02. Cowok Cinderella

223 17 2
                                    

"Aku ketemu dia lagi, Ri."

"Siapa? Cowok Cinderella?"

Kanala mengangguk. Meski tengah sibuk membolak-balik buku geografinya, sejatinya pikirannya tidak ada di sana. Pertemuan kembali dengan cowok Cinderella yang disebut Gentari sejak tadi mengusiknya.

Cowok Cinderella.

Bukan tanpa alasan Gentari memberinya julukan seperti itu, meski sejujurnya, perumpamaan itu sedikit konyol. Karena Kanala bertekad untuk tidak menampakkan muka lagi di hadapan Benua, seperti Cinderella yang melarikan diri tepat di jam 12 malam, jadilah Gentari menamakannya begitu. Padahal seharusnya, julukan itu lebih tepat diberikan pada Kanala.

"Bagus dong, La. Ini kesempatan emas!" seru Gentari berapi-api. Gadis bercelana pendek dengan kaos kuning menyala itu bahkan meninggalkan komik favoritnya hanya untuk beringsut mendekati Kanala.

Rumah Kanala, kamarnya tepatnya, merupakan semacam basecamp tempat dua sahabat itu sering bertemu, mengobrol, atau melakukan banyak hal. Bukan tanpa alasan Gentari menobatkannya begitu. Kanala punya beragam koleksi novel, komik, hingga buku-buku pengetahuan—hal-hal yang membuatnya tidak merasa bosan dan kesepian meski terlahir sebagai anak tunggal.

Hal lain yang membuat Gentari menyukai rumah Kanala adalah karena suasananya yang tenang. Suasana yang tidak akan didapat Gentari di rumahnya karena ketiga adiknya punya hobi yang sama; bertengkar memperebutkan mainan.

"Gimana? Gimana? Kenapa kalian bisa ketemu lagi? Terus dia ngomong apa aja? Dia inget sama lo nggak? Lo nggak diem aja, kan?" tanya Gentari beruntun.

Kanala mendorong kening Gentari menjauh. "Satu-satu dong, Ri," keluhnya.

Gentari mengangkat tangan. "Oke. Pertama, kenapa kalian bisa ketemu lagi?"

Embusan napas Kanala terdengar gusar. Buku geografinya sudah sepenuhnya tertutup. "Niatnya aku mau melarikan diri dari kandang singa, eh malah masuk ke kandang buaya."

"Heh? Gimana?"

"Ah, Tari!" Kanala berdecak tipis. "Dia itu senior aku di ekskul."

"Pramuka?"

Kanala mengangguk.

"Kok bisa lo baru tahu sekarang? Astaga, Nala! Lo ke mana aja selama tiga bulan ini?"

"Aku juga gak tahu. Kenapa dia baru muncul sekarang? Di depan semua orang? Pake nyapa segala lagi! Ah, sial! Orang-orang pasti berpikiran aneh-aneh sekarang."

Pletak!

Kanala mengaduh. Kebiasaan Gentari satu ini susah hilangnya minta ampun; menjitak atau menyentil keningnya.

"Bodohnya kok masih dipelihara sih, La?" tanyanya gemas. "Di saat-saat begini, kenapa lo malah mikirin apa kata orang? Ini tuh kesempatan emas. Lo harusnya seneng karena akhirnya, dia tau kalau di dunia ini ada makhluk bernama Kanala."

Mengusap-usap keningnya, Kanala mendelik sebal. "Ini bencana, tau! Kamu pikir dia bakal dapat julukan 'cowok Cinderella' kalau emang dari awal aku ngeharepin momen ini. Lagian, ada yang aneh. Masa dia tiba-tiba tau namaku."

Kening Gentari ikut mengerut. "Emang waktu itu kalian gak kenalan?"

"Nggak lah! Aku tahu namanya karena dia anak OSIS. Dan harusnya, dia gak tahu apapun tentang aku, Tar."

Gentari tersenyum menggoda. Gadis itu menjawil hidung Kanala gemas. "Jangan bilang dari awal dia emang merhatiin lo."

"Ih, apaan, sih? Mana ada!"

"Bisa jadi, tau! Jangan-jangan kejadian waktu itu bukan kebetulan, tapi emang disengaja."

Kanala mengibaskan tangan. Tidak mungkin. Karena itu, Kanala berhenti berandai-andai tentang apa yang sudah terjadi dan memilih fokus menghadapi nasibnya esok hari.

Djakarta, Pukul 11.11Onde histórias criam vida. Descubra agora