30. Berdamai

49 10 0
                                    

Akhirnya, Kanala tahu apa yang menyekat hatinya selama ini. Apa yang membuatnya terus-menerus merasa sesak dan dikucilkan. Apa yang membuatnya terus mencari sesuatu yang entah apa untuk melapangkan hatinya.

"Aku minta maaf, La."

Ketika Deria berujar demikian, beberapa saat lalu, batu besar dalam dadanya terangkat. Kanala menangis haru ketika Deria bertanya apa gadis itu boleh memeluknya—sahabat jahat yang sudah membuatnya hampir membenci sekolah untuk kali kedua.

Lewat pelukan lama itu, seluruh rasa takut, kerinduan, dan penderitaan Kanala menguap. Dan untuk pertama kalinya, bayang-bayang dirinya menjadi bahan perhatian satu angkatan tidak lagi terasa menyedihkan.

"Udah deh, La. Lo bikin gue ngeri tau nggak?" protes Janu untuk kesekian kali.

"Kamu tahu apa kenangan paling baikku di SMA Darmawangsa, Jan?" tanya Kanala tanpa menoleh.

"Emang ada?" sahut Janu sangsi.

Bukan apa, semua orang pun tahu jika cikal bakal penderitaan panjang Kanala sudah dimulai di semester kedua tahun pertama SMA-nya. Dikhianati sahabat dekatnya, sekolah yang mencurangi segala usahanya, hingga kehilangan cinta yang mendukung mimpi-mimpinya.

"Ini. Saat ini jadi kenangan paling baik di Darmawangsa, Jan."

Kening Janu berkerut. "Tumbang gara-gara keseringan belajar maksud lo?"

"Bukan." Kanala menoleh. "Meninggalkan SMA Darmawangsa dengan perasaan lapang. Gak ada sakit hati, gak ada rasa takut lagi, dan gak ada bayang-bayang buruk hal yang sama bakal terjadi, Jan. Itu kenangan terbaiknya."

Janu terkekeh pelan. Tidak mengejek seperti biasanya. "Gue seneng lihat lo kayak gini, La. Sumpah! Gue berasa ngeliat Nala yang dulu. Bukan Nala yang tiga tahun terakhir ini."

"Aku juga gak ngerti gimana cara kerja maaf, tapi ya... ini akhirnya. Aku ngerasa baik-baik aja setelah aku dan Deria baikan."

"Kalian baikan atau balikan?"

Kanala mengendikkan bahu dengan senyum kecil. Terlepas dari dirinya hanya berbaikan atau kembali berteman dengan Deria, setidaknya Kanala tidak akan meninggalkan masa SMA-nya dengan kenangan buruk dan rasa sakit.

"Terus Benua gimana?" tanya Janu lagi.

Kanala menerawang sejenak. "Aku gak tahu dia di mana, tapi aku tahu dia punya alasan buat balik ke Jakarta."

***

Dokter yang menanganinya membawa kabar baik sore tadi. Keadaan Kanala membaik. Sepenuhnya. Kanala diperbolehkan pulang ke rumah besok pagi. Ini seperti ruang-ruang gelap yang Kanala lalui selama ini, menemukan titik terangnya; semburat cahayanya.

Persis seperti campuran biru, ungu, dan kuning di langit Jakarta yang tengah disaksikan Kanala dari jendela ruang rawatnya. Manis. Seperti Jakarta yang Kanala cintai dengan sungguh-sungguh. Seperti Jakarta sebelum Benua menghilang.

"Secantik itu langitnya?"

Kanala menoleh. Tersenyum ragu pada Pandu yang sejak dokter keluar tadi, tidak beranjak dari tempat duduknya.

"Kamu mau keluar? Mau Papa antar?" tawar Pandu kemudian.

"Nggak usah, Pa. Bentar lagi maghrib," tolak Kanala halus.

Tanpa mengurangi keindahannya, Kanala sadar betul apa yang kurang dari pemandangan langit Jakarta, yaitu Benua Kalundra. Ketiadaan laki-laki itu telah membawa separuh keindahan Jakarta. Meski begitu, setelah melewati luka-luka ini, Kanala ingin merawat percaya bahwa Benua tengah menatap langit yang sama. Seperti janjinya dulu, Kanala akan mendukung apapun yang tengah diperjuangkan cowok itu.

