Epilogue

150 9 0
                                    

Biasanya menjelang tengah malam, tidak banyak yang mengunjungi kafe bernuansa garden itu. Kalaupun ada, bisa dipastikan itu teman-teman pemiliknya yang datang bergerombol untuk mengobrol ngalur-ngidul sampai pagi. Pemiliknya tidak keberatan membukanya sekalipun tidak ada yang mampir. Siapa tahu di luar sana, di tengah-tengah Jakarta, ada orang tersesat yang butuh ruang untuk duduk dan menikmati secangkir kopi.

Seperti dua manusia yang mampir ke kafe itu malam ini.

Tidak ada percakapan di antara mereka setelah kurang lebih lima belas menit. Dua cangkir kopi di antara keduanya mengepulkan asap tipis. Sementara pria berkemeja biru dengan dasi longgar itu tengah berperang dengan isi kepalanya, perempuan di depannya duduk lebih tenang sembari mengamati jalanan ibukota yang tidak tidur lewat dinding kaca di sebelahnya—juga menunggu pria di depannya bicara.

"Kamu... kapan kembali ke Indonesia?"

Pertanyaan yang ditunggu perempuan itu tiba.

Perempuan itu, Kanala Btari Sora, menoleh dengan senyum kecil. Sedikit menerawang. "Mungkin sudah hampir tiga tahun," jawabnya.

"Cukup lama ternyata," gumam Benua. Sejak tadi, sejak mereka memutuskan untuk duduk dan bicara, pria itu tidak berani menatap matanya seperti yang sering dilakukannya dulu. "Aku pikir kita gak akan pernah ketemu lagi, La," imbuhnya.

Kanala tidak menyahut.

"Selama ini... apa kamu pernah mikir buat nemuin aku, La?" Benua bertanya lagi.

Jujur, untuk ukuran dua orang yang baru bertemu kembali setelah lebih delapan tahun tidak bertemu, pertanyaan Benua cukup blak-blakan untuk disebut basa-basi semata. Karena itu, Kanala menjawab, "tidak sama sekali."

Benua tersenyum getir. "Aku gak tahu harus bahagia atau sedih mendengarnya," katanya. "Di satu sisi aku senang karena itu artinya kamu berhasil melupakan aku. Tapi di sisi lain aku juga sedih karena kamu gak mengingatku sama sekali."

Kanala menyesap kopinya sedikit, sebelum dingin. "Kurasa kepergianku hari itu adalah hari yang tepat agar kita hidup masing-masing, Kak Nu," ujarnya pelan.

Benua membenarkan. "Sekaligus hari itu juga mengajarkan aku arti kehilangan dan mencari, La. Mungkin, perasaan yang aku rasakan waktu itu adalah perasaan yang sama seperti yang kamu rasakan waktu aku menghilang dari Jakarta."

"Kalaupun akhirnya begitu, Kak Nu harus tahu kalau aku gak berniat melakukan itu."

Percakapan mereka diselimuti hening yang panjang setelahnya. Kanala mengembalikan pandangan ke jendela, sesekali menyesap kopinya, sesekali lain melihat Benua tanpa sorot apa-apa.

Dan, munafik jika Benua mengatakan tidak kehilangan.

Februari, 2015. Kanala tidak bisa dihubungi sama sekali. Pertemuan terakhir mereka yang tidak berkesan baik menuntut Benua untuk mencarinya, mengharap maafnya. Benua datang ke kampus Kanala. Benua mendatangi sekret Kosera dengan harapan Kanala ada di sana. Sayang, hasilnya nihil. Orang-orang di sana malah mengatakan bahwa hari wisuda Kanala beberapa waktu lalu adalah hari yang sama dengan penyerahan jabatannya di Kosera—dengan kata lain, Kanala meninggalkan Kosera dan Jogja. Mereka juga mengabarkan berita baik yang tidak bisa diterima Benua dengan baik.

"Kanala sudah pergi ke Leiden."

Begitu saja. Kanala benar-benar meninggalkan Jogja, Jakarta, dan dirinya tanpa menyisakan apapun. Menghilang seperti buih. Tanpa alamat email, nomor ponsel, surat, atau sekadar sepotong puisi yang membuat Benua mampu bernafas dengan baik.

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now