo."

Usai mencuci piring-piring kotornya, Kanala berbalik menghadap Gentari. "Jadi gak apa-apa kan kalau aku bilang ke dia?" tanyanya.

Gentari mengiyakan. "Selagi lo yakin, ya lakuin aja," katanya.

Kanala tersenyum sumringah. Besok adalah hari konsultasi masuk perguruan tinggi untuk kelas 12—Kanala mengetahuinya dari Gita. Benua pasti datang. Kanala pasti punya kesempatan.

Perasaannya pasti akan tersampaikan.

***

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now