46. Terbunuh Kenyataan

48 9 0
                                    

Desember 2014

"Lama-lama gue bisa lupa sama bentuk muka lo!"

Pagi itu, pagi-pagi sekali, Gentari datang dengan wajah galak dan berkacak pinggang di depan kamarnya. Kanala bahkan belum bangun sepenuhnya. Buku-bukunya berserak di karpet, di dekat laptopnya yang masih menyala. Tak jauh dari sana, ada berlembar-lembar kertas penuh coretan yang menjadi alasan Kanala sulit tidur akhir-akhir ini.

Bohong jika ada manusia yang tidak hampir gila saat mengerjakan skripsi.

Dengan wajah mengantuk dan kepala tertempel bantal, Kanala menyahut sekenanya. "Gak di Jakarta, gak di Jogja, kamu emang suka dateng pagi-pagi begini ya, Ri?"

Gentari berdecak-decak. Bak bertahun-tahun lalu, gadis itu lalu repot sendiri membereskan kekacauan yang dibuat Kanala. Kanala sengaja tidak bangun. Masih mengantuk berat. Tidak setelah Gentari menopang kedua bahunya untuk duduk dan memaksanya membuka mata.

"Lo nyembunyiin sesuatu dari gue kan?" cecarnya langsung.

Kanala bingung. "Soal apa?" tanyanya.

Mendadak nafas Gentari memburu. Gadis itu melepaskan tangannya hingga Kanala sedikit oleng ke samping. "Gue kesel banget sama lo, La. Kita udah temenan berapa tahun, sih, sampai lo tega nyembunyiin semuanya dari gue?" rajuknya sambil bersidekap.

Sekali lagi, Kanala mengulang pertanyaannya. "Soal apa?"

Rasanya akhir-akhir ini tidak ada hal istimewa yang terjadi dalam hidupnya. Fokusnya bahkan mengerucut pada skripsi saja. Saban waktu setiap harinya Kanala habiskan dengan belajar, menekuri buku-buku yang dia pinjam dari perpustakaan atau sengaja dia beli untuk menyelesaikan skripsinya yang setelah dia kerjakan ternyata tidak semudah saat dia bayangkan.

"Benua!" sentak Gentari.

Kecuali soal yang satu itu.

Kesadaran Kanala terkumpul penuh. Gadis itu menguap kecil. Melebarkan sedikit matanya, lalu mengangguk. "Kamu udah terlalu banyak kubebani dengan kisah cintaku yang nggak pernah berjalan mulus, Ri," akunya. "Kita lagi sibuk-sibuknya sekarang. Aku nggak mau kamu kepikiran."

"Sejak kapan lo jadi sok dewasa begitu?" Gentari menyindirnya sebal. Tidak peduli dengan kondisi baru bangun Kanala, Gentari mendesaknya bercerita. Dari awal hingga akhir. Termasuk alasan mengapa Kanala tetap menerima Benua saat tahu dirinya dijadikan pilihan kedua.

Pun Kanala yang tidak punya alasan untuk memendamnya. Dari cerita pertemuan-pertemuannya dengan Benua di Jakarta, Kanala yang merasa memiliki harapan, hingga tentang kekasih Benua mengalir begitu saja. Tidak ada air mata. Tidak ada suara terbata.

"Kenapa lo masih nerima cowok brengsek kayak gitu saat lo sendiri tahu dia punya pacar, Kanala?" Gentari bertanya tak habis pikir. Gadis itu beringsut dari tempat tidur Kanala, mondar-mandir dengan heboh di kamar gadis itu seolah tengah mendiskusikan perkara kenegaraan.

"Karena katanya, dia masih membutuhkan aku, Ri."

"Gue nggak nyangka lo bakal segoblok ini loh, La. Prestasi-prestasi selama ini mungkin kecewa berat dengan sikap lo ini. Lo sadar gak sih, kalau lo lagi dimanfaatkan sama bajingan satu itu?"

Anehnya, Kanala malah terkekeh pelan. "Kok agak aneh ya, denger kamu manggil dia bajingan?"

"Tu cowok emang pantes disebut bajingan? Apa namanya kalo bukan bajingan? Ngajakin lo jalan, nemuin lo setiap hari selama di Jakarta, bersikap seolah-olah kalian bisa jalani bareng-bareng semuanya, tapi nyatanya dia punya pacar di Solo. Dan dengan gampangnya dia beralasan dia butuh lo, lo ngebuat dia ngerasa baik-baik aja. Bulshit! Brengsek! Gue bahkan gak pernah ketemu cowok sebrengsek itu."

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now