Kanala tidak akan ke mana-mana sampai Benua menepati janjinya untuk pulang.

"Pa?" panggil Kanala. Pandu sontak mengantongi ponselnya. "Di mana Mama?"

"Di luar. Mau beli sesuatu katanya."

"Papa... nggak capek? Nggak mau pulang aja buat istitahat?" tanya Kanala. Bukan apa. Sudah dua hari gadis itu melihat Pandu tak beranjak dari rumah sakit—mengingat Pandu adalah sosok pegawai pemerintah yang rajin, hal itu agak sedikit aneh.

"Papa baik-baik aja, kok. Papa bisa tidur di sofa."

Ini lebih aneh lagi. Seorang Pandu Mahesa yang serba teratur tidak mungkin bisa tidur di sembarang tempat.

"Kalau Papa mau pulang dulu, pulang aja. Nala udah baik-baik aja, kok," tutur Kanala seraya meraih jurnalnya di atas nakas.

Namun, Pandu masih setia duduk di sebelah ranjang Kanala. Kanala sampai resah sendiri. "Nggak apa-apa, kok, Pa kalau Papa mau pulang. Mama paling bentar balik lagi," ujarnya bersikukuh.

"Sebenernya... ada yang mau Papa omongin sama kamu, La," ujar Pandu.

Kanala menatap sosok Pandu yang agak lain dari biasanya—rambut depannya terurai dan kancing teratas kemejanya terbuka--dengan curiga. Sejak kapan papanya itu memerlukan izin untuk sekadar bicara padanya?

"Papa minta maaf."

Kanala bergeming. Dia pasti salah dengar.

"Papa benar-benar minta maaf, Kanala."

Pandu mendongak. Menatapnya dengan mata berkaca. Selama tujuh belas tahun hidupnya, belum pernah Kanala melihat Pandu tampak sesakit itu.

"Papa baik-baik aja?" tanyanya cemas sembari mengulurkan tangan.

Namun, pria itu malah menyingkirkan tangan Kanala. Sebagai gantinya, Pandu menggenggam tangannya erat. Erat sekali. "Papa salah, Nala," akunya parau. "Papa hanya mengaku menyayangi kamu, tapi Papa bahkan nggak pernah tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Papa...."

"Pa...."

"Maaf, ya? Maafkan Papa. Dulu Papa berpikir kalau... kalau kamu nggak begitu terluka dengan hal-hal yang Papa rasa baik buat kamu."

Sudah. Kanala luruh. Tangisnya runtuh. Dengan bibir tercebik dan hidung memerah, gadis itu merapal satu-persatu kata yang gagal ia suarakan.

"Papa nggak mau kamu mengalami ini, Nala. Papa nggak mau kamu seterluka ini... apalagi karena Papa. Maafkan Papa, ya?"

"Pa, udah! Nala udah baik-baik aja, kok."

"Sekarang kamu boleh ngelakuin apa yang kamu mau."

Dengan matanya yang sembab, Kanala mencari keraguan di dalam iris kelam Pandu. Namun, nihil. Pria itu bersungguh-sungguh. Hati Kanala hampir meledak rasanya oleh haru dan bahagia yang menyeruak.

"Pa...." Kanala kehilangan kata-katanya.

"Papa akan dukung kamu. Sepenuhnya."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kanala menghambur memeluk Pandu. Tangisnya pecah hingga membasahi dada pria itu. Pun dengan Pandu yang menyusun banyak sumpah dalam hatinya; semua isinya untuk membahagiakan Kanala. Pun dengan Dayita, pelaku yang membujuk dan mendorong Pandu untuk menyampingkan ego dan bicara dengan Kanala, yang tengah menyusut air matanya di luar ruangan itu.

Barangkali, beginilah semesta bekerja; menempanya dengan banyak luka sebelum mengantarkannya kepada bahagia.

***

Djakarta, Pukul 11.11Where stories live. Discover now