43. Di Antara Batas

42 10 0
                                    

Kanala dan Benua baru meninggalkan Rumah Kasih Putih saat langit Jakarta berubah jingga. Keduanya terlalu asyik menghabiskan waktu dengan anak-anak. Beruntung, Kanala bisa bernafas sedikit lega karena mereka akan menempuh jalan kecil selama hampir satu jam sebelum ke jalan besar. Setidaknya tidak ada kemacetan dan bunyi klakson yang saling bersahut yang mengiringi mereka satu jam ke depan.

Tidak ada yang bicara di perempat jam perjalanan itu. Kanala sibuk meredakan jantungnya yang riuh dan dadanya yang terasa penuh. Setengah hari ini terlalu banyak momen yang mengantar Kanala kembali ke masa sekolah yang penuh warna—saat Benua masih ada. Sementara Benua, pria itu masih tampak tak terbaca meski sifat hangatnya membuatnya tampak seperti pintu yang terbuka.

Euforia dalam dada Kanala baru surut saat mobil Benua mendadak berhenti. Gadis itu menoleh cepat. "Kenapa, Kak?" tanyanya. Andai mobil itu berhenti entah di depan warung atau apa, bukan di tengah jalanan sunyi yang kiri kanannya hanya ada pohon, tentu Kanala tidak akan bertanya.

"Gak tau, La. Mogok nih, kayaknya. Aku turun dulu buat ngecek. Kamu di sini aja," pinta Benua.

Namun, Kanala mengabaikan peemintaan pria itu. Gadis itu ikut turun. Senja di pinggiran Jakarta itu berada di batas langit, hampir seluruhnya pulang. Suara azan maghrib terdengar jauh. Saat tak menemukan solusi untuk mobil sewa yang mogok di tengah jalan, keduanya hanya bisa saling pandang dengan senyum terkulum.

Mereka terjebak.

"Kita tunggu aja dulu, Kak. Siapa tau ada kendaraan yang lewat, kita bisa minta tolong." Kanala memberi saran.

Benua dengan cepat menerimanya. Ditemani lampu jalan yang remang, suara jangkrik, dan langit ungu di atas kepala, keduanya berdiri dengan tubuh bersandar di kap depan mobil. Masih tidak ada kendaraan yang lewat hingga setengah jam kemudian. Hingga hari benar-benar gelap. Hingga warna ungu yang sekejap dinikmati Kanala benar-benar lenyap.

"Kak?" panggil Kanala tiba-tiba.

Benua menyahut dengan gumaman.

"Aku terlalu sibuk dengan hal-hal di masa lalu sampai aku gak sadar untuk sekadar nanya kabar Kak Nu. Padahal kita udah ketemu lagi dari berbulan-bulan lalu."

Sembari mengangkat tangannya ke depan dada untuk bersidekap, Benua menyahut santai. "Kabarku jauh lebih baik setelah ketemu kamu."

"Apa aku bisa percaya itu?" tanya Kanala bimbang. "Apa sebelumnya hidup Kak Nu gak baik-baik saja?"

Dua menit terlewat tidak ada jawaban dari Benua. "Ayo kita jalan ke depan, La," ajaknya tiba-tiba. "Pasti ada warung, bengkel, atau apa di depan sana. Di sini makin gelap. Kamu juga pasti laper. Nanti kalau udah ketemu orang, baru kita balik ke sini buat benerin mobilnya."

Meski agak kecewa, tak ayal Kanala menyejajarkan langkah dengan langkah-langkah Benua. "Mobilnya gak apa-apa ditinggal di situ gitu aja?" tanyanya.

"Gak apa-apa. Toh, gak ada orang. Siapa yang mau maling? Ribet juga kalau mau dicuri. Lagian paling bentar jalan kaki kita ketemu pemukiman."

Kanala tidak menyahut lagi. Gadis itu lebih memilih memerhatikan langkahnya yang bersisian dengan Benua. Pelan dan teratur. Hal kecil yang pernah jadi impian Kanala belia saat diam-diam jatuh cinta pada seniornya. Tak sadar Kanala tersenyum getir.

"Akhir tahun kemarin aku baru aja sidang skripsi, La." Mendadak, Benua bersuara. Kanala menoleh. Tetap menjaga langkahnya. "Telat lebih setengah tahun dari waktu seharusnya. Aku bahkan ketinggalan jauh sama temen-temen kuliahku. Saat aku baru mau sidang, beberapa di antara mereka ada yang sudah kerja. Iya, La. Ketakutan yang pernah aku bagi ke kamu di kali terakhir kita ketemu waktu SMA, benar-benar terjadi sekarang."

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang